JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah pusat melalui Kementerian Sosial (Kemensos) berencana memberikan kompensasi terhadap korban dampak asap. Kompensasi akan dikucurkan kepada korban kabut asap di enam provinsi di Sumatera senilai Rp900 ribu per orang. Hitungannya, kompensasi sebesar Rp10 ribu dikali 90 hari, sehingga didapatkan nominal Rp900 ribu per orang.

Kompensasi itu diberikan kepada masyarakat sebagai penggantian karena  terkendala mendapatkan income (pendapatan) akibat kabut asap. Hitungannya, kompensasi sebesar Rp10 ribu dikali 90 hari, sehingga didapatkan nominal Rp900 ribu per orang.

Menurut Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, Kemensos saat ini sedang dalam tahap komunikasi bersama Bappenas dan Kementerian Keuangan. Khofifah menyatakan pemberian uang kompensasi ini akan diambil dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN).

Pertimbangan pemberian kompensasi ini, kata Khofifah,  mengingat jumlah korban kabut asap 25 persennya atau sekitar 1,2 juta orang merupakan warga masyarakat kelas bawah. Tak hanya itu, pemerintah juga akan memastikan cadangan logistik di kabupaten atau kota dan provinsi yang terdampak kabut asap tetap mencukupi.

Pemberian kompensasi ini sebelumnya dituntut sejumlah warga Provinsi Riau. Alasannya mereka menuntut pemerintah warga menderita akibat kabut asap sebagai akibat Kebakaran Lahan dan Hutan, yang diduga dilakukan perusahaan kehutanan dan perkebunan kelapa sawit. Dimana perkebunan sawit tersebut perizinannya diberikan oleh pemerintah pusat melalui kementerian terkait.

Tuntutan salah satunya diajukan Ketua Komisi Kebijakan Publik dan Politik, Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Provinsi Riau, Yopi Pranoto. Menurutnya masyarakat Riau harusnya sudah layak dievakuasi akibat  asap. Namun karena hal itu tidak dilakukan maka harus ada kompensasi yang diberikan pemerintah pusat, bukan oleh pemerintah daerah.

"Pemerintah juga dituntut  memberikan advokasi kepada lebih dari 6 juta lebih penduduk Riau, yang terpapar akibat asap, karena lingkungan sudah tidak layak lagi dihuni," katanya. Pemuda Riau juga menuntut  pemerintah pusat melakukan kebijakan  untuk menyelamatkan masyarakat Riau dari bencana kabut asap.  Serta mendesak Polda Riau  bersikap tegas terkait perkara kebakaran lahan dan hutan. Sebab kebakaran itu diindikasikan sengaja dilakukan untuk kepentingan ekonomi.

KOMPENSASI TAK RASIONAL - Namun menanggapi pemberian kompensasi ini, aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, Boy Jefri Sembiring, menilai angka penggantian tersebut tidak rasional. Bahkan terkesan meremehkan korban kabut asap.

"Untuk biaya kami beli tabung oksigen sehari saja tidak cukup," ujarnya kepada gresnews.com, Senin (5/10).

Akibat dampak kabut asap, menurut Boy, dirinya sehari bisa menghabiskan dua tabung kecil dengan harga Rp35-40 ribu per tabung. Tentu dibandingkan  penggantian Rp10 ribu per hari per orang, hal itu  dinilai tak memanusiakan korban kabut asap.

Menurutnya, seharusnya negara tak hanya memberi kompensasi. Namun  lebih dari itu, para korban kabut asap membutuhkan jaminan agar kebakaran tak lagi terulang. "Langkah yang diambil negara ini hanya untuk kasih unjuk mereka ada keprihatinan. Tapi tolok ukur kesehatan kita bukan Rp10 ribu!" ujarnya geram.

Selama 18 tahun terdampak kabut asap, seharusnya pemerintah lebih jeli melihat apa saja penyakit yang menempel akibat bencana tahunan itu. Mengecek setiap jiwa di Rumah Sakit dan memberikan penanganan semestinya. Terpenting lagi, menjerat korporasi yang berada di balik pembakaran lahan-lahan gambut.

"Selama ini kecenderungan penetapan tersangka hanya show off saja dan ada penetapan standar ganda antara perorangan dan korporasi," katanya.

Misalnya saja penetapan tersangka pada PT National Sago Prima baru dilakukan pada April 2014, padahal kejadiannya pada Januari 2014. Data pada Polda Riau sendiri menyatakan terdapat 300 tersangka perorangan di tahun 2013-2014, sedang untuk korporasi, Polda Riau menetapkan masing-masing satu tersangka dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 10 tersangka. Dari jumlah tersebut baik di tingkat Polda maupun KLHK baru satu yang masuk kasasi.

Ia berharap terdapat tindakan tegas pada korporasi yang terlibat menjadi dalang pembakaran. Selain itu, pemerintah harus merealisasikan janji agar tak terjadi kebakaran lagi di tahun mendatang. Ditambah pemberian penyuluhan bagi warga atas dampak kebakaran dan kabut asap.

"Presiden kan pernah berkomitmen untuk menyaring izin korporasi di lahan gambut secara total, partikel kebakarannya itu berbahaya bagi manusia," ujarnya.

BENCANA NASIONAL - Pantauan terakhir, terjadi lonjakan titik panas di sejumlah wilayah Sumatera mencapai 1.199 titik. Wakil Ketua DPR Agus Hermanto menyatakan pemerintah memang harus lebih tegas dan fokus memadamkan kebakaran. Presiden selaku kepala negara haruslah mendorong menteri-menteri terkait untuk menyelesaikan permasalahan secara serius dan tepat di titik persoalannya.

"Selama ini pemerintah belum serius menanganinya, terkesan malah mencari popularitas," katanya di Gedung DPR RI, Senayan, Senin (5/10).

Ia meminta ada pengerahan teknologi yang lebih modern agar kebakaran ini bisa lebih cepat teratasi dan tak terulang kembali. Bahkan ia mengusulkan kepada pemerintah agar tak segan-segan menerima tawaran bantuan dari negara lain. Sebab persoalan yang mendesak adalah memadamkan api yang terus menyebar, bukan sikap politis yang egois.

"Tetapkan menjadi bencana nasional agar ditangani dengan anggaran nasional pula, sehingga lebih fokus!" ujarnya.

BACA JUGA: