JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kuasa Hukum PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI) Hary Ponto mengatakan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat makin mengukuhkan kepemilikan PT CTPI ada di tangan Siti Hardiyanti Rukmana atau akrab disapa Mbak Tutut. Dia mengaku bersyukur hakim tetap bisa independen walaupun pemberitaan di MNC group sangat gencar memojokkan Tutut.

"Mbak Tutut selalu percaya bahwa kebenaran pada akhirnya akan menang," ujar Ponto saat dihubungi Gresnews.com, Kamis (30/4).

Seperti diberitakan kemarin, sengketa kepemilikan TPI yang disidangkan di PN Jakpus menegaskan kembali kepemilikan TPI oleh Mbak Tutut. PT Berkah Karya Bersama yang sebelumnya, dimenangkan lewat keputusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dibatalkan oleh PN Jakpus.

"Menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) pada 12 Desember 2014," kata ketua majelis hakim Kisworo dalam sidang putusan di PN Jakpus, Jl Gadjah Mada, Rabu (29/4) kemarin.

Dalam pertimbangannya, hakim Kisworo mengatakan sudah membaca dan meneliti bukti serta mendengar keterangan para pihak serta saksi maupun ahli. Dengan demikian dia memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan para pemohon.

"Majelis berpendapat putusan BANI tersebut telah bertentangan dengan ketertiban umum dan putusan pengadilan sehingga patut untuk dibatalkan," ucap Kisworo.

Dalam sidang ini, para pemohon terdiri dari Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut), PT Tridan Satriaputra Indonesia, PT Citra Lamtoro Gung Persada, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, Mohamad Jarman, dan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI).

Kuasa hukum PT Berkah Karya Bersama Andi Simangunsong tetap menghormati pertimbangan dan putusan majelis hakim. Tetapi Andi tidak terima dan akan mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung (MA). Dia menjelaskan dalam Pasal 70 U UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sudah dibahas beberapa alasan secara limitatif untuk membatalkan putusan arbitrase.

Andi menuturkan ketentuan pembatalan dalam Pasal 70 tersebut adalah adanya pemalsuan dokumen, tipu muslihat, dan penyembunyian dokumen yang menguntungkan pihak lawan. "Pertimbangan yang dipakai majelis kami rasa tidak benar," kata Andi seusai persidangan.

Terkait hal ini Sekretaris korporat MNC Syafril Nasution mengatakan sengketa kepemilikan hanya melibatkan PT Berkah Karya Bersama dengan PT CTPI. Sehingga ia mengklaim sengketa ini tidak ada hubungannya dengan MNC. "MNC bukan bagian yang bersengketa. Putusan PN tidak berdampak apa-apa pada MNC," ujarnya saat dihubungi pada kesempatan terpisah.

Kemenangan ini mengukuhkan Tutut sebagai pemilik sah TPI. Sebelumnya, Tutut juga memenangkan di tingkat kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). Sayang, hingga hari ini proses eksekusi tersebut selalu gagal.

Pihak Tutut sendiri sejak awal sudah menyatakan akan kembali bersiaran setelah sembilan tahun tak beroperasi. Dalam kesempatan konferensi pers bersama Direksi TPI barunya di Graha Niaga, Jakarta, Jumat 21 November 2014 lalu, Mbak Tutut memastikan TPI segera beroperasi kembali setelah peninjauan kembali (PK) PT Berkah Karya Bersama ditolak Mahkamah Agung berdasar putusan tertanggal 29 Oktober 2014.

Dengan manajemen baru, Mbak Tutut akan segera mengambil alih kantor TPI di TMII dan frekuensinya yang saat ini dipakai MNC TV milik Hary Tanoesodibjo. "Kami akan mengambil hak kami. Kalaupun belum kembali, kami mohon yang berwajib mengambil alih," kata Mbak Tutut.

Begitu pun dengan urusan frekuensi siaran, TPI akan tetap menggunakan frekuensi yang saat ini masih dipakai MNC TV.

Kuasa hukum TPI, Harry Ponto berharap putusan kasasi MA yang memenangkan gugatan Tutut atas kepemilikan TPI dihormati. Tapi kapan eksekusi dilakukan, manajemen TPI belum bisa memastikan. "Sebisa mungkin suatu putusan dihormati baik-baik, sukarela. Kalau tidak akan lewat jalur hukum. Tapi pastinya kapan, ya pelan-pelan," ujar Harry.

Putusan PK nomor 238 PK/Pdt/2014 telah berkekuatan hukum tetap dan menyatakan Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) sebagai pemilik sah Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Terkait hal ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah menyatakan agar Hary Tanoe lapang dada menerima putusan PK itu.

Sebagai tokoh nasional, kata Kalla, Hary juga tidak boleh menebar fitnah yang dapat merusak nama baik seseorang, terutama para hakim yang menangani perkara. "Jangan karena kalah hakim itu disebut bermasalah. Kalau dia (Hary) menang disebut bagus hakimnya. Jangan begitu," kata Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (14/11).

Kalla mengatakan, seharusnya Hary memberikan contoh yang baik dalam menyelesaikan suatu perkara di ranah hukum. Sebab, lanjutnya, dalam memutuskan suatu perkara, para hakim di Mahkamah Agung sudah melakukan pertimbangan secara matang. "Karena kalah, coba menang, hebat hakim itu. Itu pengadilan, harus terima putusannya," kata Kalla.

Sebagai catatan, pada Jumat, 14 November 2011, MA mempublikasikan salinan putusan PK terhadap putusan MA Nomor 862 K/Pdt/2013 tertanggal 2 Oktober 2013 yang diputusa oleh majelis hakim Dr. H. Mohammad Saleh, dengan anggota Prof., Dr. H. Abdul Manan, S.H.,S.IP., M.Hum., dan H. Hamdi, S.H.,M.H.

Ada empat alasan mengapa MA menolak PK yang diajukan PT Berkah Karya Bersama, perusahaan yang memiliki keterkaitan dengan HT itu.

Pertama, sengketa dalam perkara nomor 238 PK/Pdt/2014 ini adalah perbuatan melawan hukum, bukan sengketa hak berdasarkan Investment Agreement. Sebab terdapat pihak yang tidak terikat dengan Investment Agreement tersebut ikut digugat dalam perkara a quo yang tidak terikat dengan perjanjian tersebut. Sehingga tidak termasuk pada ketentuan yang diatur dalam Investment Agreement tanggal 23 Agustus 2002.

Perjanjian Investment Agreement terjadi antara Penggugat dengan Tergugat I dan Turut Tergugat I, sedangkan Tergugat II dan Turut Tergugat lainnya tidak terikat dengan isi perjanjian tersebut sehingga Pengadilan Negeri berwenang mengadili perkara tersebut.

Kedua, MA menyatakan para Tergugat terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Judex Facti (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dan Judex Juris dengan tepat.

Ketiga, surat-surat bukti Pemohon PK I hingga PK IV semuanya dibuat pada tanggal 18 Oktober 2013, yaitu setelah adanya putusan kasasi dalam perkara a quo (tanggal 2 Oktober 2013). Akibatnya tidak bernilai sebagai novum yang menentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 (b) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.

Keempat, alasan Pemohon PK lainnya merupakan pengulangan yang hanya mengenai perbedaan pendapat antara Pemohon PK dengan Judex Facti (Pengadilan Negeri ) dan Judex Juris. (dtc)

 

BACA JUGA: