JAKARTA, GRESNEWS.COM — Sejumlah pasal di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (UU Pendidikan Kedokteran) digugat oleh 32 dokter. Para pemohon terdiri atas dokter praktik, dosen, serta guru besar fakultas kedokteran di beberapa universitas di Indonesia.

Salah satu norma yang digugat para dokter tersebut adalah norma Pasal 1 angka 4 UU Praktik Kedokteran yang berbunyi: "Sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter atau dokter gigi untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi."

Menurut pemohon, berlakunya pasal a quo mengakibatkan timbulnya ketidakpastian hukum terkait dengan tahapan atau prosedur bagi seorang dokter untuk memperoleh izin praktik. Rumusan Pasal 1 angka 4 dinilai pemohon mengakibatkan dokter yang telah lulus Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKM PPD) masih harus mendapatkan lagi sertifikat kompetensi lain, baik dengan cara harus menempuh uji kompetensi lagi, maupun dengan syarat membayar sejumlah biaya untuk dapat memperoleh sertifikat kompetensi dimaksud.

"Hal ini jelas mengakibatkan ketidakadilan bagi lulusan fakultas kedokteran oleh karena sertifikat kompetensi ini mutlak dibutuhkan oleh seorang dokter untuk dapat memperoleh surat tanda registrasi dokter dari KKI—Konsil Kedokteran Indonesia—sebagai syarat mutlak guna memperoleh izin praktik," kata kuasa hukum pemohon, Vivi Ayunita, Kamis (23/2).

Atas hal itulah di dalam petitumnya pemohon meminta MK menyatakan Pasal 1 angka 4 UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa "sertifikat kompetensi" tidak dimaknai "tidak diberlakukan untuk lulusan baru Fakultas Kedokteran" dan frasa "uji kompetensi" dimaknai "haruslah diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi dan berbentuk badan hukum pendidikan".

Selain persoalan sertifikasi, norma lain yang digugat para pemohon badalah norma Pasal 1 angka 13 UU Praktik Kedokteran yang berkaitan dengan kolegium. Pasal a quo berbunyi: "Kolegium Kedokteran Indonesia dan Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia adalah badan yang dibentuk oleh organisasi profesi untuk masing-masing cabang disiplin ilmu yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu tersebut."

Menurut pemohon, kolegium tidak bisa dibentuk oleh organisasi profesi lantaran domain kolegium adalah pendidikan kedokteran. "Di seluruh dunia, tidak ada badan profesi yang mengurus pendidikan. Badan profesi itu mengurus persoalan profesi, serta kepentingan anggota. Badan profesi kedokteran mestinya bekerja menjaga martabat dan etik kedokteran, sekaligus berperan sebagaimana serikat pekerja profesi lain, memperjuangkan kesejahteraan anggotanya. Itu harus dibedakan dengan kolegium yang concern pada pendidikan kedokteran," kata Pemohon I Judilherry Justam kepada gresnews.com, Kamis (23/2).

Lantaran norma Pasal 1 angka 13 UU Praktik Kedokteran, lanjut Judilherry, saat ini Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) telah membentuk Kolegium Dokter Indonesia (KDI). Padahal, jauh sebelum itu sudah ada Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI).

"Sekarang, organisasi profesi seolah-olah merambah semuanya. Termasuk pendidikan. IDI membawahi kolegium. Menurut kami, itu tidak tepat. Kolegium tidak boleh menjadi sub-ordinat," sambung Judilherry.

Judilherry pun menyebut, dibanding 20-30 tahun lalu, IDI telah berkembang menjadi organisasi "super power" atau "super body" sejak 2-3 periode terakhir. IDI seolah menjadi organisasi super power bagi para dokter, perhimpunan dokter spesialis, serta kolegium kedokteran, namun tidak diimbangi dengan akuntabilitas.

"Dikatakan super body atau super power adalah karena UU Praktik Kedokteran telah memberikan kewenangan yang sangat besar pada IDI dalam bentuk, misalnya, memberikan surat rekomendasi praktik dokter dan hak memberikan sertifikat kompetensi ataupun resertifikasinya," sambung Judilherry.

Atas hal itulah Judilherry bersama 31 pemohon lainnya meminta MK menyatakan Pasal 1 angka 13 UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “oleh organisasi profesi”.

Selain Pasal 1 angka 4 dan angka 13, norma lain yang digugat oleh Judilherry dkk antara lain norma Pasal 14 Ayat (1), Pasal 29 Ayat (3) huruf d, dan Pasal 38 Ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran serta Pasal 1 angka 20, Pasal 5 Ayat (2), Pasal 7 Ayat (8), Pasal 8 Ayat (4), Pasal 11 Ayat (1), Pasal 24 Ayat (1), Pasal 36 Ayat (2) dan Ayat (3), serta Pasal 39 Ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran.

TIDAK POJOKKAN IDI — Sidang uji materi UU Praktik Kedokteran dan Pendidikan Kedokteran terhadap UUD 1945 di atas teregistrasi dengan nomor perkara 10/PUU-XV/2017. Dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Kamis (9/2) lalu, kuasa hukum pemohon Muhammad Asrun menegaskan, meski banyak menyoroti eksistensi IDI, uji materi yang dimohonkan oleh pihaknya tidak dimaksudkan untuk memojokkan IDI itu sendiri.

Namun demikian, sambung Asrun, di luar persidangan, muncul suara-suara sumbang yang menyebut bahwa gugatan tersebut secara langsung merupakan bentuk perlawanan terhadap eksistensi IDI selama ini. "Yang ingin dikoreksi atau yang diperbaiki adalah bagaimana norma dalam suatu peraturan itu tidak menimbulkan kerugian orang lain. Tetapi yang muncul belakangan ini adalah suara-suara bahwa Para Pemohon ini seolah-olah ingin menentang IDI. Ini yang saya kira salah kaprah, yang harus diluruskan," kata Asrun.

Lantaran adanya pandangan demikian, Asrun pun menyebut, sejumlah calon dokter dan dokter muda yang baru lulus dari universitas, batal mendaftarkan diri sebagai pemohon pada perkara di atas. Alasannya, para dokter baru itu khawatir jika gugatan yang mereka ajukan akan menimbulkan masalah langsung terkait profesi mereka di kemudian hari. "Oleh karena itu, yang maju bapaknya saja. Karena bapaknya kan sudah pensiun, sudah enggak ada masalah," katanya.

Terlepas dari ada-tidaknya masalah yang timbul andai calon dokter maupun dokter muda yang disebut Asrun maju sebagai pemohon, pada sidang dengan agenda perbaikan permohonan yang digelar Kamis (23/2), kuasa hukum pemohon Vivi Yunita menegaskan bahwa 32 orang dokter yang menjadi pemohon memiliki legal standing yang dilindungi UU.

"Para pemohon pada pokoknya memiliki kepedulian dalam mewujudkan terbangunnya etika berorganisasi dan keinginan akan terciptanya tata kelola yang baik dalam organisasi profesi guna meningkatkan profesionalisme dokter di Indonesia, yang akhirnya dapat memberikan dampak positif bagi kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat. Khususnya, berkaitan dengan pelayanan kesehatan," kata Vivi Ayunita, Kamis (23/2).

Vivi juga menegaskan, para pemohon berkepentingan terhadap adanya jaminan kepastian hukum terkait dengan penyelenggaraan pendidikan kedokteran. Antara lain terhadap pelaksanaan uji kompetensi, penetapan standar nasional pendidikan kedokteran, serta kepastian hukum terkait badan atau lembaga yang berwenang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan kedokteran.

"Permohonan pengujian konstitusionalitas yang diajukan oleh Para Pemohon yang merupakan para akademisi dan juga praktisi di bidang kedokteran ini adalah perwujudan upaya seorang warga negara baik secara sendiri-sendiri maupun secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya melalui penegakan nilai-nilai konstitusionalisme," paparnya. (gresnews.com/zulkifli songyanan)

BACA JUGA: