JAKARTA - Pertimbangan aspek politik lebih dominan daripada ekonomi dalam perumusan kebijakan kelistrikan di Indonesia sehingga kondisi kelistrikan di Indonesia pun menjadi sangat berat terutama saat pandemi COVID-19 sekarang ini.

Head of Center of Food Energy and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra P.G. Talattov mengungkapkan hal itu dalam webinar Kelistrikan Indonesia Salah Urus? yang diikuti Gresnews.com, Selasa (22/9/2020).

Dilihat dari sudut ekonomi makro, tantangan kelistrikan nasional saat ini semakin berat mengingat 45 negara di dunia telah mengalami resesi ekonomi. Indonesia pun berada di ambang resesi itu.

"Indonesia di kuartal II minus 5,3% tetapi kuartal III ini kemungkinan besar hampir seluruh lembaga itu memprediksi kembali tumbuh negatif. Artinya Indonesia selangkah lagi masuk ke dalam zona resesi," ujarnya.

Pandemi COVID-19 dan proses Pilkada 2020 adalah dua hal yang mempengaruhi pertumbuhan negatif ekonomi Indonesia.

"Kita tahu bahwa konsumsi rumah tangga berkontribusi terhadap 57,9% perekonomian dan untuk pertama kalinya juga konsumsi masyarakat itu tumbuh negatif 5,6%. Dari sisi investasi, pendapatan negara bukan pajak (PNBP) juga tumbuh negatif 8,6%," urainya.

Artinya adalah hal itu semua sangat erat kaitannya dengan kinerja sektor kelistrikan nantinya. Karena konsumsi rumah tangga menurun, investasi menurun, ekspor menurun, otomatis permintaan (demand) terhadap kelistrikan juga akan berpengaruh. "Itu yang mungkin perlu diantisipasi oleh industri di sektor kelistrikan," tuturnya.

Abra mengingatkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi (GDP) dan konsumsi energi sangat erat. Pada 2011-2015, ketika pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata tumbuh 5,8%, pertumbuhan konsumsi listrik sebesar 6,2%. Jadi pertumbuhan konsumsi listrik itu lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi.

"Jadi syarat untuk mendorong pertumbuhan konsumsi listrik ya tentu saja adalah dengan menjaga pertumbuhan ekonomi kita di level yang kita sama-sama harapkan," katanya.

Selain itu, kata Abra, sektor kelistrikan harus bisa menangkap ambisi besar sektor batu bara dan bijih logam/nikel yang saat ini digenjot pemerintah. Indonesia punya ambisi untuk menjadi pemasok batu baterai untuk kendaraan listrik di masa depan.

"Apakah ini akan menjadi peluang atau potensi buat sektor kelistrikan ke depan, Karena nanti ketika terjadi disrupsi di sektor otomotif dan dari BBM menjadi listrik ini seharusnya menjadi berkah atau menjadi peluang bagi sektor kelistrikan," katanya.

Sementara itu Ketua DPP Serikat Pekerja (SP) Pembangkit Jawa-Bali (PJB) Agus Wibawa mengungkapkan ia mendapat banyak pertanyaan tentang semacam anomali apakah PLN itu untung atau rugi.

"Kalau dikatakan PLN untung kok PLN tidak bisa investasi. Tapi kalau kita ngomong PLN itu tidak untung, PLN itu rugi, itu orang akan bertanya juga. Loh, kenapa kok bisa rugi. Kan PLN punya monopoli," kata Agus dalam webinar tersebut.

Kata dia lagi, ada juga masyarakat yang bertanya seharusnya swasta itu ikut mengelola listrik karena semakin banyak swasta maka persaingan semakin bagus sehingga konsumen diuntungkan.

Menurut Agus, PLN mesti mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka di masyarakat tersebut.

PLN mencatatkan kerugian sebesar Rp38,88 triliun pada kuartal I 2020. Kinerja keuangan PLN mengalami penurunan dibanding kuartal I 2019 yang berhasil meraup laba bersih Rp4,157 triliun. (G-2)

BACA JUGA: