JAKARTA, GRESNEWS.COM - Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkit pelarian Bos PT Masaro Radiokom, Anggoro Widjojo ke luar negeri. Poin inilah yang menjadi salah satu alasan pemberat tuntutan yang diajukan jaksa.  

Jaksa menuntut Anggoro dihukum pidana penjara selama lima tahun dan denda senilai Rp 250 juta subsider 4 bulan kurungan. Anggoro dinilai Jaksa terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana suap pengurusan anggaran Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Kementerian Kehutanan.

Jaksa Andi Suharlis saat membacakan amar tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (18/6) mengatakan hal yang memberatkan perbuatan Anggoro dianggap tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak korupsi. Selain itu Anggoro juga tidak mengakui seluruh perbuatannya. Selain upaya Anggoro yang melarikan diri ke luar negeri pada saat penyidikan.  "Perbuatan terdakwa melarikan diri selama dalam penyidikan, mengganggu proses penegakan hukum. Terdakwa tidak mengakui perbuatannya," ujar Andi.

Jaksa Andi menilai perbuatan Anggoro melanggar pasal 5 ayat (1) huruf b UU RI No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

Penasehat hukum Anggoro, Thomson Situmeang mengatakan, tuntutan 5 tahun terlalu berat bagi kliennya, karena tuntutan tersebut merupakan tuntutan maksimal. "Tidak ada yang senang dihukum 5 tahun, termasuk Pak Anggoro. Alasannya nanti akan kita bahas dalam pledoi kita," ujar Thomson usai sidang.

Thomson mengkritik tuntutan Jaksa yang menyebut Anggoro memerintahkan anaknya David Angkawijaya memberi uang kepada mantan Menteri Kehutanan MS Kaban. Menurut Thomson tuduhan tersebut belum terbukti di persidangan, tetapi oleh Jaksa tetap dibacakan dalam tuntutan. "Itu juga akan  kita tanggapi dalam pledoi. Tidak ada itu Pak Anggoro menyuruh David memberi uang kepada Pak Kaban," tambahnya.

Anggoro diancam pidana lima tahun penjara karena diduga menyuap sejumlah pihak untuk menggolkan anggaran 69 program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Departemen (sekarang Kementerian) Kehutanan tahun 2007. "Terdakwa memberi uang tunai sejumlah Rp 210 juta, SGD 92.000, USD 20.000 dan uang tunai Rp 925,900 juta, serta barang berupa 2 unit lift kepada pegawai negeri yaitu kepada HM Yusuf Erwin Faisal selaku Ketua Komisi IV DPR periode 2004-2009, MS Kaban selaku Menteri Kehutanan tahun 2004-2009, Boen Purnama Sekjen Departemen Kehutanan (Dephut) tahun 2005-2007," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Riyono saat membacakan surat dakwaan dalam sidang dii Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (23/04) lalu.

Riyono memaparkan semua bermula pada Januari 2007, ketika Dephut mengajukan pagu anggaran 69 program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan senilai Rp 4,2 triliun yang di dalamnya termasuk anggaran Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) sebesar Rp 180 miliar.

Menurut Riyono, proyek SKRT tersebut pada tahun 2005 dan 2006, dikerjakan oleh PT Masaro milik terdakwa sebagai penyedia barang. Oleh karena itu, terdakwa dinilai berkepentingan terhadap anggaran proyek tersebut. Sehingga, meminta Komisi IV DPR melalui ketuanya Yusuf Erwin Faisal membuat rekomendasi atau menyetujui rekomendasi anggaran proyek SKRT.

Atas permintaan tersebut, Yusuf Erwin meminta Muhtar untuk bertemu dengan terdakwa dan pertemuan terjadi di Kudus Bar di Hotel Sultan, Jakarta, untuk membahas anggaran SKRT yang sedang dibahas di Komisi IV DPR. "Terdakwa minta bantu anggaran karena program SKRT sudah berlangsung bertahun-tahun dan terdakwa menjanjikan akan memberikan sejumlah uang ke Komisi IV DPR," kata Riyono.

Hingga akhirnya, terdakwa pada 26 Juli 2007, memerintahkan anaknya David Angka Widjaja menyerahkan sejumlah uang kepada Yusuf Erwin Faizal karena dokumen anggaran 69 program rehabilitasi hutan dan lahan sudah dikirim ke Kementerian Keuangan.

Oleh David, ujar Riyono, uang diserahkan ke Tri Budi Utami di ruang Sekretariat Komisi IV DPR, atas perintah Yusus Erwin Faisal. Kemudian, uang tersebut dibagikan Yusuf ke beberapa anggota Komisi IV DPR, di antaranya Suswono Rp 50 juta, Muhtarudin Rp 50 juta dan Nurhadi Rp 5 juta.

Tetapi, untuk memuluskan persetujuan anggaran proyek tersebut, terdakwa tidak hanya memberikan sejumlah uang ke Komisi IV DPR. Melainkan juga ke Menhut, MS Kaban beberapa kali, atas permintaan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) tersebut.

Di antaranya, pada tanggal 6 Agustus 2007 sebesar USD 15.000. Kemudian, pada 16 Agustus 2007 sebesar USD 10.000 dan pada tanggal 13 Februari 2008 sebesar USD 20.000 melalui supir Kaban yang bernama M Yusuf.

Tidak berhenti sampai di situ, Kaban ternyata terus meminta sejumlah uang kepada terdakwa. Sehingga, pada 22 Februari 2008, terdakwa kembali memberikan travel cheque kepada MS Kaban sebesar Rp 50 juta. Serta, uang sebesar SGD 40.000.

Namun, pemberian masih berlanjut, menurut Riyono, pada tanggal 28 Maret 2008, terdakwa membeli dua unit lift berkapasitas 800 kg untuk digunakan di Menara Dakwah milik PBB atas permintaan MS Kaban. Harga lift tersebut, menurutnya sebesar USD 58,58 dengan ongkos pemasangan Rp 40 juta.

Kemudian, masih pada bulan Maret 2008, terdakwa kembali memberikan uang kepada Yusuf Erwin yang dibagikan kepada anggota Komisi IV DPR. Di antaranya Fahri USD 30.000, Azwar USD 50.000, Muhtarudin USD 30.000 dan Sujud Rp 20 juta.

Atas perbuatan tersebut, terdakwa Anggoro Widjojo dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf b UU Tipikor jo Pasal 65 Ayat 1 KUHP. Dan atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 65 Ayat 1 KUHP. Dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun

BACA JUGA: