JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia semakin pekat saja. Saking pekatnya, bahkan kabut asap tak hanya mengancam kesehatan warga melainkan juga mengganggu sistem pembangkit listrik seperti yang terjadi di Riau.

Manajer Area PLN Pekanbaru Agustian mengatakan, asap membuat daya pembangkit menurun. Dia menjelaskan, kabut asap yang terjadi saat ini berdampak negatif terhadap pasokan listrik karena filter udara untuk keperluan PLTMG (Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas) sering kotor sehingga menurunkan daya.

"Filter udara pada mesin pembangkit kita sering tersumbat dan mengakibatkan kurangnya daya mampu untuk membangkitkan energi, sedangkan stok filter terbatas karena suplai dari Jakarta terkendala akibat penerbangan yang ditutup," ungkap Agus.

Upaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan pemerintah juga belum menunjukkan hasil memadai. Dengan alasan ini, DPR pun sudah meminta pemerintah lebih serius dalam menangani kebakaran hutan, termasuk menetapkannya menjadi bencana nasional.

"Menurut saya, pemerintah harus sigap, tegas, dan trengginas atasi kebakaran hutan. Ini lebih tepat untuk dijadikan bencana nasional," kata Wakil Ketua DPR Agus Hermanto di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (29/9).

Agus sudah pernah mengungkapkan usulan menjadikan kebakaran hutan sebagai bencana nasional ini pada awal September lalu. Namun, pemerintah tidak menetapkan bencana nasional.

Kini, asap kebakaran hutan semakin parah di Sumatera dan Kalimantan. Anak-anak menjadi korban dan sudah sekian lama sekolah diliburkan.

Menurut Agus, penetapan status bencana nasional bisa mempercepat penanganan kebakaran hutan. Anggaran dan usaha yang diterjunkan pun maksimal.

"Kalau dijadikan bencana nasional, anggaran yang disiapkan nasional, badannya juga nasional, bukan main-main. Saya lihat tidak seriusnya pemerintah dalam menangani kebakaran hutan," ucap politikus Partai Demokrat ini.

"Tidak usah malu-malu, memang ini bencana nasional yang merugikan masyarakat Indonesia," sambung Agus.

Bahkan pemerintah juga didesak untuk tidak malu-malu meminta bantuan internasional untuk mengatasi masalah ini. Pasalnya, kabut asap juga sudah mengganggu hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara tetangga khususnya Malaysia dan Singapura. Bahkan Singapura menyatakan kemarahannya kepada Indonesia terkait masalah ini.

UPAYA DIPLOMASI - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan, pemerintah harus proaktif mengatasi masalah antarnegara akibat kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan ini. Untuk itu pemerintah bisa melakukan pendekatan diplomasi dan kerjasama dengan negara-negara yang ikut menjadi korban kabut asap.

"Penyelesaiannya melalui kerangka kerjasama Asean Haze Agreement," kata Hikmahanto ketika dihubungi gresnews.com, Selasa (29/9).

Ia menilai, tanggung jawab harus diemban pemerintah karena bagaimanapun Indonesia secara langsung terikat dalam perjanjian kawasan mengenai penanggulangan asap yang tertuang dalam Asean Haze Agreement.

Namun demikian, dalam kerangka perjanjian itu, Hikmahanto menyebut negara tetangga tidak bisa mengajukan gugatan atau ganti rugi melainkan komitmen dan usaha bersama menanggulangi masalah yang terjadi. "Masalah yang menyangkut lintas batas menjadi perhatian bersama," kata dia.

Menurutnya, program atau kerjasama dapat ditempuh dengan asistensi atau bantuan untuk menunjang upaya penanggulangan asap. Hal itu dimungkinkan karena berlaku prinsip kerjasama dalam penanggulangan asap.

Pemerintah, kata Hikmahanto, terbuka peluang menjaring maupun menggalang bantuan bersama negara yang meratifikasi perjanjian diantaranya bersama Malaysia dan Singapura melalui pengiriman tenaga ahli (expert) hingga transfer teknologi. Walaupun dalam Asean Haze Agreement negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura tidak bisa mengajukan gugatan atau ganti rugi, namun Hikmahanto menilai perlu ada sikap dan komitmen serius menanggulangi polusi asap.

Sebab, kata dia, pada kasus-kasus sebelumnya ketika Indonesia belum meratifikasi perjanjian penanggulangan asap, ada berbagai wacana ketegangan muncul dan tidak menutup kemungkinan membuat Malaysia dan Singapura melayangkan protes.

Indonesia meratifikasi perjanjian penanggulangan asap (Asean Haze Agreement) pada tahun 2014 lalu melalui Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) atau Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat.

Perjanjian itu dinilai penting sekaligus menjadi komitmen bersama mengatasi masalah polusi dan pencemaran asap. Sebab, selain mengganggu, asap dapat dikategorikan sebagai persoalan serius, tidak hanya di dalam negeri tetapi merupakan dimensi lintas batas.

Tanpa itu, dinilai sejumlah negara kawasan yang dekat secara geografis dengan Indonesia misalnya Malaysia dan Singapura, tidak menutup kemungkinan akan melakukan protes karena diposisikan sebagai areal terpapar asap kiriman dari wilayah Kalimantan serta Sumatera.

SELESAIKAN AKAR MASALAH - Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta Nikolaus Loy mengatakan, penyelesaian kasus kabut asap dalam kerangka kerjasama ini sebaiknya diarahkan pada konteks diplomasi atau dalam hal ini diselesaikan melalui kerjasama antarnegara anggota. Alasannya, persoalan transnasional mengenai asap lebih pada pertanggungjawaban kawasan tanpa ada keterlibatan pihak yang lebih luas.

Selain itu, pandangan kerjasama perlu didasari penyelesaian pada akar masalah. Hal itu sebagai cara efektif menghentikan laju pembakaran hutan. Nikolaus Loy menilai, ada beberapa cara yang ditempuh yaitu pendekatan dua tingkat mulai dari akar masalah dan dampak.

Selain itu, enforcement atau penegakan aturan perlu dijabarkan pada tingkat regional dan nasional. "Masalah asap itu termasuk crossborder dan simultaneous issue. Harus ditanggapi dengan coordinated action," kata Niko kepada gresnews.com, Selasa (29/9).

Menurutnya, kasus ini membawa dampak kolektif, dimana penyebabnya melibatkan perusahaan dari negara-negara Asean. Konteks koordinasi, kata Niko perlu dibangun sebab hutan indonesia merupakan paru-paru Asean bahkan dunia.

"Terpenting adalah pembagian beban yang didasarkan pada kerangka regional agreement. Intinya, sumber asap dari Indonesia, dampaknya crossborder (lintas batas) sehingga butuh kerjasama," ucapnya.

Berikutnya, lanjut Niko, strategi penanganan lain dapat juga dirundingkan misalnya lewat regional funding untuk quick response, menangani dampak sosial dan ekonomi lokal hingga pemulihan hutan. Sementara menjalankan itu, pemerintah negara masing-masing, secara regional diharapkan aktif memberi sanksi kepada perusahaan yang terlibat pembakaran hutan.

KONSEKUENSI HUBUNGAN ASEAN - Jika tak diselesaikan dan terus menjadi persoalan menahun, masalah kabut asap ini dikhawatirkan memang akan dapat berdampak buruk bagi interaksi negara di kawasan Asean. Dosen Hubungan Internasional UPN "Veteran" Yogyakarta Ludiro Madu menilai, dampaknya lebih pada hubungan bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga di kawasan.

"Jalur diplomasi sebenarnya bisa lewat prosedur red notice atau peringatan dari negara di kawasan kepada Kementerian Luar Negeri Indonesia," kata Dosen HI yang sekaligus membidangi kawasan ASEAN itu.

Negara-negara tetangga, sebut Ludiro, berpeluang mengambil kebijakan keras seperti peringatan berupa red notice, nota protes dan langkah diplomatik lainnya. Namun, pada kenyataannya, negara seperti Singapura sejauh ini masih enggan mengambil langkah tersebut dan hanya mengeluh secara informal lewat media sosial.

Namun, konsekuensi dari asap diharapkan tidak mengganggu harmonisasi dan relasi antar negera ASEAN. Jalan keluarnya, Ludiro menilai dapat ditempuh melalui ASEAN Convention on Transboundary Have and Polution Haze (Perjanjian Penanggulangan Asap negara ASEAN).

Menurutnya, asas perjanjian itu memungkinkan adanya perundingan dan kerjasama tidak hanya di tingkat pemerintah namun melibatkan instansi di daerah, masyarakat, bahkan perusahaan yang pemiliknya warga negara asing.

Terkait kerjasama dengan negara sekawasan untuk mengatasi masalah kebakaran hutan dan lahan ini, pemerintah memang masih menutup diri. Sekretaris Kabinet Pramono Anung menegaskan, pemerintah akan berupaya semaksimal mungkin dengan kekuatan dalam negeri.

"Tentunya Presiden menyerahkan langkah-langkah itu dalam koordinasi di lapangan. Tapi sekali lagi kita akan upayakan apa yang kita lakukan dengan upaya kita sendiri," kata Pramono di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Senin (28/9).

Sebelumnya Singapura sudah menawarkan bantuan kepada Indonesia untuk memerangi asap. Singapura menawarkan bantuan berupa pesawat C-130 untuk bentuk awan hujan dan Chinooks untuk padamkan api. "Sementara ini belum ada kata sepakat (untuk terima bantuan asing)," kata Pramono.

Meski demikian Pramono mengakui bahwa dampak asap kebakaran hutan amat luar biasa. Dia sendiri merasakan dampak asap itu ketika mendampingi Presiden Jokowi ke Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.

"Para pejabat terkait juga sudah berkantor di lapangan sejak adanya instruksi untuk menangani kebakakaran hutan," ujarnya. (dtc)

BACA JUGA: