JAKARTA, GRESNEWS.COM - Indonesia telah mampu memproduksi serta mengekspor kapal perang untuk pertama kalinya. Industri galangan kapal nasional PT PAL telah mengirim Kapal perang berjenis Strategic Sealift Vessel (SSV) ke Filipina. Ironisnya, di tengah kemajuan ekspor kapal perang produksi anak bangsa, Indonesia masih mengimpor kapal-kapal angkatan lautnya dari luar negeri.

Direktur National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi mengakui pertumbuhan industri galangan kapal Indonesia terhitung lambat. Hal itu menyebabkan kapal-kapal yang dibangun di Indonesia adalah tipe kapal kecil seperti kapal SSV. Padahal jika dilihat dari kemampuan teknologi, industri kapal perang di Indonesia sudah cukup mumpuni.

Akan tetapi ia melihat peran pemerintah belum maksimal sehingga industri galangan kapal tidak berkembang. "Kita tidak dipercaya pemerintah sendiri, kenapa kapal seperti KRI Diponegoro dan KRI Usman Harun di buat di Belanda? Seharusnya dikasih ke PT PAL," ujar Siswanto kepada gresnews.com, Senin (9/5).

Pemerintah masih mempergunakan skema kredit ekspor untuk memenuhi kebutuhan kapal perang, akibatnya Indonesia terus tergantung negara lain dalam pembuatan kapal perang. Dengan sistem tersebut, pembuatan kapal perang harus dilakukan di negara pemberi kredit.

Siswanto melanjutkan, selain anggaran Indonesia yang minim untuk membuat kapal perang. Namun jika skema kredit ekspor terus dilakukan, maka industri galangan kapal yang dimiliki Indonesia tidak akan berkembang dan tertinggal dari negara-negara lain. Kendati telah berhasil mengekspor kapal perang, namun nilainya tidaklah besar dan hanya mencakup kapal perang jenis kecil, tidak sebanding dengan teknologi yang dimiliki.

Selain kredit ekspor, regulasi pemerintah terkait perizinan pembuatan kapal dalam negeri juga sangat berbelit-belit dan sulit. "Belum apa-apa, kita harus bayar 17% dari harga kapal yang akan dibangun, ini belum masuk kontrak pembangunan kapal loh," tegasnya.

Walaupun Menko Maritim Rizal Ramli sudah memberikan kemudahan kepada para pelaku industri galangan kapal dengan cara pembebasan biaya masuk, tetapi proses yang berbelit itu membuat orang enggan membuat kapal di dalam negeri.

Siswanto mencontohkan, untuk mendapatkan bebas masuk komponen kapal dari luar, pelaku galangan kapal harus mengajukan surat permohonan terlebih dahulu dengan proses yang cukup lama. Sedangkan barang tersebut harus sudah masuk, sehingga membuat galangan kapal membayar dengan harga tanpa potongan biaya masuk.

"Kenapa pemerintah tidak meniru swalayan, PPN langsung dipotong 10 persen sehingga tidak menyulitkan," tegas Siswanto.

HANYA KALAH DARI SINGAPURA - Hal senada juga diungkapkan pengamat militer Muradi. Menurutnya, kebijakan politik suatu negara akan sangat mempengaruhi kebijakan industrinya. Industri pertahanan bukanlah hal yang murah, sejauh mana kita mau berbagi teknologi. Seperti kasus CN235. Walaupun pesawat tersebut sudah memenuhi standar dan sangat layak untuk dijual akan tetapi spare part-nya diproduksi oleh CASA. Pembeli akan sulit merawat dan Indonesia belum sanggup untuk memproduksi, CASA-nya pun sudah bubar.

Di Asia Tenggara, menurutnya, Indonesia hanya kalah dari Singapura dalam hal Industri kapal. Hal ini karena Singapura punya modal receipe and development (RND) lebih besar dari Indonesia, sehingga punya kemampuan mengembangkan produk baru. RND Singapura mencapai 5 persen sedangkan Indonesia hanya 0,8 persen.

Menurutnya, Indonesia sudah termasuk negara yang maju dalam industri pertahanan militernya, khususnya pembuatan kapal perang. Indonesia dapat disejajarkan dengan negara layer dua lainnya yakni Korea Selatan, India, dan Pakistan dalam industri ini.

"Pembangunan industri militer seharusnya tidak hanya mengikuti keinginan presiden semata, akan tetapi harus berkelanjutan," ujar Muradi kepada gresnews.com, Senin (9/5).

PT PAL sendiri telah memenangkan tender setelah mengalahkan delapan negara produsen kapal diantaranya Korea Selatan. Tender pengadaan kapal perang dari pemerintah Filipina senilai USD 90 juta atau sekitar Rp 1 triliun lebih.

PT PAL dan produsen kapal asal Korea Selatan mengaku pernah memproduksi kapal tipe Landing Platform Dock (LPD-125). Kapal produksi bersama tersebut kemudian dimodifikasi oleh insinyur PAL atas masukan TNI AL selaku konsumen. Hasilnya, PAL mampu melahirkan kapal SSV. Usai menang tender di Filipina, PAL akan menyasar negara-negara Asia Tenggara karena kapal tipe SSV ini sangat cocok untuk negara kepulauan.

BACA JUGA: