JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejahatan tindak pidana pencucian uang selalu menghasilkan uang kotor (illegal money). Karena itu, Illegal money tidak boleh dibiarkan masuk ke dalam sistem perekonomian Indonesia karena akan berdampak buruk. "Ketika illegal money dibiarkan masuk yang terjadi adalah cepat atau lambat pengusaha yang "benar" akan mati dan selanjutnya ekonomi Indonesia akan hancur," ujar  Agus Santoso, Wakil Kepala Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).

Menurutnya, hancurnya ekonomi Indonesia bisa terjadi karena pengusaha menjalankan bisnisnya dengan memanfaatkan jasa kredit dari perbankan. Kondisi ini membuat mereka  tidak bisa bersaing dengan pengusaha kotor yang menjalankan bisnis memakai uang haram. Sebab saat ini bunga kredit yang ditawarkan perbankan berkisar antara 11 hinnga 14 persen per tahun. Sementara bunga yang ditawarkan oleh pemilik modal yang memperoleh dana dari hasil tindak pidana pencucian uang bisa jauh lebih rendah dari bunga rata-rata perbankan saat ini.

"Memang pasti hancur karena pengusaha tulen takkan mampu bersaing degan anak koruptor atau mafia. Sehingga cepat atau lambat pasti mati dan negeri dikuasai mafia," kata Agus kepada Gresnews.com, Rabu (24/12).
 
Selain itu, lanjut Agus, tindak kejahatan pencucian uang juga akan menimbulkan bubble pricing atau naiknya harga-harga, misalnya harga di sektor properti. Kondisi yang terjadi saat ini, menurut Agus, tanah-tanah yang berada di lokasi strategis habis diborong oleh para koruptor sehingga masyarakat umum hanya bisa membeli tanah dan properti yang lokasinya jauh dari pusat kota.
 
Karena itulah, PPATK memiliki peran yang sangat besar dan berkomitmen untuk mencegah serta  memberantas tindak pidana pencucian uang.

Sebelumnya, PPATK telah menyerahkan sedikitnya 20 Laporan Hasil Analisis (LHA) transaksi keuangan kepala daerah kepada kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kepolisian. LHA ini, kata Kepala PPATK, Muhammad Yusuf terindikasi korupsi dan TPPU oleh kepala daerah pemilik rekening gendut.

Dari 20 nama itu, beberapa di antaranya masih menjabat dan sudah pensiun dan sembilan sudah sampai ke pengadilan dan diputuskan majelis hakim. Namun, ia menolak menyebut nama-nama kepala daerah tersebut. "Dari hasil analis PPATK ada indikasi korupsi dan ada pencucian uang," jelas Yusuf kepada wartawan di kantornya, Selasa (23/12).

Yusuf juga tidak memastikan jumlah dana pada rekening yang dimiliki para kepala daerah. Namun menurutnya akumulasi dana mencurigakan itu mencapai ratusan miliar.

BACA JUGA: