JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penguasaan dan eksploitasi lahan gambut untuk keperluan komersial dikhawatirkan akan terjadi jika RPP Gambut yang kini tengah dibahas pemerintah jadi diberlakukan. Kekhawatiran ini muncul dari adanya revisi dan penetapan serta rencana tata ruang  yang terdapat dalam Pasal 11 RPP tersebut. Dalam pasal itu dimuat aturan tentang adanya peluang perubahan fungsi ekosistem gambut.

Pasal ini dikhawatirkan akan mebuka peluang payung hukum bagi kepala daerah untuk menjadi aktor yang dapat membuka akses pihak tertentu untuk menguasai kawasan gambut. Dalam Pasal tersebut dinyatakan ekosistem gambut yang telah ditetapkan sebagai fungsi lindung atau budidaya digunakan sebagai bahan dalam penyusunan dan peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah beserta rencana rincinya.

Manager Kampanye Eksekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi menyatakan hal ini seperti kasus-kasus review kawasan hutan untuk wilayah administrasi dan tata ruang. Aturan seperti ini menurutnya akan rawan terjadi penyimpangan dalam pergeseran tata ruang dan administrasi yang bisa menguntungkan pihak-pihak tertentu, khususnya perusahaan besar.

"Kita akan melihat pelepasan hutan dan tukar menukar antara hutang lindung dan hutan budidaya. Pasal ini memberikan pintu kepada kepala daerah untuk mengotak-atik karena setiap 5 tahun sekali kepala daerah mempunyai wewenang untuk merevisi," ungkapnya dalam rilis yang diterima Gresnews.com, Rabu (6/8).

Tahapan pemanfaatan pada RPP Gambut ini merupakan turunan dari klausul penetapan ekoregion pada UU PPLH. Namun, kata Zenzi, terjadi pembelokan makna dari Pasal 7 UU PPLH tentang penetapan ekoregion yang mana menjadikan Pasal 8 RPP Gambut menjadi klausul yang mengatur penetapan fungsi ekosistem.

Tertuang dalam Ayat (1), Menteri Lingkungan hidup mempunyai wewenang untuk mentapkan fungsi ekosistem gambut, yang selanjutnya dalam Ayat (2) dibagi atas dua fungsi yaitu fungsi lindung dan fungsi budidaya. Dalam pembagian fungsi terdapat klausul Ayat (3) yang mengatur presentase kawasan lindung minimal 30 %.

Zenzi mengakui, masuknya tahapan pemanfaatan membuat RPP gambut justru mengakomodir undang-undang sektoral yang seharusnya menjadi sasaran pengendalian. Ini terjadi karena adanya klausul yang mengatur adanya wilayah budidaya dalam penetapan kawasan gambut.

"Kewenangan penetapan wilayah berdasarkan fungsi oleh kementerian lingkungan hidup, mengingatkan kembali akan bahaya dari kewenangan kementerian kehutanan dalam menunjuk dan mentapkan kawasan kawasan hutan," ujarnya.

Zenzi menilai kewenangan suatu kementerian berisiko mencabut hak masyarakat terhadap suatu wilayah dan mendelegasikan penguasaan ruang kepada swasta atas dasar fungsi ekosistem kawasan gambut. Sedangkan ribuan komunitas di provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur berada dan hidup dalam kawasan gambut.

Wahyu Utami perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup juga mempertanyakan kepada pusat apakah dalam proses perijinan lingkup kehutanan di daerah sudah dikroscek ulang. Karena ia mengakui anggota-anggotanya di kedinasan tidak mempunyai wewenang untuk menolak permintaan kepala daerah.

"Kalau ada kroscek ulang dari pusat kami jadi mempunyai kekuatan jika harus dikembalikan dokumennya karena tidak layak, jadi tidak bekerja berdasarkan ‘selamat tidak dipecat’," ucapnya.

BACA JUGA: