JAKARTA - Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah akar seluruh masalah yang menimpa Baiq Nuril—perempuan korban UU ITE yang mendapatkan amnesti dari Presiden Joko Widodo. UU ITE perlu direvisi.

Ketua Harian MaPPI FHUI Dio Ashar Wicaksana menyatakan kesalahan-kesalahan UU ITE telah membuat korban yang seharusnya dilindungi justru dikriminalisasi. “Pemerintah dan DPR segera mengkonkretkan wacana revisi untuk perbaikan UU ITE,” kata Dio melalui pernyataan pers yang diterima oleh Gresnews.com, Selasa (30/7).

MaPPI FHUI dan ICJR menyoroti tiga masalah utama, yakni mengenai kesusilaan (Pasal 27 Ayat 1); hal mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik; tentang penghinaan (Pasal 27 Ayat 3); dan tentang penyebaran kebencian berbasis SARA (Pasal 28 Ayat 2).

Pasal-pasal tersebut dinilai tidak jelas konteks dan rujukan serta tak ada jaminan melindungi korban kekerasan seksual (kesusilaan); multitafsir dan rentan kriminalisasi berkaitan dengan pendistribusian informasi elektronik; pasal tentang penghinaan tidak jelas rujukannya dalam KUHP; dan pasal kebencian berdasarkan SARA menyasar kelompok dan individu yang mengkritik institusi dengan ekspresi yang sah. (G-1)

BACA JUGA: