JAKARTA, GRESNEWS.COM- Peralihan pemerintahan yang sedang berlangsung saat ini cukup berdampak buruk bagi penanganan kebakaran hutan di Indonesia. Pasalnya, Presiden SBY seolah lepas tangan sedangkan Presiden terpilih Joko Widodo belum bisa mengambil keputusan sebelum dirinya dilantik.

Zenzi Suhadi, Manager Kampanye Nasional, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) mengatakan, pemerintahan SBY memberikan warisan kondisi yang parah. Dimana kerusakan lingkungan sudah sistematis dengan dampak yang akumulatif, begitu pula di sektor perangkat hukum dan kebijakan. "Pemerintahannya memanfaatkan perhatian publik pada saat pilpres dan transisi," ujarnya kepada Gresnews.com, Sabtu (20/9).

Beberapa kebijakan tersebut dinilainya beresiko memperparah kerusakan lingkungan dan menyulitkan penanggulangan oleh pemerintah yang akan datang, termasuk penanganan kebakaran hutan. Situasi politik ini dapat dibandingkan pada bulan Februari lalu dimana Presiden SBY masih turun tangan melakukan pemadaman hutan tatkala pemimpin daerah di wilayah tersebut hanya berpangku tangan.

Kini, salah satu perbedaannya adalah dengan pengesahan RPP Gambut secara diam-diam yang membuka kesempatan koorporasi mendapatkan lahan gambut lebih luas dengan adanya klausul kawasan budidaya. "Peraturan ini akan menyulitkan proses penindakan terhadap koorporasi pelaku karena juga terdapat klausul yang membuka ruang kompromi ganti rugi kerusakan lingkungan antara pelaku dengan pemerintah," ujar Zenzi.

Perlu diketahui sekitar 70 persen kebakaran hutan Indonesia berada di kawasan hutan gambut. Tren kebakaran hutan pada tahun ini dapat dikatakan mengalami perbedaan dengan tren pada tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 1997 pola kebakaran hanya terjadi pada musim kemarau yakni Agustus hingga September.

Namun, mulai tahun 2007 pola kebakaran mulai acak, di tahun 2012 misalnya, terjadi kebakaran di bulan Juni-Juli, di tahun 2013 terjadi pada bulan Maret-Mei. Sedang 2014 polanya melompat dari Januari-Februari dan Agustus-September.

Walaupun hal ini tidak terlepas dari perubahan iklim yang terjadi di dunia, namun penegakan hukum yang kurang pun menadi penyebab lainnya. Pada tahun 2008 sempat terjadi ilegal loging yang begitu masif akibat ijin penjualan kayu yang diperdagangkan dan cukup mahal, hal tersebut dianggap mempunyai dampak yang panjang hingga saat ini.

Pada bulan Juni lalu, di sektor kebakaran hutan terdapat sekitar tiga ribu titik api yang terjadi di Sumatera, titik api ini diklaim Greenpeace sebagai titik api terbesar di seluruh wilayah Indonesia. Sehingga bisa digambarkan terdapat beberapa kali kebakaran di lahan yang sama dalam waktu dua minggu.

Bulan Juli titik api mulai merata ke wilayah Kalimantan Barat dan Pulau Sumbawa dimana padang rumput di sana ikut terbakar. Hingga Agustus titik api yang awalnya terfokus di barat pulau Kalimantan mulai merata di seluruh daerahnya. Pada bulan September ini, titik api sudah merata hingga ke Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Papua.

Data tersebut menunjukkan selama dua kali masa pemerintahannya, SBY tidak mengatasi kebakaran hutan hingga ke akar. "Kebakaran memang harus dipadamkan, tapi memadamkan api saja tidak cukup. Karena sebagian besar kebakaran terjadi di lahan gambut, lahan gambut ini harus dilindungi tidak hanya dengan moratorium tapi juga dengan regulasi lain dan penegakan hukum dengan melihat kembali perusahaan yang beraktifitas di lahan gambut," ujar Yuyun Indradi kepada Gresnews.com.

Menurutnya, moratorium hanya mampu melindungi sekitar 12 juta hektar lahan yang terdiri dari lahan primer dan gambut. Sedang, penerapan moratorium sendiri dikatakan terlambat, lahan yang dilindungi sudah semakin menipis. Moratorium hanya berkedudukan sebagai pelarangan penerbitan izin, bukan pencabutan izin.

BACA JUGA: