JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penundaan rapat paripurna untuk membahas revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (UU KPK) berbuntut panjang. Penundaan paripurna ini dilakukan karena hanya ada 1 pimpinan DPR yang ada di Jakarta yaitu Ketua DPR Ade Komarudin. Sementara itu, para wakil ketua DPR sedang di luar kota dan luar negeri.

Penundaan ini semakin menambah gelombang penolakan yang disuarakan berbagai elemen masyarakat. Mereka mempunyai berbagai alasan untuk menyatakan penolakan itu, mulai dari memperlemah, tidak adanya satupun poin penguatan, tidak adanya kajian, hingga hanya akal-akalan para anggota dewan.

Kepala Divisi Peradilan dan Monitoring Indonesian Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan setidaknya ada lima alasan revisi itu ditolak. Selain poin-poin diatas, Emerson juga berkata bahwa revisi itu juga ditolak seluruh lapisan masyarakat.

"Mayoritas masyarakat menolak, substansinya memperlemah, tidak ada alasan mendesak harus direvisi. Apalagi naskah akademik mengenai kajian revisi itu juga sama sekali belum dibuka ke publik," kata Emerson di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (18/2).

Selain itu, jika revisi ini terjadi tentunya menjadi citra buruk pemerintah khususnya Presiden Joko Widodo. Terlebih lagi dalam kampanyenya calon presiden dan wakil presiden ketika itu, Jokowi berjanji untuk memperkuat lembaga antirasuah ini. Oleh karena itu menurut Emerson, pemerintah seharusnya tidak mengirim perwakilan ke DPR sebagai bentuk penolakan.

"Pemerintah tidak perlu mengirimkan wakilnya. Kita juga akan sosialisasi supaya masyarakat tidak memilih parpol yang setuju revisi UU KPK dalam Pilkada nanti," pungkas Emerson.

ADA PERJANJIAN - Sementara itu, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief juga terus menyatakan penolakannya mengenai revisi Undang-Undang Lembaganya oleh para anggota dewan. Laode malah mengaku bingung mengapa DPR begitu ingin merevisi UU tersebut.

"Kita lihat ada draft dari Baleg yang disampaikan KPK. Setelah kami lihat poinnya, katanya menguatkan, kami lihat semua, tak ada satupun yang menguatkan. Penyadap izin dewan pengawas, tidak boleh lagi angkat penyelidik dan penyidik KPK, diberi kewenangan SP3. Setelah kami lihat, kami bersurat ke DPR, tanda tangan berlima lalu dibawa ke DPR dan menolak revisi ini," kata Laode.

Laode kemudian mengungkap bahwa saat kepemimpinan Pelaksana tugas KPK yang dikomandoi Taufiequrrachman Ruki, ada semacam perjanjian dengan pemerintah untuk menyetujui revisi UU KPK. Dan dalam perjanjian itu ada empat poin revisi yang disepakati bersama.

Pertama perihal penyadapan yang tidak perlu izin kepada Pengadilan. Kemudian untuk yang kedua perihal adanya Dewan Pengawas, pengangkatan penyelidik dan penyidik sendiri, dan mempunyai kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

"Sebelum kami masuk, ada namanya gentlement agreement, antara pelaksana tugas dan pemerintah, ada revisi UU KPK. Dengan empat poin, KPK boleh angkat penyelidik dan penyidik sendiri," kata Laode.

Meskipun begitu, Laode mengatakan bahwa perjanjian itu tidak mengikat pimpinan KPK jilid IV. "Kami tanya, apa terikat dengan itu? Mereka bilang perjanjian itu ada dimasa kita," imbuh Laode.

Dia pun mengatakan jumlah parpol yang menyuarakan penolakan terus bertambah. Seperti diketahui saat ini 3 parpol yakni Gerindra, PKS dan Demokrat yang melakukan penolakan.

"Alhamdulillah pertama sikap satu partai yang menolak, Gerindra saja sekarang sudah tiga partai yang menolak. Insya Allah mendapatkan hidayah dari Allah yang maha kuasa," kata Laode, Kamis (18/2).

LOBI POLITIK - DPR kembali menunda rapat paripurna untuk membahas revisi UU KPK untuk kedua kalinya. Penundaan itu diduga bagian upaya lobi-lobi politik untuk menggolkan revisi UU KPK.

"Jika alasan penundaan itu karena sebagian besar pimpinan DPR tidak di tempat publik mungkin bisa maklum. Tapi kalau digunakan untuk lobi-lobi oleh fraksi besar di DPR untuk mengegolkan revisi itu, sangat disayangkan," ungkap Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid kepada wartawan, Kamis (18/2).

Hidayat pun menegaskan bahwa penundaan itu tidak akan mengubah sikap mereka yang menolak. "Berapa kali pun paripurna diundur sikap PKS tetap menolak revisi UU KPK,"

Hidayat mengatakan bahwa sikap penolakan ini bukan hanya berasal dari Fraksi PKS di DPR tapi arahan dari pengurus. Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf sudah mengetok keputusan itu.

"Rapat Dewan Pimpinan Tingkat Pusat PKS, Rabu (17/2) yang dipimpin Ketua Majelis Syuro memutuskan PKS menolak revisi UU KPK itu. Keputusan ini memperkuat sikap fraksi PKS yang dalam rapat sebelumnya juga menolak revisi itu," tegas Hidayat.

Awalnya rapat paripurna DPR dengan agenda penetapan revisi UU KPK sebagai usul inisiatif DPR dijadwalkan pada Kamis (11/2) namun kemudian ditunda ke Kamis (18/2). Kemarin, keputusan diambil untuk kembali menunda paripurna ke Selasa (23/2). (dtc)

BACA JUGA: