JAKARTA, GRESNEWS.COM - Koalisi Masyarakat Antipencucian Uang berharap Mahkamah Kostitusi (MK) menolak permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) yang dimohonkan mantan Ketua MK, M. Akil Mochtar. Putusan pengujian atas Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 69, Pasal 76 ayat (1), Pasal 77, Pasal 78 ayat (1) dan Pasal 95 yang dianggap Akil bertentagan dengan UUD 1945 dijadwalkan akan dibacakan hari ini, Kamis (12/2) pukul 11.00 WIB.

"Kami berharap MK menolak semua pasal yang diajukan karena sudah sesuai degan konstitusi," kata Refki Saputra dari Koalisi Antipencucian Uang kepada Gresnews.com, Kamis (12/2).

Sebab menurut Refky, pasal-pasal yang diajukan pihak Akil untuk di uji dengan UUD 1945 bukam masalah konstitusi. Tetapi lebih pada pemahaman yang belum sama dalam praktek. UU TPPU, lanjutnya, sebenarnya sudah ada sejak tahun 2002, dan sudah sering digunakan untuk kasus2-kasus pidana narkotika di Kepolisian dan Badan Narkotika Nasional (BNN). Sementara untuk pidana korupsi, baru dilakukan sejak tahum 2012 dalam kasus Wa Ode Nurhayati, mantan anggota Badan Anggaran DPR yang divonis enam tahun dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, 18 Oktober 2012 lalu.

"Sejak saat itu, penggunaan pasal pidana TPPU sering dipermasalahkan oleh tersangka maupun terdakwa korupsi," ujarnya. Yang paling mendasar dari UU TPPU itu, menurut Refki, adalah pembuktian tindak pidana asal. Ketika pasal ini dibatalkan oleh MK sesuai petitum Akil, maka UU TPPU secara keseluruhan sudah tidak ada gunanya.

Refky mencontohkan, frasa "patut diduga" pada Pasal 2 ayat (2), Pasal 4, dan Pasal 5 ayat (2) UU TPPU, dimaksudkan sebagai jalan masuk untuk memeriksa pelaku pasif yang bersifat menerima atau menguasai atau tanpa niat untuk menyamarkan atau menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana. Sehingga dengan adanya frasa tersebut tingkat kehati-hatian masyarakat terhadap harta kekayaan yang diterimanya dapat meningkat. Dengan menghapus frasa tersebut berpotensi memudahkan pelaku untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang didapat dari tindak pidana.

Kedua, frasa "tidak wajib membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asal" pada Pasal 69 pada UU TPPU, bukan berarti pengadilan tidak wajib membuktikan tindak pidana asal. Namun perlu dipahami dan dibaca secara utuh bahwa frasa "terlebih dahulu" adalah lebih menjelaskan mengenai waktu untuk pembuktian tindak pidana asalnya. Dengan demikian pembuktian terhadap tindak pidana dalam perkara TPPU wajiblah untuk dibuktikan namun tidaklah perlu menunggu hingga Putusan Tindak Pidana Asal telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Seperti diketahui,Akil yang telah divonis penjara seumur hidup oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, tampak tidak puas dengan proses hukum tersebut. Dari tahanan ia berharap dapat mengubah putusan tersebut dengan mempermasalahkan dasar hukum yang dipakai untuk menjeratnya.

Melalui kuasa hukumnya, Akil mengajukan permohonan uji materi UU TPPU ke Mahkamah Konstitusi (MK). Akil mempersoalkan lima hal, yakni ikhwal kekaburan makna klausula "patut diduga"-nya suatu aktivitas kejahatan, tidak diperlukannya pembuktian tindak pidana asal (predicate crime), pembuktian terbalik, kewenangan penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan aturan peralihan yang tertuang dalam UU TPPU.

Akil merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan atau berpotensi dirugikan dengan berlakunya sejumlah pasal di UU TPPU tersebut.Seperti
Pasal 2 Ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 Ayat (1) UU TPPU. Juga pasal dalam Pasal 3 yang menyatakan: "Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau  surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang  diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan  menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan  dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang".

Pemohon mendalilkan adanya frasa tersebut sulit ditemukan indikatornya secara pasti. Selain itu, adanya frasa tersebut tidak membutuhkan adanya mens rea atau sikap batin pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Hal ini menurut pemohon tergolong frasa yang kabur sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945.

BACA JUGA: