JAKARTA, GRESNEWS.COM - Meski sudah ada kesepakatan antara pihak komika Muhadkly alias Acho dengan pengelola Apartemen Green Pramuka untuk menyelesaikan perkara cuitan Acho secara damai, namun pihak Polda Metro Jaya tidak mencabut perkara tersebut. Perkara antara Acho dan pihak Apartemen Pramuka tetap dilimpahkan ke kejaksaan.

Terkait masalah ini, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai, keputusan Polda Metro Jaya untuk melanjutkan kasus Acho patut untuk dipertanyakan. "Selain secara undang-undang tidak dapat dipertahankan, polisi juga nampaknya tidak merujuk pada putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa untuk kasus-kasus seperti ini," kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi W. Eddyono, kepada gresnews.com, Jumat (11/8).

Kasus yang menjerat Acho, kata Supriyadi, bukanlah kasus baru yang terjadi di Indonesia. Sebelumnya kasus dengan karekteristik yang sama terjadi pada Prita Mulyasari. Dalam akun twitter dan blog pribadinya, Acho menuliskan keluhan dan kritiknya pada pengelola Apartemen Green Pramuka. Merasa tertipu dengan perlakuan pengelola Green Pramuka, Acho menuliskan kerugian dan keluhannya dengan sejumlah bukti dan fakta yang dia alamai sendiri. Acho kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya.

ICJR menilai, tidak ada unsur pidana dalam kasus yang dialami Acho ini. Kasus yang dialami Acho sesungguhnya pernah terjadi pada kasus lain yang kemudian diputus bebas oleh Mahkamah Agung, salah satunya yang dialami Prita Mulyasari terkait kasus email keluhannya terhadap pelayanan RS Omni Internasional Alam Sutra. "Bagi ICJR seharusnya Polda Metro Jaya menghentikan penyidikan kasus Acho," terang Supriyadi.

Dia memaparkan, ada beberapa catatan penting yang harus digarisbawahi dalam kasus Acho. Pertama, pa yang dilakukan Acho bukan penghinaan. Apabila melihat isi tulisan Acho, maka bisa dengan mudah dilihat apa yang dilakukan Acho adalah pengungkapan pendapat yang dapat dibuktikan, sehingga tujuannya semata-mata adalah untuk menyampaikan keluhan, bukan untuk merendahkan martabat atau mencemarkan nama baik sebagaimana disangkakan.

"Sebagai seorang konsumen, tentu saja Acho berhak menyampaikan keluhannya terkait pelayanan di Green pramuka," terang Supryadi.

Sebelumnya MA pernah beberapa kali membebaskan terdakwa kasus penghinaan dengan alasan kebenaran pernyataan (truth), diantaranya dapat dijumpai dalam putusan No. 1430 K /Pid/2011 dan Putusan No. 899 K/Pid/2010. Melalui putusan tersebut, MA berpendapat bahwa dalam hal pernyataan yang disampaikan itu benar, maka tidak dapat dikatakan ada pencemaran nama baik atau fitnah.

Kedua, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara N0 50/PUU-VI/2008 dan Perkara No 2/PUU-VII/2009 yang kemudian diejawantahkan dalam penjelasan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE disebutkan, penghinaan dalam UU ITE merujuk Pasal 310-311 KUHP. Karena itu ketentuan rumusan dalam Pasal 310-311 KUHP melekat pada Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. "Atas dasar itu, maka korban penghinaan haruslah individu atau orang, bukan badan hukum, organisasi atau perkumpulan," ujar Supriyadi.

Acho sedang tidak mengkritik orang-perorangan, namun mengkritik pengelola Apartemen Green Pramuka sebagai satu kesatuan perusahaan. Lebih lanjut, karena Pidana Penghinaan adalah delik aduan absolut, artinya harus ada individu yang menjadi korban dan mengadu, Apartemen Green Pramuka dan pengelolanya sebagai satu kesatuan, tidak dapat menjadi korban dalam konteks penghinaan dalam Pasal 310 jo. 311 KUHP jo. Pasal 27 Ayat (3) UU ITE.

Ketiga, seperti kasus Prita Mulyasari, Acho tidak dapat dipidana karena merupakan bagian dari alasan pembenar berdasarkan Pasal 310 Ayat (3) KUHP. Bukan pencemaran apabila perbuatan itu merupakan bagian dari membela kepentingan umum. Dalam kasus Prita, kondisi ini juga mencakup itikad baik sebagai "warning" atau "peringatan" bagi masyarakat agar tidak mengalami tindakan yang sama.

Mahkamah Agung melalui putusan No. 22/PK/Pid.Sus/2011 dan putusan MA No. 300 K/Pdt/2010 membebaskan dan membernarkan tindakan Prita untuk alasan itu. "Dalam kasus Acho, apa yang dilakukannya bukan lagi ranah privat, karena bukan hanya Acho yang merasakan kondisi yang sama, kondisi ini sudah menjadi kepentingan publik, karena perlakukan pengelola Apartemen Green Pramuka juga akan dirasakan oleh masyarakat umum yang berpotensi membeli atau sudah membeli unit di Apartemen tersebut," papar Supriyadi.

Atas dasar itu, ICJR menilai, keputusan Polda Metro Jaya untuk melanjutkan kasus Acho patut untuk dipertanyakan. "Tindakan polisi dan apabila dilanjutkan oleh jaksa, akan menimbulkan iklim ketakutan untuk berpendapat di tengah masyarakat, khususnya bagi kasus-kasus yang bersifat pengaduan konsumen seperti kasus Acho," pungkasnya. (mag)

BACA JUGA: