JAKARTA, GRESNEWS.COM - Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) tentang Panitia Nasional Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter Tahun 2014–2015 memicu keresahan di kalangan mahasiswa kedokteran. Sebab adanya dari surat bernomor 27/DIKTI/Kep/2014 itu, mahasiswa kedokteran yang telah lulus kedokteran sesudah  tanggal 8 Juli 2014 harus kembali mengikuti ujian kompetensi mahasiswa.

Tak hanya persoalaan ujian rangkap. Mereka juga mengeluhkan beban biaya yang harus ditanggung. Para calon dokter itu mengaku harus merogoh kocek 2-5 kali lipat daripada biaya yang ditetapkan pihak Dikti.

Dede Iskandar, Presidium Pergerakan Dokter Muda Indonesia (PDMI), menyatakan, kebanyakan dokter yang lulus per tanggal 8 Juli 2014 telah menyelesaikan pendidikan kedokteran, baik S1, vokasi, dan yudisium serta segala biaya administrasi yang menyertainya. Sebelum muncul surat itu mereka bisa langsung dinyatakan sebagai dokter.

Namun hal itu berbeda bagi calon dokter dengan tanggal kelulusan setelah 8 Juli 2014. Jika ingin mendapatkan ijazahnya maka mereka harus mengikuti uji kompetensi mahasiswa tersebut. "Kami ini sudah lulus menjadi dokter, kenapa disuruh ujian mahasiswa lagi?" ujarnya kepada gresnews.com, Sabtu (8/8).

Para calon dokter muda ini kecewa lantaran pihak kampus justru turut menggiring mereka mengikuti ujian kompetensi mahasiswa. Bahkan sampai pada taraf mengintimidasi dengan mengumpulkan para wali mahasiswa dan meminta mereka mendorong anak-anaknya melakukan ujian kompetensi mahasiswa.

Sebelum 8 Juli 2014, uji kompetensi dokter hanya dilakukan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) selaku rumah besar profesi kedokteran. Ujian ini diperuntukan bagi para dokter yang ingin membuka praktek, sehingga bagi para dokter yang tak membuka praktek tak perlu mengikutinya. Sedangkan, ujian kompetensi mahasiswa oleh  Dikti "digetok" kepada seluruh dokter tanpa terkecuali.

"Ini seolah kami semua digiring untuk membuka praktek, padahal kan ada yang tak bersentuhan dengan pasien, misal bekerja di belakang meja atau melanjutkan pendidikan," ujarnya.

MERASA ADA DISKRIMINASI - Sebelum surat yang ditandatangani Joko Santoso itu beredar, mahasiswa kedokteran yang sudah mengikuti pendidikan kedokteran, baik S1, vokasi, dan yudisium dan segala biaya administrasi langsung mendapatkan ijazahnya.

Dede pun membandingkan dengan profesi lain yang juga melakukan ujian kompetensi. Misalnya pada lulusan S1 hukum yang ingin beracara maka harus mengikuti uji kompetensi dari Perhimpunan Advokai Indonesia (Peradi). Atau lulusan S1 akuntansi yang ingin menjadi akuntan tentu harus mengikuti ujian lagi yang diselenggarakan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Namun jika mereka tak ingin beracara atau mengaudit, tentu tak perlu mengikuti uji kompetensi dan ijazah tetap dapat dikantongi.

"Lalu kenapa kewenangan IDI diambil Dikti? Dikti itu untuk mahasiswa, sedang kami sudah lulus kemahasiswaan. Mereka overjob!" ujarnya geram.

Ia mencurigai pihak kampus ada main belakang dengan Dikti lantaran biaya-biaya ujian yang ditarik melebihi jumlah yang ditetapkan. Pada surat edaran tersebut, dinyatakan biaya yang dikeluarkan sebanyak Rp1 juta untuk satu kali ujian. Nominal sebanyak Rp1 juta ini dipergunakan untuk ujian praktek sejumlah Rp600 ribu dan ujian tertulis Rp400 ribu.

Namun, kenyataannya, pihak kampus menarik mulai dari Rp3-9 juta per kepala dan ditarik secara kolektif. Saat ditanyakan kelebihan rupiah tersebut, pihak kampus pun tak memberikan rinciannya. Jika tak lulus, maka para dokter ini pun harus membayar kembali dengan jumlah yang sama atau bahkan lebih.

Ketika perihal ini ditanyakan kepada kampus, menurut Dede, pihak kampus hanya menyatakan melaksanakan tugas Dikti. Namun saat ditanyakan ke Dikti, hal yang sama dikembalikan ke kampus. "Jika dilogika maka seharusnya biayanya berkurang. Kan sudah ada biaya cetak ijazah di pungutan sebelumnya, jadi pungutan kedua harusnya berkurang bukan bertambah," katanya. Menurut Dede dibandingkan  dengan ujian yang dilakukan oleh IDI dulu, biaya untuk melakukan ujian hanya dipatok Rp250 ribu saja.

Dede  mengungkapkan,  menjaga kompetensi dokter merupakan wewenang dan domain IDI, hal ini mengacu sistem hukum praktik kedokteran, pendidikan dan pelatihan berkelanjutan (Continuing Profesional Development atau CPD) pada Pasal 28 ayat (1) UU No. 29/2004 tentang Praktek Kedokteran. Pasal ini menyatakan kompetensi adalah domain profesi bukan akademi. Organisasi Profesi IDI mengasuh CPD guna terus menerus meningkatkan kompetensi dokter sebagai aplikasi adagium "Medicine is a life long study".

"Ujian yang dilaksanakan oleh Dikti itu paksaan karena hampir seluruh dokter tidak ingin mengikuti. Namun mereka dipaksa untuk mengikutinya," ujarnya.

Para dokter ini juga mempertanyakan pendiskriminasian dokter lulusan di atas 8 Juli 2014 dan di bawah tanggal tersebut. Padahal, banyak dokter yang lulus pasca tanggal ditetapkannya keputusaan Dikti masuk pada tahun yang sama dengan yang lulus di bawah tanggal tersebut. Hingga kini para dokter yang enggan mengikuti ujian kompetensi mahasiswa yang dilakukan Dikti pun masih menunggu agar ijazahnya dapat keluar.

Dalam ketentuan Pasal 25 ayat (1) UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi. Pasal 61 ayat 2 UU Sisdiknas ini menyatakan mahasiswa atau peserta didik yang telah melakukan tahapan ini kemudian diberikan ijazah sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.

"Nah, kredibilitas kampus sampai tak memberikan ijazah patut dipertanyakan," ujarnya.

PDMI pun menyatakan telah berkonsultasi ke Bareskrim Polri,  namun dianjurkan untuk negosiasi terlebih dahulu dengan jalan musyawarah. Jika tetap mandek mereka telah siap menempuh jalur hukum.

INTEGRASI UJIAN - Surat Edaran Dikti ini bagian dari tindak lanjut kesepakatan Dikti dan IDI. Sebab sebelumnya antara Dikti dan IDI telah ada kesepakatan untuk mengintegrasikan dua ujian profesi dokter, yakni  Uji Kompetensi Dokter dan Uji Kompetensi bagi Mahasiswa Program Profesi Dokter.

Sebelumnya, mahasiswa kedokteran harus lulus uji kompetensi nasional terlebih dahulu sebelum mengangkat sumpah menjadi dokter dan menjadi syarat kelulusan mahasiswa. Setelah lulus  dokter, ada uji kompetensi oleh kolegium IDI yang diwajibkan bagi para dokter untuk mendapatkan izin praktik kedokteran di seluruh Indonesia.

Dengan diadakannya program kerjasama antara Ditjen Dikti dan IDI tersebut, sejak bulan Agustus uji kompentensi hanya dilakukan sekali saja yaitu pada saat mahasiswa program kedokteran menyelesaikan studinya.

Panitia nasional uji kompetensi itu dibentuk kolegium dari IDI, Dikti dan Perguruan Tinggi. "Mudah-mudahan panitia dapat membangun sistem di mana ujian bisa dilaksanakan di semua daerah dengan standar yang sama," ujar Direktur Jenderal Dikti, Djoko Santoso, Senin (16/6/2014).

Pengintegrasian ujian itu  bertujuan untuk menjembatani fungsi dua undang-undang yaitu UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan UU No. 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.

IDI IKUTI ATURAN - Sekretaris Jenderal (Sekjen) IDI Slamet Budiarto menyatakan dalam hal ini IDI hanya bisa mengikuti peraturan yang telah ditetapkan. Dalam UU Pendidikan Kedokteran menyatakan mahasiswa kedokteran yang ingin lulus harus mengikuti ujian kompetensi. Sedangkan UU Praktek Kedokteran menyatakan bagi para dokter yang telah lulus dan menginginkan membuka praktek maka harus melalui ujian kompetensi.

"Berarti ada dua ujian kompetensi bagi dokter yang ingin praktek, yakni sebelum lulus jadi dokter dan setelah jadi dokter," katanya kepada gresnews.com, Sabtu (8/8).

Dalam UU Praktek Kedokteran memang disebutkan Uji Kompetensi dilakukan oleh IDI sedangkan dalam UU Pendidikan Kedokteran, Ujian kompetensi dilakukan fakultas kedokteran bekerja sama dengan lembaga profesi. Lantaran menimbang jika diterapkan keduanya akan memberatkan, maka dibuatlah perjanjian kerjasama dengan Dikti pada Juli 2014.

"Supaya tak menghambat yang mau jadi dokter praktek, ada kesepakatan dengan Dikti dilalui satu kali ujian kompetensi tapi diakui dua kompetensi," katanya.

Panitia uji kompetensi akhirnya disepakati langsung di bawah Dikti. Sedangkan IDI menstandarkan kendali mutu dalam ujian kompetensi tersebut, lalu IDI mengeluarkan sertifikat kompetensi tapi pelaksanaan tetap di bawah Dikti.

Menanggapi hal ini anggota Komisi X Dadang Rusdiana mengaku sepaham dengan para dokter. Sertifikat kompetensi, menurutnya, idealnya diterbitkan oleh organisasi profesi seperti IDI. Dalam hal ini Dikti tidak boleh terlalu jauh mencampuri. Terutama dalam persoalan kompetensi, yang sudah jelas IDI lebih memiliki kompetensi.

Menurutnya, dalam hal ini Dikti cukup mengatur regulasi dalam rangka menjamin kompetensi lulusan yang sesuai harapan masyarakat. "Adapun uji kompetensi seperti pada profesi lain baiknya diserahkan kepada organisasi profesi masing-masing," ujarnya kepada gresnews.com, Sabtu (8/8).

BACA JUGA: