JAKARTA, GRESNEWS.COM - Koalisi Masyarakat Anti Pencucian Uang meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan bekas Ketua MK, Akil Mochtar terkait pengujian Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Sebab, pasal-pasal yang dimohonkan terpidana kasus suap Sengketa Pilkada di Kabupaten Gunung Mas ini,  untuk diuji merupakan ‘pasal-pasal jantung’ dari UU TPPU.
 
Alasan lainnya,  Koalisi menilai uji materi pemohon ditengarai sebagai upaya penghindaran dari tanggungjawab hukum atas perbuatan korupsi dan pencucian uang yang sudah terbukti secara sah dan meyakinkan.  “Permohonan pemohon dapat dibaca sebagai upaya mengkebiri eksistensi rezim antipencucian uang di Indonesia yang dirasa mampu memaksimalkan upaya pemberantasan tindak pidana kerah putih,” kata anggota Koalisi Masyarakat Anti Pencucian Uang, Refki Saputra kepada Gresnews.com, Jumat (17/10).
 
Selain itu, kata Refki, Koalisi juga meminta MK agar mempertimbangkan kebutuhan hukum masyarakat yang berisiko lebih besar menjadi korban kejahatan korupsi dan kejahatan kerah putih lainnya dalam memeriksa dan memutus perkara tersebut.
 
Agar MK benar-benar mempertimbangkan permohonan Koalisi, lanjut Refki, Koalisi Masyarakat Anti Pencucian Uang telah mendaftarkan diri sebagai pihak terkait dalam perkara nomor 77/PUU-XII/2014 yang dimohonkan Akil itu.
 
Koalisi yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesian Legal Roundtable (ILR), Transparency International Indonesia (TII), Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FH UI, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Institut for Criminal Justice Reform ini telah dijadwalkan menyampaikan keterangannya pada sidang lanjutan 28 Oktober mendatang.
 
“Pada sidang nanti, kami akan menyampaikan pandangan sebagai pihak terkait kepada MK untuk menjadi pertimbangan dalam memutus perkara yang diajukan oleh pemohon. Hal demikian diharapkan dapat memperluas cakrawala berfikir dalam proses uji konstitusionalitas UU TPPU tersebut,” jelas Refki yang juga peneliti pada ILR ini.
 
Sementara dalam sidang kemarin, Kamis (16/10), ahli dari Pemerintah Arief Amrullah mengatakan tindak pidana pencucian uang memiliki karakter yang teroganisir dan bisa meluas menjadi perkara internasional. Hal ini sesuai, fakta bahwa sistem keuangan internasional sudah terintegrasi. Menurut Arief, Indonesia mau-tidak mau mengadopsi aturan dan standar internasional pula.
 
Ia menambahkan, penelusuran alur uang terhadap tindak pidana asal itu menjamin hak seseorang, karena meskipun tersangka gagal menjelaskan asal dari harta yang dia miliki, hal tersebut tidak serta merta akan menjadi bukti yang memberatkan tuduhan kepadanya. “Karena itu, Pasal 77 dan 78 UU TPPU tidak bisa ditetapkan bertentangan dengan UUD 1945,” tutur Arief.
 
Pendapat Arief tersebut juga ditegaskan ahli dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Kokom Komariah. Kokom  berpendapat, tidak perlu ada keraguan terhadap frasa “diketahui atau patut dapat diduganya” yang terdapat pada Pasal 2 ayat 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat 1, Pasal 69, Pasal 76 ayat 1, Pasal 77, Pasal 78 ayat 1, dan Pasal 95 UU TPPU sebagai sesuatu yang sangat sulit dilakukan atau dapat menimbulkan ketidakadilan. Sebab pelaku korupsi atau gratifikasi dalam kasus ini, terlebih jika pelakunya adalah pejabat tinggi negara, seharusnya mengetahui akibat dari perbuatannya.
 
“Tidak perlu lagi ada penelusuran terhadap tindak pidana asal, apalagi pemohon tertangkap tangan dalam melakukan tindakannya” tegasnya.
 
Seperti diketahui, mantan Ketua MK Akil Mochtar meminta MK menguji sejumlah pasal dalam UU TPPU. Gugatan Akil didasarkan atas vonis berat yang dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), terkait kasus suap perkara sengketa Pilkada disertai TPPU kepadanya.
 
Akil diantaranya menilai tindakan KPK yang telah melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap dirinya dalam perkara TPPU merupakan tindakan yang bertentangan dengan UUD 1945, yakni Pasal 28I Ayat (1). Akibat pemberlakukan UU TPPU tersebut, dirinya divonis seumur hidup oleh Pengadlan Tipikor.
 
"Kewenangan penyelidikan tidak diatur dalam batang tubuh. Tidak dijelaskan siapa itu penuntut umum,” tutur kuasa hukum Akil, Adardam Achyar dalam sidang uji materi UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan (I) di gedung MK, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (29/8).
 
Perlu-tidaknya pembuktian tindak pidana asal (predicate crime) juga menjadi objek yang diuji oleh Akil. Adanya ketentuan Pasal 69 UU TPPU, menurut Akil akan mengakibatkan seorang terdakwa dipidana dengan dakwaan yang belum terbukti secara materiil dan belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Oleh sebab itu, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Selain kedua pasal tersebut, Akil juga mempersoalkan Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 77, Pasal 78 ayat (1), dan Pasal 95.
 

BACA JUGA: