JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pertemuan antara pimpinan DPR dan pimpinan KPK hari ini membahas masalah koordinasi antar lembaga. Dalam hal ini pimpinan DPR menyoroti seluruh kasus yang datang bertubi-tubi kepada lembaga antirusuah tersebut. Mereka meminta KPK melihat kasus secara keseluruhan bukan satu per satu agar tak menimbulkan kesan "kriminalisasi".

Pelaksana tugas (Plt) Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki menegaskan pertemuan ini hanya bersifat mempererat hubungan kelembagaan. "Pembicaraan nanti dengan pimpinan DPR hanya untuk hubungan koordinasi, itu saja dulu," katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (16/3).

Kunjungan ini merupakan cara membangun komunikasi antar lembaga negara. Setelah sebelumnya KPK dengan tiga Plt-nya yang baru menyambangi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA) dan juga ke Istana Negara bertemu Presiden Jokowi. Mereka menepis keterkaitan pertemuan dengan Perppu Presiden Jokowi terkait penunjukan Plt Pimpinan KPK menggantikan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.

"Tidak ada, hanya koordinasi biasa saja," kata Johan Budi, Pimpunan KPK lain di tempat yang  sama.

Namun, hal sebaliknya diutarakan pimpinan DPR, mereka malah menjadikan pertemuan ini sebagai ajang membicarakan berbagai kendala terkini yang dialami KPK. Pimpinan DPR akan memberikan masukan kepada KPK agar tidak melihat kondisi saat ini dalam kasus per kasus. Dan menganalisis akar masalah yang ada sehingga tuduhan kriminalisasi KPK tidak terjadi berulang.

"Dengan begitu, apa yang kerap disebut kriminalisasi dan benturan antara lembaga negara tidak selalu terjadi," kata Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (16/3).

Menurutnya jika KPK tidak mau melihat persoalan secara utuh, maka persoalan yang akan dihadapi tak akan menemui penyelesaian yang signifikan. Persoalan yang terjadi ia anggap bermula dari KPK yang salah memahami Undang-Undang (UU) Nomor 30 tentang KPK dan juga tak terlepas dari kesalahan presiden.

"Secara kelembagaan ini juga salah presiden, sebagai presiden, Jokowi seharusnya menjadi ujung tombak terdepan dalam pemberantasan korupsi karena rakyat memilihnya untuk membereskan semua masalah," katanya.

Sehingga menjadi salah apabila kasus pemberantasan korupsi hanya menjadi tanggung jawab KPK. Pimpinan KPK yang baru harus memahami proses lahirnya UU KPK, karena dalam konsideran menegaskan lahirnya KPK untuk pemberantasan korupsi yang menjadi tugas dan tanggung jawab Polri dan Kejaksaan Agung belum efektif.

"Jelas yang disebut pemberantas korupsi itu adalah polisi dan jaksa. Tapi, karena belum efektif maka lahir KPK," katanya.

Sehingga KPK harus melakukan supervisi atas polisi dan jaksa, bukan malah mengambil alih tugas polisi dan jaksa seperti yang dilakukan selama ini. Jika terdapat indikasi permainan dalam penegakan hukum oleh kedua lembaga itu maka KPK, baru bisa mengambilalih tugas pemberantasn korupsi dari polisi dan jaksa.

KPK seharusnya hanya mengambilalih kasus-kasus besar dengan indikasi permainan. Bukan maalah mengambil kkasus-kasus kecil dan menyingkirkan tugasnya. "DPR melakukan ini untuk mengawasi jalannya hukum. Jika KPK terus seperti ini maka yang rugi rakyat," katanya.

BACA JUGA: