JAKARTA, GRESNEWS.COM - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim Global membuat langkah antisipasi atas potensi pengebirian hak-hak tenurial masyarakat adat dan lokal dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Gambut. Mereka saat ini tengah menyusun hal-hal yang harus diperhatikan dalam tahapan perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut untuk dimasukkan dalam RPP tersebut.

Anggota koalisi dari perkumpulan HuMa, Anggalia Putri mengatakan, salah satu poin yaitu mengenai konflik batas wilayah lahan gambut misalnya, sebenarnya dapat diselesaikan dengan melihat langsung batas wilayah di lapangan. "Secara de facto masyarakat punya hak atas lahan gambut. Lihat tata kelolanya, bagaimana mereka memanfaatkan dan melestarikan lahan. Jangan dilihat berdasarkan citra foto yang hanya menganalisa berdasar kimia dan fisika, tapi batas wilayah tidak," ujarnya kepada Gresnews.com, Rabu (30/7).

Angga menilai, aspek perlindungan terhadap hak masyarakat adat dan lokal terkait ekosistem gambut, khususnya hak-hak tenurial mereka belum mendapat jaminan yang utuh. Hak tenurial yang dikebiri itu, menurut dia sudah terjadi dalam praktek tata kelola gambut selama ini.

Ditambah lagi dengan RPP Gambut yang miskin penyebutan hak. "RPP Gambut merupakan anak dari UU PPLH (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) yang mengatur hak penting masyarakat adat dan lokal. Jadi seharusnya dapat dituntut pula pengaplikasian dalam RPP Gambut walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit," ujarnya.

Dalam UU PPLH sendiri dinyatakan hak penting masyarakat berakar dari hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat diantaranya hak prosedural atas akses informasi, akses pertisipasi, akses keadilan serta hak untuk mendapatkan keadilan intra dan antar-generasi. Saat ini menurut Angga, masyarakat adat setidaknya menghadapi dua ancaman serius terkait hak. "Pertama perampasan lahan dan pembatasan wilayah kelola/sumber mata pencaharian dan perusakan ekosistem gambut," ungkapnya.

Perampasan lahan bisa terjadi dikarenakan pemberian konsensi pengelolaan gambut skala besar oleh pemerintah yang mengabaikan hak-hak masyarakat, utamanya HTI dan Sawit. Sedang, perusakan ekosistem gambut merupakan imbas akibat sekitar wilayah kelola HTI dan sawit yang turut merusak sumber mata pencaharian masyarakat sehingga pada akhirnya standar hidup menurun.

Hak-hak tunurial masyarakat adat dan lokal terkait lahan gambut juga masih bergantung pada hukum sektoral lain, utamanya pada UU Kehutanan yang juga masih banyak mengandung masalah terkait hak masyarakat. Pengakuan negara atas hak-hak masyarakat adat dan lokal masih bersyarat dan harus melewati tahap yang rumit. "Jadi memang harus dilapisi dengan berbagai peraturan lain yang menopang hak-hak tenurial masyarakat," ujarnya.

Sebelumnya, Fahmi Alamri, yang juga aktivis perkumpulan HuMa merumuskan lima tahap perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Pertama dimulai dari tahap perencanaan yang terdiri dari inventarisasi ekosistem gambut, penetapan fungsi ekosistem gambut, dan penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Dalam tahap perencanaan ini ia menilai KLH perlu segera menyusun protokol konsultasi yang menekankan partisipasi masyarakat adat dan lokal.

"Mereka harus mendapat andil dalam pengambilan keputusan, pemerintah juga harus memperhatikan kearifan lokal dan zonasi masyarakat adat dan lokal. Masyarakat pun harus diberi mekanisme komplain apabila dirugikan dengan penetapan fungsi atau penetapan rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut," tutur Fahmi.

Kedua, tahap pemanfaatan, karena dalam hal ini terdapat perbedaan cara pemanfaatan antara masyarakat dengan kearifan lokalnya dan perusahaan dengan teknologi modernnya yang cenderung merugikan masyarakat. Maka diperlukan adanya klausul FPIC untuk izin usaha dan menekan jumlah konflik.

Ketiga, tahap pengendalian, peranan masyarakat lokal dalam tahap ini amat dibutuhkan untuk membantu pemerintah dalam proses pengendalian dan pengawasan dalam pembukaan lahan dengan cara membakar agar sesuai dengan pengaturan dalam Pasal 69 ayat 2 UU PPLH.

Keempat, tahap pemeliharaan, untuk melakukan pemeliharaan, aspek hak-hak masyarakat adat dan lokal lagi-lagi harus diperhatikan. Agar kedepannya pemeliharaan yang juga mencakup pencadangan ekosistem gambut yaang tidak boleh dikelola tidak menyebabkan masyarakat kehilangan hak atas penggunaan dan pengelolaan terhadap ekosistem gambut.

Terakhir, yakni tahap pengawasan, perlunya sistem informasi yang dapat diakses masyarakat adat dan lokal agar dapat berperan aktif dalam memberikan informasi terkini terkait berbagai kegiatan pemanfaatan di lapangan. "Jika perlu keterbukaan informasi harus ditingkatkan dengan dibuatnya sekolah rakyat dan pendirian informasi gambut. Dengan begitu pengetahuan masyarakat akan meningkat dan berimbas pada meningkatnya informasi balik yang diberikan kepada pemerintah," ujar Fahmi.

Zenzi Suhadi, Manager Kampanye Eksekutif Nasional WALHI menambahkan, RPP Gambut tidak berangkat dari fakta kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan gambut. Hal tersebut menjadi potensi media legitimasi pemisahan kehidupan rakyat dari lingkungannya dalam konteks hak akses dan fungsi jasa lingkungan.

Padahal ia menilai RPP ini dapat menjadi peluang melindungi hak-hak masyarakat adat dan lokal jika berhasil secara konsisten menghalau izin-izin konsensi besar yang merusak gambut dan menggangu mata pencaharian masyarakat.

"RPP ini harus diperkuat dengan menjelaskan secara rinci perlindungan hak-hak masyarakat adat dan lokal. Mulai dari tahap perencanaan hingga penegakan hukum," kata Zenzi.

BACA JUGA: