JAKARTA, GRESNEWS.COM - Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) akan dibahas para anggota dewan pada rapat paripurna yang berlangsung Kamis, (18/2) mendatang. Paripurna itu, akan menentukan apakah revisi tersebut menjadi usul dari pemerintah, atau DPR RI.

DPR sendiri, tampaknya menghendaki bahwa revisi tersebut berasal dari pihaknya. Hal ini terlihat dari jumlah fraksi yang mayoritas menyetujui revisi ini. Sebanyak 7 dari 10 fraksi di DPR menyetujui bahwa UU KPK memang harus direvisi.

Padahal, baik dari Koalisi Masyarakat Sipil hingga KPK sendiri terus menyatakan penolakan atas revisi tersebut. Mereka menganggap, revisi itu tak lain tak bukan adalah untuk melemahkan KPK dalam melaksanakan tugasnya memberantas tindak pidana korupsi.

Salah satu perwakilan Koalisi, Lalola Easter pun mendatangi Gedung KPK dengan membawa alat panggil tradisional berupa kentongan. Wanita yang kerap disapa Lola ini mengatakan, alat tersebut merupakan simbol bahwa KPK sedang dalam keadaan darurat.

"Kalau sampai ada pembahasan itu tanda bahaya. Penanda bahaya. Simbol, dukungan para komisioner ambil sikap tegas untuk tolak revisi UU KPK. Memang dibutuhkan, tapi sekarang kondisinya tidak mungkin. Draft kontennya bertentangan dengan penguatan KPK," kata Lola di Gedung KPK, Selasa (16/2).

Lola kemudian meminta lima hal terkait revisi ini. Pertama, para pimpinan KPK mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo agar revisi itu ditolak. Kedua meminta seluruh fraksi di DPR RI untuk membatalkan rencana revisi tersebut.

Kemudian ketiga, meminta kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR RI untuk mempertimbangkan dampak revisi UU KPK terhadap pemberantasan korupsi. Keempat, meminta Presiden Joko Widodo untuk menolak pembahasan revisi itu dengan DPR, dan terakhir mendorong masyarakat sipil untuk melakukan gerakan anti pelemahan terhadap KPK.

BERTEMU PRESIDEN - Sementara itu, Ketua KPK Agus Rahardjo berterima kasih atas dukungan masyarakat untuk menolak revisi ini. Menurut Agus, hal tersebut memang sejalan dengan lembaganya yang dengan tegas menolak revisi UU KPK.

"Sikap kami pun demikian, sudah jelas. Di dalam banyak kesempatan kami sudah sampaikan bahwa pimpinan yang baru maupun seluruh jajaran di KPK menolak dilakukannya revisi Undang-undang KPK dalam waktu dekat ini," kata Agus dalam kesempatan yang sama.

Mantan Ketua LKPP ini pun berujar, hingga sekarang ini UU KPK belum perlu untuk dilakukan perbaikan. Hal itu melihat index persepsi korupsi yang dimiliki sekarang justru meningkat dari tahun kemarin. Indonesia diketahui naik 19 peringkat menjadi urutan 88 dari 168 negara.

"Kami sudah menyampaikan ancer-ancernya kalau Index Perception Corruption (harusny Corruption Perception Index:CPI-red) sudah 50 baru kita akan melakukan kajian apakah kemudian revisi itu perlu dilakukan, jadi ini saya ini pimpinan, ketua dan seluruh komisioner dan seluruh jajaran di KPK mengucapkan menolak dilakukannya revisi Undang-undang KPK," pungkas Agus.

Untuk mempertegas penolakan ini, Agus mengatakan bahwa pihaknya telah meminta waktu untuk bertemu Presiden Joko Widodo. Namun, Agus belum bisa memastikan waktu pertemuan tersebut karena presiden saat ini sedang kunjungan kerja di Amerika Serikat.

"Kami ini sudah minta waktu pada saat pelantikan gubernur kemarin. Kami dijadwalkan akan segera bertemu dengan presiden setelah pulang dari Amerika," imbuh Agus.

POIN REVISI - Dari draft revisi UU KPK yang diterima gresnews.com, ada beberapa poin yang direvisi oleh para anggota dewan. Diantaranya terkait penyadapan, dewan pengawas, pengangkatan penyelidik dan penyidik serta kewenangan menghentikan perkara.

Untuk penyadapan, seperti yang tertera dalam Pasal 12 A ayat (1) huruf a menyebut bahwa penyadapan dilakukan setelah mendapatkan bukti permulaan yang cukup. Ini bisa dibilang bahwa penyadapan dilakukan setelah proses penyidikan. Padahal, KPK biasanya menggunakan penyadapan sejak dalam proses penyelidikan.

Sedangkan pada pasal yang sama ayat (1) huruf b, tertera jika penyadapan harus memerlukan izin tertulis dari Dewan Pengawas. Biasanya, penyadapan hanya memerlukan izin pimpinan. Dan untuk melakukan pengawasan KPK mempunyai Komite Etik.

Selanjutnya masih dalam Pasal 12 A ayat (3) berbunyi penyadapan dilakukan hanya dalam kurun waktu tiga bulan saja. Jika belum mencukupi, dapat diperpanjang hanya sekali dalam kurun waktu yang sama.

Pembentukan Dewan Pengawas diatur dalam Pasal 37 huruf A. Dan dalam ayat (2) tertulis bahwa Dewan Pengawas merupakan lembaga non struktural yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat mandiri. Kemudian ayat (3) berbunyi jumlah anggota Dewan Pengawas sebanyak 5 orang.

Kemudian dalam Pasal 37 ayat (3) berbunyi bahwa Dewan Pengawas laporannya disampaikan kepada Presiden dan juga DPR. Hal ini tampak bertentangan dengan prinsip KPK yang independen dan terlepas dari pengaruh manapun.

Pasal 40 mengatur tentang kewenangan KPK untuk bisa mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Padahal, sebelumnya KPK sama sekali tidak mempunyai kewenangan ini dan hal itu pun membuat lembaga antirasuah ini sangat berhati-hati dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.

Tentang pengangkatan penyidik dan penyelidik, diatur dalam Pasal 43. Disini, KPK juga harus mengangkat penyelidik dan penyidik dari unsur kepolisian, dan kejaksaan. Meskipun dalam pasal tersebut KPK juga diperbolehkan mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri.

BACA JUGA: