Kajian Dosen UGM: Revisi UU KPK Lebih Banyak Merugikan Pemberantasan Korupsi
JAKARTA - Setelah lama ditunggu, hingga penghujung tahun 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak juga mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Revisi UU KPK). Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD telah memastikan hal itu.
Kajian akademik dari Dosen Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Rimawan Pradiptyo yakni Regulatory Impact Assessment (RIA) terhadap revisi UU KPK menunjukkan lebih banyak kerugian dari pada manfaat yang didapat dengan adanya UU KPK itu. "Tidak terdapat bukti yang menunjukkan isi UU 19/2019 menguatkan KPK," bunyi salah satu kesimpulan kajian dari Rimawan yang Gresnews.com kutip pada Senin (30/12).
Isi kesimpulan lainnya menyebutkan UU 19/2019 justru berpotensi menciptakan state-captured corruption. Melemahkan fungsi penindakan KPK (detection rate dan conviction rate turun bahkan hilang pada beberapa hal): (a). Korupsi tetaplah sebagai kejahatan serius, namun KPK tidak diberi kewenangan menangani dengan cara-cara khusus, namun kewenangan dibatasi untuk menangani seperti kejahatan biasa; (b) KPK tidak lagi menangani kasus korupsi yang menjadi perhatian masyarakat; (c) Kemampuan penyadapan, penggeledahan dan penyitaan dibatasi.
Rimawan menyebutkan dalam revisi UU KPK itu juga melemahkan fungsi pencegahan KPK karena pencegahan hanya akan efektif jika lembaga yang melakukan pencegahan memiliki kemampuan penindakan yang kredibel. Status KPK menjadi ambigu, tidak lagi lembaga independen namun bagian dari eksekutif. SOP di KPK yang berlaku selama ini tidak akan berjalan efektif lagi, karena tidak didukung incentive single salary system yang merupakan asumsi dasar dari SOP yang ada selama ini.
KPK akan menjadi sumber korupsi karena sistem insentif yang akan berlaku sulit membuat pegawai KPK untuk berintegritas (hazard moral dan adverse selection). Reaksi dari calon koruptor perlu diwaspadai karena pelemahan fungsi penindakan dan pencegahan KPK akan mempengaruhi reaction function dari para calon koruptor. Pemerintah dan rakyat adalah dua lembaga yang menanggung biaya terbesar dari UU 19/2019 ini.
Revisi UU yang dibutuhkan adalah terhadap UU Tipikor untuk mengakomodasi rekomendasi UNCAC, namun ternyata DPR justru melakukan revisi terhadap UU KPK. Dampak pelemahan KPK akibat UU 19/2019, membalik proses reformasi yang telah dilakukan 21 tahun terakhir kembali ke titik awal (back to square one). Pelemahan KPK menciptakan sinyal yang keliru, sehingga investor yang tertarik berinvestasi justru investor yang tidak bertanggung jawab.
"Dampak jangka panjang pelemahan KPK adalah peningkatan perilaku dan cara berpikir korup," ungkapnya.
Rimawan menutup kajiannya dengan mengajukan tiga rekomendasi. Yakni, presiden hendaknya segera mengeluarkan Perppu untuk mencabut UU 19/2019 dan memberlakukan kembali UU 30/2002 tentang KPK. Lalu jika penyempurnaan terhadap UU KPK akan dilakukan pada masa datang, diperlukan kajian yang seksama dengan memanfaatkan evidence based policy dari berbagai disiplin ilmu.
Rekomendasi terakhir, UU Tipikor lebih mendesak untuk segera disusun amendemen-nya mengingat UU Tipikor telah ketinggalan zaman. Menurutnya ada banyak kasus, UU Tipikor ini justru menjadi sumber pemidanaan terhadap orang yang tidak bersalah. (G-2)
- YLBHI: Alasan Presiden Jokowi Tunda Keluarkan Perppu KPK Mengada-Ada
- OTT KPK Masih Berlaku Kendati UU Baru Diberlakukan
- YLBHI: Kekuatan Oligarki Kuasai Presiden dan DPR
- ICW Rilis Statistik Korupsi Politikus DPR
- Tekanan ke Jokowi, Friksi Pimpinan, Revisi UU KPK
- Lindungi Semua yang Jihad Lawan Korupsi, NU Tolak Revisi UU KPK