JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) menolak uji komptensi dan penerbitan sertifikat profesi dokter diserahkan kepada fakultas kedokteran perguruan tinggi. Sebab selama ini yang berwenang melakukan ujian kompetensi dan menerbitkan sertifikat profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
 
Mereka juga menolak keberadaan program pendidikan dokter layanan primer (DLP) atau dokter umum setara dengan spesialis. DLP ini dianggap merusak sistem hukum praktek kedokteran, dan menghambat peran dokter layanan umum dalam pelayanan kesehatan masyarakat.
 
Karena itu PDUI, meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menguji ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (UU Pendidikan Kedokteran) dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
 
Ketentuan itu diatur dalam Pasal 1 angka 9, Pasal 7 ayat (5) huruf b dan ayat 9, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 19, Pasal 24 ayat (5) huruf b dan ayat (7) huruf b, Pasal 28, Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31 ayat (1) huruf b, Pasal 36 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 39, Pasal 40 ayat (2) huruf b, Pasal 54 UU Pendidikan Kedokteran.
 
"Fakultas Kedokteran hanya menciptakan sarjana kedokteran, sementara yang berwenang mengeluarkan sertifikat profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia," kata kuasa hukum PDUI, Muhammad Joni dalam sidang perdana perkara nomor 122/PUU-XII/2014 ini di gedung MK,  Jakarta, Selasa (18/11).
 
Menurut Joni, Pasal 36 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran telah menimbulkan ketidak kepastian sistem atas profesi dokter. Sebab  ada dualisme lembaga yang berwenang menyelenggarakan uji kompetensi dokter dan mengeluarkan sertifikat kompetensi dokter.
 
Pasal tersebut juga dianggap menghambat masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan karena ada dualisme sistem yang harus dijalani oleh seseorang untuk menjadi dokter.
 
Pemohon juga menganggap Pasal 1 angka 9 UU Pendidikan Kedokteran terkait definisi dokter khususnya frasa ´dokter layanan primer´ tidak memiliki kepastian hukum. Alasannya, definisi dokter dalam pasal ini tidak sama dengan definisi dokter yang dimaksud dalam Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang  Praktik Kedokteran. Dalam UU Praktik Kedokteran hanya mengenal dokter dan dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis.

Selain itu frasa ´dokter layanan primer´ dinilai tidak memiliki pengakuan dalam hal kompetensi profesi, legalitas, prosedur formal syarat registrasi, perizinan dan gelar profesi.
 
Karena itu Pasal 1 angka 9, Pasal 7 ayat (5) huruf b dan ayat (9), Pasal 8, Pasal 19,
Pasal 24 ayat (5) huruf b dan ayat (7) huruf b, Pasal 28 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31 ayat (1), Pasal 39 ayat (1),
Pasal 40 ayat (2), dan Pasal 54 yang juga mencantumkan frasa ´dokter layanan primer´ dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum.
 
Menurut pemohon, pasal-pasal lain dalam undang-undang ini menyatakan, dokter layanan primer secara kompetensi masuk ke dalam kualifikasi dokter umum karena melakukan pelayanan pada fasilitas pelayananan tingkat pertama. Bahkan dalam Pasal 8 ayat (3) disebutkan program dokter layanan primer bukan kualifikasi dokter spesialis, tetapi pendidikan setara spesialis.
 
"Hal ini menimbulkan kerancuan kualifikasi dokter layanan primer dan ketidakcocokan dengan praktik kedokteran selama ini," jelas Joni.
 
Mereka juga menilai Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), khususnya frasa ´selain rumah sakit pendidikan´ merupakan norma yang dipaksakan. Sebab adanya dispensasi yang mengancam asas tanggung jawab, frasa tersebut dapat berarti pendidikan kedokteran termasuk spesialis-subspesialis tidak mutlak dilakukan di rumah sakit pendidikan.
 
Kemudian Pasal 31 ayat (1) huruf b sepanjang frasa ´memperoleh insentif…´ menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak jelas siapa yang bertanggung jawab untuk memberikan insentif tersebut. Selain itu adanya kekaburan makna konstitusional antara relasi korporasi rumah sakit dengan tenaga kesehatan atau relasi tersebut hanya dalam program pendidikan saja.
 
Karena itu, dalam petitumnya, mereka meminta frasa ´uji kompetensi´ Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran sepanjang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai sebagai ´ujian kelulusan akhir´. Sehingga ketentuan Pasal 36 ayat (1) menjadi berbunyi ´untuk menyelesaikan program profesi dokter atau dokter gigi, mahasiswa harus lulus ujian kelulusan yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai dokter atau dokter gigi´, dan ketentuan Pasal 36 ayat (2) menjadi berbunyi ´mahasiswa yang lulus ujian kelulusan akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh sertifikat profesi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi´.
 
Sementara Pasal 1 angka 9 menjadi berbunyi ´Dokter adalah dokter, dokter spesialis-subspesalis lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh Pemerintah´.
 
Seperti diketahui, Pasal 36 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran masing-masing berbunyi, Ayat (1) ´Untuk menyelesaikan program profesi dokter atau dokter gigi, Mahasiswa harus lulus uji kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi´. Ayat (2) ´Mahasiswa yang lulus uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh sertifikat profesi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi´. Kemudian ayat (3) ´Uji kompetensi Dokter atau Dokter Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan Organisasi Profesi´.

BACA JUGA: