JAKARTA, GRESNEWS.COM - Persoalan kabut asap akibat kebakaran hutan memang bukan hanya sekadar menjadi masalah dalam negeri Indonesia semata. Kiriman kabut asap dari Indonesia yang sudah sampai ke negara-negara ASEAN yang berdekatan seperti Singapura, Malaysia, Brunei dan Thailand, membuat persoalan ini sudah menjadi masalah regional.

Akhir Juli lalu misalnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengadakan pertemuan membahas masalah kabut asap. Pertemuan tingkat menteri se-ASEAN itu dilakukan untuk mencari solusi kebakaran hutan dan lahan serta pencemaran asap lintas batas negara ASEAN.

Pertemuan tersebut dihadiri lima Menteri Lingkungan Hidup ASEAN. Mereka adalah Menteri Bidang Lingkungan Hidup Brunei Darussalam Pehin Dato Haji Suyoi Haji Osman, Menteri LH Malaysia Datuk Seri G. Palanivel, Menteri Vivian Balakrishnan dari Singapura, Dapong Ratanasuwan dari Thailand dan Menteri Siti Nurbaya.

Isu yang dibahas dalam pertemuan tersebut adalah tinjauan kejadian bencana asap dan prakiraan cuaca lingkup ASEAN, update kondisi kebakaran hutan dan lahan masing-masing negara, peningkatan kemampuan dalam sistem deteksi dini dan pemantauan kejadian kebakaran hutan dan lahan bagi negara-negara ASEAN.

Selain itu juga membahas membangun kapasitas pemadaman kebakaran hutan dan lahan yang efektif, pelatihan terkait pengendalian kebakaran hutan dan lahan regional, proyek manajemen dan rehabilitas gambut, penentuan lokasi TWG/MSC THP berikutnya dan pembahasan rencana pendirian ASEAN Coordinating Center on Transboundary Haze Pollution Control (ACC THP).

Ketika itu memang sudah dibahas soal potensi kebakaran hutan yang bakal terjadi seperti saat ini. Ketika itu, sudah di data jumlah titik panas atau hotspot di seluruh Indonesia mencapai 4.763 titik. Di mana titik hotspot tertinggi berada di Provinsi Riau dengan 1.166 hotspot. Diikuti dengan Kalimantan Barat 539 hotspot.

Sayangnya, Indonesia sendiri kemudian gagal mengantisipasinya sehingga kebakaran hutan dan lahan kembali terjadi dan asapnya masih terus mengganggu tak hanya penduduk negeri sendiri tetapi juga negara tetangga. Beberapa negara tetangga yang secara letak geografis berdekatan dengan Indonesia seperti Malaysia dan Singapura pun sudah melancarkan teguran sebagai bentuk protes terhadap dampak kabut asap.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir mengakui, persoalan asap memiliki efek lintas batas yang dapat mengganggu negara tetangga. Tak heran jika Singapura kemudian melayangkan nota diplomatik kepada Indonesia .

"Kita mendapat nota diplomatik dimana mereka menyampaikan concern terhadap masalah asap. Mereka menyampaikan bahwa masalah asap mengganggu teritorinya," kata Arrmanatha kepada gresnews.com, Kamis (17/9).

Pria yang akrab disapa Tata itu menjelaskan, ada beberapa poin keberatan sekaligus concern dari negeri Singa itu. Sebab, kata dia, dampak dari persoalan asap cukup mengganggu dan berbahaya bagi kesehatan manusia.

Data dari Badan Nasional Lingkungan Hidup Singapura mengungkapkan, kualitas udara terus memburuk yaitu mencapai 144-167 Pollution Standard Index (PSI) atau tergolong tidak sehat (unhealty). Di Singapura, udara dinyatakan tidak sehat jika standar polusinya berada di antara angka 100-200 PSI.

HAMBATAN KERJASAMA HADAPI ASAP - Negara ASEAN memang sejak lama berharap masalah polusi asap yang bersifat transnasional (lintas batas) ini dapat diselesaikan melalui kerjasama antar negara anggota. Dalam hal ini Indonesia dapat menjalin kerjasama dengan negara yang terkena dampak seperti Malaysia dan Singapura.

Namun, bentuk kerjasama antar mitra kawasan pada kesempatan saat ini agak sulit tercapai. Sesuai arahan Presiden Joko Widodo, kata Tata, Indonesia belum membutuhkan bantuan dan asistensi dari kedua negara tersebut.

"Sesuai arahan presiden bahwa kita memiliki kapasitas yang cukup untuk mengatasi masalah asap," katanya.

Dia menggarisbawahi, ada kecenderungan negara anggota ASEAN lainnya tidak dilibatkan karena menyangkut masalah internal seperti aturan tentang perizinan bagi perusahaan di daerah. Selain pemadaman api, hal lain yang juga tidak kalah penting adalah penegakan hukum kepada pelaku yang terindikasi terlibat dalam upaya pembukaan dan pembakaran lahan.

Namun, Tata menyampaikan pada intinya sudah ada tawaran dari kedua negara sebagai bentuk dukungan menanggulangi masalah polusi asap yang belakangan semakin parah. "Mereka menyampaikan kesiapannya untuk membantu Indonesia dalam melakukan pemadaman api," sebut Tata.

Dalam keterangannya, disebutkan ada tawaran bantuan yang telah disampaikan Singapura yaitu satu unit pesawat khusus pemadaman api dan satu pesawat yang bisa melakukan upaya modification. Sementara untuk tawaran bantuan dari Malaysia, Tata belum memberikan keterangan secara pasti.

"Dari Malaysia perlu saya cek kembali apakah mereka juga akan menawarkan bantuan," tuturnya.

Terkait masalah ini, pihak Dewan Perwakilan Rakyat sebenarnya sudah mendesak pemerintah untuk segera menyatakan negara dalam keadaan darurat asap. Wakil Ketua Komisi IV DPR, Herman Khaeron mengatakan, seharusnya pemerintah pusat bertindak cepat menetapkan darurat nasional agar semua sumberdaya dikerahkan untuk memadamkan api dan mengantisipasi dampak buruk kebakaran hutan ini.

"Parahnya kabut asap yang melanda Sumatera dan Kalimantan yang disebabkan hotspot maupun firespot, tentu sangat memprihatinkan, karena kabut asap tersebut menyebabkan kesehatan dan ekonomi masyarakat di sekitarnya sangat terganggu. Perlu penanganan yang segera dan terkoordinasi antar lintas sektoral, pusat dan daerah, serta melibatkan seluruh stakeholder yang terkait, meski mungkin saja upaya pemadaman sudah dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan," katanya beberapa waktu lalu.

Pemerintah pusat harus segera mengambil alih. Agar semua aparat dan sumberdaya dapat dikerahkan untuk mengantisipasi bencana ini.

"Demikian pula, penetapan bencana dan kedaruratan harus segera di tetapkan oleh Pemerintah Pusat karena dampak yang ditimbulkannyapun sudah menghawatirkan, lintas provinsi, bahkan bisa berdampak kepada singapura dan malaysia. Pemerintah harus bertindak cepat dan tidak menunggu waktu, apalagi Komisi IV DPR sudah memberikan dukungan anggaran yang memadai untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan," katanya.

Sebelumnya Komisi IV DPR juga sudah mengingatkan pemerintah saat ratusan titik api di Jambi, Riau, Sumut, Sumsel dan sebagian Kalimantan sudah muncul. "Saya mengingatkan agar pemerintah segera melakukan sosialisasi dan kesiapan masyarakat, perusahaan, pemerintah daerah dan pusat akan datangnya potensi bencana kebakaran hutan dan lahan karena saat itu telah memasuki musim kemarau," kata Herman.

"Kami juga ingatkan bahwa Indonesia telah menyerahkan dokumen ratifikasi ASEAN Agreement on Transbounary Haze Pollution (Peresetujuan ASEAN Tentang Pencemaran Asap Lintas Batas / AATHP) ke Sekretariat ASEAN di Jakarta pada 20 Januari 2015 lalu, artinya jika kabut asap terjadi lagi ke negara tetangga maka kita bisa terkena denda," pungkasnya.

INDONESIA PERLU MEMBUKA DIRI - Selain mengerahkan seluruh sumber daya untuk memerangi kebakaran hutan dan polusi asap, pemerintah juga dinilai perlu membangun kerjasama dengan negara ASEAN lainnya. Dengan kata lain, pemerintah tidak bisa menutup diri dan secara tunggal menghadapinya sendiri.

Guru Besar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana mengatakan, penyelesaian asap merupakan ancaman yang perlu segera diatasi Pemerintah Indonesia. Sebab, bagaimanapun Indonesia sudah terikat dalam perjanjian kawasan mengenai penanggulangan asap yang tertuang dalam Asean Haze Agreement.

"Indonesia sudah meratifikasi Asean Haze Agreement. Itu artinya, masalah yang menyangkut lintas batas menjadi perhatian bersama. Harus ada kerjasama menghilangkan asap agar tidak menjadi masalah serius," kata Hikmahanto ketika dihubungi gresnews.com, Rabu (16/9).

Menurutnya, perlu membangun kerjasama dan menggalang bantuan bersama negara yang meratifikasi perjanjian itu seperti Malaysia dan Singapura misalnya tenaga ahli, teknologi dan lain-lain. "Sepanjang itu bisa menangani masalah asap, Indonesia perlu membuka diri," singkatnya.

Perjanjian yang resmi diberlakukan 2014 lalu itu, dimulai sejak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menyelenggarakan Sidang Paripurna dengan agenda pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) atau Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas.

Pada awal tahun 2015 lalu, Indonesia melalui perwakilan Kementerian Luar Negeri juga telah secara resmi menyerahkan dokumen ratifikasi AATHP ke Sekretariat ASEAN di Jakarta. Karena itulah, Indonesia perlu untuk membuka diri agar penanganan masalah ini bisa menjadi beban bersama negara ASEAN.

Memang jika ditilik dari sisi kronologis lahirnya perjanjian tersebut, Indonesia dapat dikatakan termasuk anggota baru. Pada tahun 2002 silam, seluruh negara anggota ASEAN telah menyepakati ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) di Kuala Lumpur, Malaysia yang resmi berlaku tahun 2003.

Perjanjian tersebut dilatarbelakangi kasus kebakaran besar-besaran di tahun 1997 yang mengakibatkan pencemaran asap lintas batas di beberapa negara ASEAN.

Ratifikasi perjanjian AATHP sendiri menjadi babak baru kerjasama Indonesia bersama negara anggota ASEAN. Artinya, kepemimpinan Indonesia sedang diuji dalam upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran lahan atau hutan di tingkat regional.

Walaupun dalam Asean Haze Agreement negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura tidak bisa mengajukan gugatan atau ganti rugi, namun Hikmahanto menilai perlu ada sikap dan komitmen serius menanggulangi polusi asap.

Sebab, kata dia, pada kasus-kasus sebelumnya ketika Indonesia belum meratifikasi perjanjian penanggulangan asap, ada berbagai wacana ketegangan muncul dan tidak menutup kemungkinan membuat Malaysia dan singapura melayangkan protes. "Bisa memicu ketegangan apabila tidak ada tindak lanjut dan penanganan secara signifikan dari Pemerintah Indonesia," jelasnya. (dtc)

BACA JUGA: