JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kalah di jalur hukum dalam kasus sengketa kepemilikan stasiun televisi TPI rupanya tak membuat CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo mau menyerahkan TPI kepada pemilik sahnya, Siti Hardianti Rukmana. Alih-alih patuh pada putusan hukum, HT--sapaan akrab Hary-- kini malah berupaya memobilisasi isu dan opini melalui jaringan media massa miliknya untuk "menyerang" putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung agar tampak seperti putusan yang menyesatkan.

Putusan PK nomor 238 PK/Pdt/2014 telah berkekuatan hukum tetap dan menyatakan Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) sebagai pemilik sah Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). "Kredibilitas HT sebagai pengusaha, pimpinan partai politik (Hanura) justru akan semakin terpuruk jika tidak mematuhi dan menghormati putusan pengadilan," kata Juru bicara TPI Asroru Maula kepada wartawan di Jakarta, Senin (17/11), di Jakarta.

Asroru mengatakan hukum tetap harus dijunjung tinggi dan tak bisa dikalahkan oleh pembentukan opini. Putusan PK yang dikeluarkan oleh MA beberapa waktu lalu sudah jelas dan terang benderang menyatakan bahwa TPI dan badan hukum yang menaunginya yakni PT Cipta TPI adalah sah milik Mbak Tutut. HT tidak bisa mengelak lagi.

"Bisa dikatakan saat ini pimpinan yang mengendalikan MNC TV adalah ilegal. MNC TV adalah perubahan nama dari TPI yang badan hukumnya adalah PT Cipta TPI, yang sah dimiliki oleh Mbak Tutut," kata Asroru.

Asroru menegaskan adalah kesia-siaan belaka bagi pihak HT yang dengan segala cara dan upaya memanfaatkan akademisi, LSM, dan pejabat negara untuk menggulirkan opini menyesatkan, mulai dari putusan MA itu janggal, mengandung unsur suap, dan sebagainya. Dia menilai, upaya penggiringan opini itu justru menunjukkan bahwa HT telah menggunakan segala jaringan dan sumber daya yang dimilikinya untuk melawan kekuasaan pengadilan yang sah.

"Segera berhenti menyesatkan masyarakat. Kalau ada kejanggalan dalam putusan, silakan dibuktikan dengan fakta bukan opini. Media massa itu untuk kepentingan publik, jangan seenaknya dimanfaatkan untuk memobilisasi nafsu dan kepentingan pribadi," tutur Asroru.

Sementara itu, Jumat pekan lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan Hary Tanoe seharusnya lapang dada menerima putusan PK itu. Sebagai tokoh nasional, kata Kalla, Hary juga tidak boleh menebar fitnah yang dapat merusak nama baik seseorang, terutama para hakim yang menangani perkara.

"Jangan karena kalah hakim itu disebut bermasalah. Kalau dia (Hary) menang disebut bagus hakimnya. Jangan begitu," kata Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (14/11).

Kalla mengatakan, seharusnya Hary memberikan contoh yang baik dalam menyelesaikan suatu perkara di ranah hukum. Sebab, lanjutnya, dalam memutuskan suatu perkara, para hakim di Mahkamah Agung sudah melakukan pertimbangan secara matang. "Karena kalah, coba menang, hebat hakim itu. Itu pengadilan, harus terima putusannya," kata Kalla.

Sebagai catatan, pada Jumat (14/11), MA mempublikasikan salinan putusan PK terhadap putusan MA Nomor 862 K/Pdt/2013 tertanggal 2 Oktober 2013 yang diputusa oleh majelis hakim Dr. H. Mohammad Saleh, dengan anggota Prof., Dr. H. Abdul Manan, S.H.,S.IP., M.Hum., dan H. Hamdi, S.H.,M.H.

Ada empat alasan mengapa MA menolak PK yang diajukan PT Berkah Karya Bersama, perusahaan yang memiliki keterkaitan dengan HT itu.

Pertama, sengketa dalam perkara nomor 238 PK/Pdt/2014 ini adalah perbuatan melawan hukum, bukan sengketa hak berdasarkan Investment Agreement. Sebab terdapat pihak yang tidak terikat dengan Investment Agreement tersebut ikut digugat dalam perkara a quo yang tidak terikat dengan perjanjian tersebut. Sehingga tidak termasuk pada ketentuan yang diatur dalam Investment Agreement tanggal 23 Agustus 2002.

Perjanjian Investment Agreement terjadi antara Penggugat dengan Tergugat I dan Turut Tergugat I, sedangkan Tergugat II dan Turut Tergugat lainnya tidak terikat dengan isi perjanjian tersebut sehingga Pengadilan Negeri berwenang mengadili perkara tersebut.

Kedua, MA menyatakan para Tergugat terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Judex Facti (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dan Judex Juris dengan tepat.

Ketiga, surat-surat bukti Pemohon PK I hingga PK IV semuanya dibuat pada tanggal 18 Oktober 2013, yaitu setelah adanya putusan kasasi dalam perkara a quo (tanggal 2 Oktober 2013). Akibatnya tidak bernilai sebagai novum yang menentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 (b) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.

Keempat, alasan Pemohon PK lainnya merupakan pengulangan yang hanya mengenai perbedaan pendapat antara Pemohon PK dengan Judex Facti (Pengadilan Negeri ) dan Judex Juris.

Pihak HT sendiri masih terus berkelit dan berupaya menghindari ketetapan hukum yang sah ini. Kuasa hukum PT Berkah Karya Bersama Andi F Simangunsong berdalih putusan MA terkait PK tidak berpengaruh kepada kepemilikan PT Berkah, karena hal itu terkait soal RUPS dan pencatatan di Kemenkumham.

Sementara untuk sengketa kepemilikan dan sengketa atas hak saham saat ini sedang berlangsung di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Kata dia, putusan MA seharusnya menunggu hasil dari sidang arbitrase. "Nggak ada pengaruhnya karena ini masalah saham bukan kepemilikan," kata Andi kepada Gresnews.com, beberapa waktu lalu.

BACA JUGA: