JAKARTA, GRESNEWS.COM - Gubernur Banten non Aktif Ratu Atut Chosiyah akan menjalani sidang tuntutan di Majelis Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (11/8) terkait dengan kasus penyuapan kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Muchtar. Tim pembela menegaskan majelis hakim agar memberi keadilan lantaran nama Atut hanya dicatut saja.

Ratu Atut didakwa bersama-sama dengan Komisaris Utama PT Bali Pasific Pragama (BPP) Tubagus Chaeri Wardana Chasan alias Wawan menyuap mantan Ketua MK Akil Mochtar Rp 1 miliar melalui advokat Susi Tur Andayani. Uang itu diberikan agar Akil Mochtar selaku ketua panel hakim mengabulkan permohonan perkara sengketa pilkada yang diajukan oleh Amir Hamzah-Kasmin sebagai pasangan calon bupati dan wakil bupati Lebak periode 2013-2018, serta menetapkan pemungutan suara ulang (PSU) di Lebak.

Tim Kuasa Hukum Atut Tubagus Sukatma menyesalkan jika Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tuntutan hukuman maksimal kepada  kliennya berdasarkan permintaan Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Masyarakat Transparansi (MATA) Banten. Ia mengatakan, kliennya akan terus berupaya untuk memperoleh hak dan keadilan yang selama ini dianggapnya sudah merugikan dengan penetapannya sebagai terdakwa.

Tubagus mengharapkan Jaksa KPK dapat menggunakan nurani keadilan yang bersumber dari fakta-fakta persidangan. Karena ia berpendapat, pembuktian dakwaan jauh dari kenyataan di persidangan, sebagai mana fakta yang terungkap. Walaupun menurutnya, tuntutan tersebut merupakan kewenangan penuh Jaksa KPK.

"Klien kami hanya di catut-catut namanya oleh saksi Susi Tur Andayani dan Amir Hamzah untuk meminta bantuan kepada Wawan dan bukan kawan berbuat untuk menyuap (mantan) Hakim Akil Muchtar," ujar Tubagus Sukatma, Minggu (10/8).

Sebelumnya ICW beserta MATA Banten mendesak Jaksa KPK agar Ratu Atut dapat dihukum maksimal. "Jaksa Penuntut Umum KPK untuk menuntut Ratu Atut dengan hukuman  maksimal sesuai Pasal 6 Ayat (1) huruf a  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yaitu 15 tahun penjara, denda Rp 750 juta," ujar ICW dan Mata melalui rilis yang diterima Gresnews.com.

Selain itu, lembaga pemerhati korupsi tersebut juga berharap Ratu Atut juga dituntut dengan hukuman  tambahan sebagaimana diatur Pasal 18 UU Tipikor berupa pencabutan hak politik (untuk memilih dan dipilih), dan juga hak memperoleh dana pensiun atau fasilitas lainnya yang diperoleh dari negara. ICW dan MATA juga meminta KPK melanjutkan penuntasan perkara korupsi lain seperti pengadaan alat kesehatan dan tindak pidana pencucian uang yang diduga juga melibatkan Ratu Atut.

Setidaknya ada lima alasan mengapa Atut harus dituntut maksimal. Yang pertama, saat itu ia menjabat Gubernur Banten seharusnya dapat menjadi contoh yang baik bagi warga Banten. Namun yang terjadi sebaliknya menjadi contoh yang buruk bagi warga banten dan mencoreng nama baik Pemerintah Provinsi Banten.

Kedua, Tindakan Ratu Atut tidak sejalan dengan program pemerintah khususnya program pemberantasan korupsi. Alih-alih ikut terlibat dalam memberantas korupsi yang dilakukan oleh Ratu Atut justru terlibat dalam perkara korupsi. Ketiga, Atut dianggap melanggar komitmen antikorupsi yang pernah ditandatangan dan didorongnya sendiri.

"Ratu Atut adalah salah satu dari 22 kepala daerah bersama KPK pernah menandatangani Deklarasi Antikorupsi pada 9 Desember 2008 yang salah satu intinya menyatakan tidak akan melakukan korupsi," tandasnya.

Kemudian 20 Maret 2012, Ratu Atut selaku Gubernur Banten
pernah menghimbau seluruh kepala daerah se-Banten untuk mencegah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dilingkungkan birokrasi pemerintah Provinsi Banten. Hal ini disampaikan pada acara penandatanganan Pakta Integritas para Walikota dan Bupati  se Provinsi Banten di Pendopo Gubernur.

Dan yang keempat, suap yang dilakukan Ratu Atut kepada Akil Mochtar bukan sekedar suap kepada pejabat negara biasa. Akil yang kala itu adalah seorang hakim MK punya peran besar dalam proses penegakan hukum serta upaya mengangkat citra penegak hukum dimata masyarakat. Karenanya perbuatan Ratu Atut juga berimbas pada runtuhnya kepercayaan masyarakat pada penegakan hukum dan nilai negara hukum.

Serta yang kelima, kasus ini dapat merusak  proses demokrasi khususnya di Lebak Banten. Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu proses membangun demokrasi di negeri ini. Tindakan Ratu Atut menyuap Akil Mochtar proses sengketa Pilkada pada akhirnya memberikan dampak buruk rusaknya demokrasi yang dibangun khususnya didaerah Banten.

Dengan hukuman yang maksimal untuk Ratu Atut diharapkan pula dapat memotong mata rantai atau bahkan mengakhiri dinasti keluarga dan kolega Ratu Atut di wilayah Banten. Politik Dinasti yang dibangun tidak didasarkan pada semangat demokrasi dan lebih kepada mempertahankan maupun memperluas kekuasaan dinasti keluarga, menguntungkan segelintir orang dan menyengsarakan rakyat di wilayah Banten.

BACA JUGA: