JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kondisi keuangan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang terus disoroti oleh berbagai pihak belakang ini telah meningkatkan kekhawatiran Kementerian Keuangan. Surat Menteri Keuangan Sri Mulyani bertanggal 19 September 2017, S-781/MK.08/2017 yang ditujukan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan Menteri BUMN itu mengungkapkan, kondisi finansial dan risiko gagal bayar dari utang-utang yang dimiliki PT PLN ini akan menjadi sebuah risiko besar terhadap keuangan negara.

Terkait hal ini, Greenpeace Indonesia menilai, buruknya kondisi keuangan PLN saat ini tidak terlepas dari buruknya kebijakan energi yang telah disusun pemerintah. Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Hindun Mulaika mengatakan, sejak awal diluncurkan Presiden Jokowi, program kelistrikan 35000 MW telah menuai kontroversi.

"Tahun ini kekhawatiran tersebut terbukti dengan pertumbuhan penjualan listrik yang tidak sesuai target. Dengan kata lain, batubara bukanlah sumber energi murah, ketergantungan pemerintah terhadap batubara justru mengakibatkan potensi kerugian negara yang sangat besar," kata Hindun dalam saran pers yang diterima gresnews.com, Rabu (27/9).

Merujuk pada laporan IEEFA berjudul "Capacity Payments to Coal-fired Power Plants could lock Indonesia into a High-Cost Electricity Future", tingkat utilisasi saat ini di Jawa-Bali yang berkisar di angka 57,3% masih dapat dinyatakan layak secara finansial. Tetapi apabila rencana penambahan 25000 MW terlaksana, maka akan terjadi overcapacity yang sangat besar.

Apabila hal ini terjadi, maka PLN harus membayar sebesar US$76 miliar untuk pembangkitan listrik yang tak terserap selama beberapa tahun ke depan. "Harus ada yang membayar kerugian tersebut. Tinggal dipilih, apakah PLN yang akan menanggungnya, dimana tentu saja ini akan menjadi kerugian besar yang ditanggung negara, atau apakah ini akan dibebankan kepada masyarakat dimana kita akan mengalami tarif dasar listrik yang tinggi di tahun-tahun mendatang," tambah Hindun.

Oversupply ini juga kerap diakui oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan. Dalam berbagai kesempatan, Jonan menyatakan bahwa kapasitas yang akan dibangun di Jawa-Bali sudah cukup sehingga Kementerian ESDM mempertimbangkan pembatasan rencana pembangunan di wilayah tersebut.

Kendati demikian, PLTU Batubara di Jawa yang saat ini masih berada dalam tahapan pra konstruksi layak ditinjau ulang. Bagi mereka yang sudah memenangi tender namun belum mendapatkan PPA tidak seharusnya dilanjutkan mengingat permasalahan yang ditimbulkan dari semua aspek, mulai dari kerugian rupiah, polusi udara dan dampak sosial serta lingkungan.

Karena itulah, kata Hindun, Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah untuk membatalkan seluruh proyek PLTU batubara yang dibangun di Jawa-Bali dalam program 35000 MW. Beberapa PLTU yang saat ini sedang dalam tahapan pra-konstruksi seperti PLTU Tanjung Jati B unit 5 dan 6, PLTU Cirebon Ekspansi dan PLTU Indramayu 2, dan PLTU Cilacap.

"Ekspansi harus segera dibatalkan karena bukan saja akan mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar tetapi juga akan mengancam kelestarian lingkungan dan penghidupan masyarakat sekitar PLTU-PLTU tersebut," terang Hindun.

Perencanaan ketenagalistrikan Indonesia sebetulnya juga telah gagal melihat bagaimana menurunnya harga energi terbarukan yang diikuti oleh perkembangan teknologi dapat melakukan intervensi yang maksimal, khususnya Jawa-Bali yang sistem koneksinya sudah stabil.

China juga telah mengalami situasi overcapacity 240.000 MW–499.000 MW dan kerugian yang diperkirakan akan dialami adalah US$490 miliar di tahun 2020. "Kita tentu tidak mau hal tersebut dialami oleh Indonesia di tahun-tahun mendatang, itu adalah alokasi yang jelas salah dan ceroboh dari sebuah rencana keuangan negara disaat sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan lebih layak untuk mendapatkan dukungan," pungkas Hindun. (mag)

BACA JUGA: