JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komitmen industri di bidang Hutan Tanaman Industri (HTI) dan sawit terhadap perlindungan gambut dan restorasinya dinilai sangat rendah. Keengganan industri kehutanan dan kelapa sawit untuk mematuhi Peraturan Menteri Nomor 17 tahun 2017 terkait pengelolaan dan perlindungan gambut,  menunjukkan lemahnya komitmen mereka terhadap perbaikan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan.

Direktur Eksekutif WALHI Riau Riko Kurniawan mengatakan sudah saatnya industri HTI dan sawit untuk menghentikan kerakusan. Serta fokus mendukung upaya restorasi gambut mengingat besarnya kerugian ekologi, sosial dan ekonomi yang ditanggung bangsa ini akibat kerusakan gambut.

"Sikap resistensi yang ditunjukkan pelaku bisnis industri kehutanan  dan perkebunan kelapa sawit ini sangat kontraproduktif dengan semangat memperbaiki lingkungan hidup dan tata kelolanya, terutama perlindungan hutan dan lahan gambut," tandas Riko dalam keterangan persnya kepada gresnews.com (26/4).

Menurutnya rendahnya komitmen industri terhadap kepedulian perlindungan gambut dan restorasinya, cukup memprihatinkan.
Padahal Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P.17/MENLHK /SETJEN/KUM.1/2/2017 tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P.12/MENLHKi/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri telah secara tegas mengatur kewajiban pemulihan gambut yang rusak maupun alokasi Kawasan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut dalam tata ruang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI).  

"Permen LHK nomor 17 ini merupakan koreksi terhadap tata kelola ekosistem gambut dalam areal HTI , karena rusaknya gambut telah membuat Negara, dan kawasan regional menderita kebakaran hutan dan bencana asap yang tak hentinya selama 19 tahun," ungkap Riko

Selama ini, menurut Riko, komitmen pada kelestarian industri kehutanan hanyalah lips service. Kenyataannya mereka justru selalu memprotes peraturan yang mendukung perlindungan hutan dan gambut. Padahal, inilah akar maraknya bencana asap dan kerusakan lingkungan yang luar biasa, dan berdampak  kerugian dari segala aspek.”

Di media, industri pulp dan industri sawit sering mengeluhkan kurangnya lahan, akibat Permen nomor 17 yang melindungi kawasan fungsi lindung ekosistem gambut di dalam konsesi HTI dan larangan menanam lagi di kawasan tersebut.

"Temuan kami  menunjukkan kegagalan pengelola HTI dan kelapa sawit melindungi konsesi mereka dari pembukaan kanal gambut, pembakaran maupun perambahan," ujar Nursamsu dari WWF-Indonesia.

Padahal adanya aturan pemilahan area konsesi untuk restorasi dan fungsi lindung ekosistem gambut, merupakan solusi mengatasi pengrusakan hutan dan gambut di konsesi HTI. "Harusnya mereka mendukung dan membuang paradigma lama yang menjalankan bisnis tanpa memperhatikan aspek lingkungan hidup dan konservasi," katanya.

Koalisi EoF menganggap, isu akan banyak  pekerja industri kertas dan pulp dirumahkan, tak lebih sebagai taktik lama industri HTI. Modus seperti ini, kata koalisi sejumlah LSM Lingkungan di Riau ini, sudah pernah mereka lakukan ketika operasi penertiban terhadap konsesi HTI yang merusak lingkungan pada 2007-2008 di Riau.

Koordinator Jikalahari, Woro Supartinah mengaku tak heran dengan isu itu. Termasuk isu penurunan kontribusi PNBP dan devisa negara dari kedua industri tersebut  yang kembali diangkat.

Ia justru meminta pemerintah lebih cermat melihat hal itu. Serta tetap konsisten dengan komitmen pengelolaan dan perlindungan gambut. Sebab melindungi hutan alam dan gambut adalah investasi jangka panjang,  yang akan melindungi ratusan juta penduduk Indonesia.

MENGEJAR TARGET RESTORASI - Dalam Rapat Terbatas  mengenai Evaluasi Peraturan tentang Lahan Gambut, di istana, Rabu (26/4) Presiden Joko Widodo juga kembali mengevaluasi setahun pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG). Evaluasi, kata dia, akan terus dilakukan pemerintah baik melalui pengaturan, maupun tataran implementasi di lapangan.

Menurutnya evaluasi harus terus dilakukan, karena BRG diberikan target restorasi sampai 2020 seluas 2.000.000 hektar di 7 provinsi, yaitu di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.

Sebelumnya Presiden juga telah mengingatkan, bahwa untuk mencapai target restorasi tahun 2017 BRG tidak bisa bekerja sendirian. Perlu ada dukungan dari seluruh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Selain itu juga perlu dukungan dari seluruh warga yang tinggal di sekitar ekosistem gambut, maupun kalangan swasta, dan BUMN pemegang konsesi.

"Mereka harus ikut menjaga kelestarian dan ekosistem lahan gambut dengan prinsip pengelolaan gambut yang lestari," ujarnya,seperti dikutip setkab.go.id. Sehingga tetap dapat dijaga pemanfaatan lahan gambut untuk tujuan-tujuan ekonomi, tujuan peningkatan kesejahteraan, tanpa harus mengabaikan aspek kelestarian lingkungan, terutama aspek hidrologis dan ekologis kubah gambutnya.

Menurut Presiden perlindungan dan pemulihan fungsi ekologis kubah gambut, sangat penting dijadikan prioritas untuk mencegah terulangnya bencana kebakaran lahan gambut yang sangat sulit dipadamkan.

BACA JUGA: