JAKARTA, GRESNEWS.COM – Pemerintah mengklaim keberadaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (UU Pendidikan Kedokteran) tidak menimbulkan dualisme lembaga penguji kompetensi dokter. Alasannya, penyelenggara uji kompetensi yang diatur dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) mempunyai peran berbeda.
Sebaliknya, pemerintah berpendapat kedua undang-undang tersebut justru saling melengkapi. Undang-undang pertama mengatur uji kompetensi mahasiswa program profesi dokter, sementara undang-undang lainnya adalah lembaga yang mengeluarkan sertifikat kompetensi dokter.

Pernyataan itu disampaikan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan, Amal Taher saat menyampaikan keterangan pemerintah di sidang lanjutan pengujian UU Pendidikan Kedokteran yang dimohonkan Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) di Gedung MK, Jakarta, Senin (22/12). "Tidak tepat ketentuan UU Pendidikan Kedokteran memunculkan ketidakpastian hukum atas profesi dokter," tutur Amal.

Dijelaskannya, uji kompetensi dokter adalah sebagai syarat kelulusan bagi mahasiswa yang hendak menyelesaikan profesi dokter atau dokter gigi yang bersifat nasional. Uji kompetensi ini dilaksanakan oleh fakultas kedokteran bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan organisasi profesi.

Sementara UU Praktik Kedokteran tidak mengatur norma penyelenggaraan uji kompetensi. Undang-undang ini hanya menjelaskan definisi sertifikat kompetensi, yaitu surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter atau dokter gigi untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi.

Amal juga menolak dalil yang menyebutkan keberadaan dokter layanan primer (DLP) dalam UU Pendidikan Kedokteran menyebabkan ketidakpastian hukum dan merusak sistem hukum praktik kedokteran. Dijelaskannya, dokter layanan primer merupakan upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat akan seorang dokter dalam tingkat pelayanan primer.

Hal itu sesuai dengan fungsi layanan primer yang setara dengan dokter spesialis dan dokter subspesialis lulusan pendidikan dokter. Bahkan kata dia, layanan primer ini merupakan bagaian pelayanan kesehatan program jaminan kesehatan nasional (JKN) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Nasional (SJSN).

Sistem pelayanan kesehatan itu, lanjutnya, dibentuk karena adanya kebutuhan dan permintaan masyarakat atas pelayanan kesehatan yang membutuhkan dokter pelayanan primer. Dari sisi pendidikan, DLP juga mendapatkan pendidikan setara dengan spesialis yang mengintegrasikan kedokteran keluarga, kedokteran komunitas dan kesehatan masyarakat.

Sementara untuk membedakan dokter umum dan dokter layanan primer, dapat diidentifikasi melalui tingkat pendidikan masing-masing. Lulusan fakultas kedokteran atau program studi dokter (fresh graduate) dapat dianggap sebagai dokter layanan primer dasar atau basic primary care doctor.

Keterangan Amal itu membantah dalil PDUI yang menyatakan UU Pendidikan Kedokteran bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1 angka 9, Pasal 7 ayat (5) huruf b dan ayat 9, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 19, Pasal 24 ayat (5) huruf b dan ayat (7) huruf b, Pasal 28, Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31 ayat (1) huruf b, Pasal 36 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 39, Pasal 40 ayat (2) huruf b, dan Pasal 54.

PDUI beranggapan, fakultas kedokteran hanya menciptakan sarjana kedokteran, sementara yang berwenang mengeluarkan sertifikat profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia IDI.

Pemohon juga menganggap Pasal 1 angka 9 UU Pendidikan Kedokteran terkait definisi dokter khususnya frasa "dokter layanan primer" tidak memiliki kepastian hukum. Alasannya, definisi dokter dalam pasal ini tidak sama dengan definisi dokter yang dimaksud dalam UU Praktik Kedokteran. UU ini hanya mengenal dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis.

Selain itu frasa dokter layanan primer dinilai tidak memiliki pengakuan dalam hal kompetensi profesi, legalitas, prosedur formal syarat registrasi, perizinan dan gelar profesi. "Hal ini menimbulkan kerancuan kualifikasi dokter layanan primer dan ketidakcocokan dengan praktik kedokteran selama ini," tutur Kuasa hukum PDUI, Muhammad Joni pada sidang perdana perkara nomor 122/PUU-XII/2014, Selasa (18/11) lalu.

BACA JUGA: