JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perlu ada reposisi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus kewenangan yang dimilikinya untuk mengadili perselisihan hasil pemilu (PHPU) atau sengketa hasil pemilihan kepala daerah (Pemilukada). Bawaslu dinilai lebih tepat menggantikan peran MK mengadili perselisihan pemilu setelah MK mengabulkan uji materi atas Pasal 236 C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan Pasal 29 Ayat (1) huruf e UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pengamat hukum tata negara Refly Harun dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengusulkan mereposisi kewenangan Bawaslu menjadi Lembaga Penyelesaian Sengketa Pengawas Pemilu. Tugasnya, mengambil alih semua penyelesaian sengketa Pemilukada yang selama enam tahun ini ada dalam lingkup kewenangan MK. Alasannya sedikitnya ada dua. Pertama, tugas ini tidak tepat dikembalikan ke Mahkamah Agung (MA) karena kredibilitas MK dalam sengketa pemilu lebih baik ketimbang MA dan pengadilan tinggi (PT). Salah satu persoalan menonjol dalam penanganan sengketa oleh institusi MA adalah kasus pilkada Kota Depok pada 2005 ketika penanganan sengketa berlarut-larut.

Menurut Refly, secara teoritis, bila MK tak lagi mengurusi sengketa pemilukada, maka persoalan itu akan dilimpahkan kepada Mahkamah Agung. "Namun akan menimbulkan antipati maka sebaiknya dibentuk lembaga baru dalam hal ini Bawaslu,” kata Refly di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta, Minggu (25/5).

Ia berpendapat, ada beberapa kelebihan jika sengketa pilkada diselesaikan lembaga baru yang diisi oleh orang-orang yang profesional, yakni lebih independen, transparan, dan memiliki integritas yang jauh lebih baik daripada ditangani oleh MA atau pengadilan tinggi.

Sedangkan fungsi pengawasan yang saat ini ditangani Bawaslu, kata Refly, diserahkan ke masyarakat dan penyelesaiannya langsung diserahkan ke instansi terkait. Bila pidana, langsung ditangani Kepolisan. Sedangkan pelanggaran administrasi ditangani oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Kedua, pelaksanaan tugas Bawaslu untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dinilai tidak berjalan efektif. Dengan kewenangan yang dimilikinya, Bawaslu terbukti tidak efektif menjalankan fungsinya baik sebagai pengawas, penerima laporan pelanggaran maupun menjalankan kewenangannya sebagai pemutus sengketa dalam Pemilu Legislatif 9 April yang lalu.

Buktinya banyak kasus sengketa pemilu legislatif baik yang diajukan partai politik maupun perseorangan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) peserta Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 yang diajukan ke MK. Jumlahnya mencapai 767 kasus, lebih banyak dari tahun Pemilu 2009  yang hanya 628 perkara. Padahal jumlah  partai politik peseta pemulu 2014 ini lebih sedikit yakni 15 parpol (12 parpol nasional dan 3 parpol lokal Aceh), sementara  pada pemilu 2009 ada 38 parpol yang mengajukan dari 44 parpol peserta pemilu.
Harusnya, kalau fungsi pengawas Bawalu berjalan, pelanggaran yang dilakukan KPU hingga tingkat paling bawah, Panitia Pemilihan Suara (PPS) jumlah sengketa yang masuk ke MK tidak mencapai 767 kasus.

Membengkaknya jumlah sengketa Pileg 2014 yang masuk ke MK, kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, bukan semata kesalahan KPU tapi juga merupakan kegagalan pengawasan Bawaslu. Misalnya, tertukarnya surat suara, termasuk kesalahan penghitungan suara dibanyak lokasi.

Padahal Bawaslu ada mulai dari tingkat tempat pemilihan suara (TPS) hingga KPU Pusat. Mestinya, kata dia, kalau pengawasan berjalan optimal maka jumlah sengketa PHPU yang masuk ke MK tidak akan mencapai 767 perkara.

Buktinya, hal yang lain banyak dipersoalkan pemohon ke MK adalah dalil terjadinya penggelembungan dan penggembosan suara. Ada 423 pemohon yang mendalilkan hal ini. Kemudian diikuti oleh kasus kesalahan penghitungan suara sebanyak 206 permohonan. Pelaku pelanggaran yang banyak didalilkan adalah KPU Kabupaten/Kota. Sementara, Bawaslu tidak maksimal bisa menyelesaikan persoalan ini.

"Angka ini akan lebih besar lagi kalau MK membolehkan calon perseorang caleg partai mengajukan keberatan tanpa harus mendapatkan persetuan dari partai," kata Titi dalam diskusi Analisis Awal Permohonan Perselisihan Hasil Pemilu 2014 di di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta, Minggu (25/5).

Ia mencontohkan, Partai Nasional Demokrat (Nasdem) sama sekali tidak membolehkan perselisihan internal partai dibawa ke MK. Akan tetapi, persoalan internal diselesaikan oleh Mahakamah Partai Nasdem di internal partainya. Sementara partai lain ada yang memperbolehkan persoalan internal partai di gugat ke MK, tapi tidak semuanya disetujui dan didaftarkan dewan pimpinan pusat DPP partai bersangkutan.

Sebelumnya, MK menghapus kewenangan yang dimilikinya untuk mengadili perselisihan hasil pemilu kepala daerah dengan mengabulkan uji materi atas Pasal 236 C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

MK menilai kedua pasal itu bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 236C berisi penyerahan wewenang Mahkamah Agung menggelar sengketa pilkada ke MK. MK berpandangan pengalihan wewenang penanganan sengketa pilkada dari Mahkamah Agung (MA) ke MK justru mengaburkan kewenangan dan fungsi MK sebagai pengawal konstitusi. Sehingga, ketentuan tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 45.

Meski demikian, kewenangan sengketa Pemilukada masih menjadi kewenangan MK hingga ada Undang-Undang pengganti. Sedangkan Pasal 29 Ayat (1) menyatakan: "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final", huruf e "kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang".

Mahkamah berpendapat, pemilihan kepala daerah sesuai Pasal 18 UUD 1945 yang masuk rezim pemerintahan daerah adalah tepat yang menyebutkan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota dipilih dengan cara yang demokratis dan UUD 1945 telah secara limitatif mengatur Pemilu di dalam Pasal 22E , yakni Pemilu DPR, DPD, DPRD, presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan lima tahun sekali. Makna ini yang dipegang teguh dalam putusan MK No. 13/PUU/XI/2013. Dengan begitu, jika memasukkan pemilihan kepala daerah menjadi bagian dari pemilu dan menjadi kewenangan MK tidak sesuai dengan makna original intent dari pemilu.


BACA JUGA: