JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kuasa hukum PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Todung Mulya Lubis menilai Kejaksaan Agung terlalu mencari-cari kesalahan pihak PLN dalam kasus proyek pengadaan pekerjaan Life Time Extension (LTE) Gas Turbine (GT) 2.1 & GT 2.2 PLTGU Blok II Belawan, Medan (LTE GT 2.1 & GT2.2). Salah satunya kata Todung adalah tuduhan pihak kejaksaan yang mengatakan daya turbin yang dibeli PLN di bawah spesifikasi.

Kejaksaan menyatakan daya mesin turbin yang dibeli PLN hanya mampu menghasilkan listrik sebesar 123 Megawatt (MW). Padahal spesifikasi seharusnya adalah mampu menghasilkan listrik sebesar 132 MW. Todung menyatakan tuduhan tersebut tidak benar karena beban 123 MW yang diperoleh penyidik Kejagung bukan berasal dari pengujian tetapi kejaksaan hanya menyaksikan mesin yang ada pada saat itu hanya memikul beban 123 MW di siang hari.

Padahal berdasarkan pengujian yang sebenarnya oleh lembaga sertifikasi, daya mampu GT 2.1 mampu mencapai 140,7 MW. "Sehingga melebihi daya mampu minimal dari kontrak," kata Todung kepada Gresnews.com, Kamis (22/5).

Bahkan Todung menilai dalam dakwaan tersebut tidak menyebutkan satu pun peraturan perundang-undangan yang dilanggar oleh para terdakwa dar pihak PLN. Selain itu dari sisi kerugian negara, menurut Todung dalam perkara LTE tersebut tidak ada kerugian negara sama sekali bahkan PLN justru melakukan penghematan.

Hal itu dikarenakan realisasi nilai kontrak justru lebih kecil dari HPS kontrak awal. Pada HPS kontrak awal dengan pemegang tender Mapna Co. tertulis sebesar Rp645 miliar, sementara harga yang tertuang dalam kontrak hanya Rp431 miliar.

Dia menilai dengan nilai kontrak sebesar Rp431 miliar, justru perusahaan berhasil melakukan saving sebesar Rp214 miliar sehingga tuduhan kerugian negara tidak terbukti. "Karena itulah dasar penahanan para tenaga ahli PLN tidak berdasar," kata Todung.

Todung menuding kasus PLTGU Belawan ini merupakan bentuk kriminalisasi bisnis yang sering dilakukan oleh oknum kejaksaan. Menurutnya oknum-oknum kejaksaan tersebut kurang atau bahkan tidak memahami perkembangan bisnis. "Hal itu sungguh berbahaya bagi penegakkan hukum dan kepercayaan investor Indonesia," kata dia.
 
Todung mengatakan dalam perkara LTE PLN kalaupun ada kesalahan selayaknya bukan ranah pidana melainkan perkara perdara dan administrasi sehingga menjadi kewenangan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sesuai dengan perjanjian para pihak. Para tenaga ahli PLN yang dijadikan tersangka adalah eks General Manager Chris Leo Manggala, ketua panitia lelang Surya Dharma Sinaga, Rodi Cahyawan, dan Muhammad Ali. Selain itu, dua dari pihak swasta, yaitu Direktur Utama PT Nusantara Turbin dan Propulsi Supra Dekanto dan Direktur Utama PT Mapna Indonesia Mohammad Bahalwan.

Menurutnya tidak ada urgensi sama sekali melakukan penahanan terhadap para tenaga ahli karena proses pengadaan pemeliharaan GT 2.1 & GT 2.2 PLTGU Blok II Belawan Medan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penahanan para terdakwa tidak ada urgensinya sama sekali karena selain keahlian para terdakwa sangat dibutuhkan oleh PLN, PLN menjamin bahwa para terdakwa tidak akan melarikan diri dan menghilangkan barang bukti. "Saya meminta agar para terdakwa segera dibebaskan atau paling tidak dialihkan menjadi tahanan kota," kata Todung.

Todung menilai permainan kasus yang dilakukan oleh beberapa oknum kejaksaan bukan hanya dalam kasus PLN tetapi kasus PT Merpati Nusantara Airlines (Persero), kerjasama PT Indosat Mega Media (IM2) dan induk usahanya PT Indonesia Tbk serta kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia. Sebagai catatan, salah satu permainan oknum kejaksaan dalam kasus Merpati, oknum Kejaksaan Agung memidanakan mantan Direktur Utama Merpati Hotasi Nababan dalam kasus sewa pesawat Boeing 737-500.

Padahal hasil audit dan penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) dan Bareskrim Polri menegaskan tidak ada kerugian negara. "Ironisnya kriminalisasi bisnis pada sejumlah perusahaan tersebut dilakukan oleh oknum jaksa yang sama," kata Todung.

Kejaksaan Agung sendiri berkeras kasus itu telah berjalan sesuai prosedur. Bahkan pihak Kejaksaan Agung tidak menutup kemungkinan menetapkan Direksi PLN sebagai tersangka termasuk Direktur Utama PLN Nur Pamudji yang saat kasus tersebut menjabat sebagai Direktur Energi Primer PLN. Kejagung sendiri mulai menyisir kembali keterlibatan direksi dalam proyek dugaan tindak pidana korupsi pelaksanaan tender pekerjaan LTE GT 2.1 dan 2.2 PLTGU Blok 2 Belawan Tahun 2012.

Kepala Pusat Penerangan Umum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung RI, Setia Untung Arimuladi mengakui penyidik memanggil tiga direksi PLN yang mengetahui proses penetapan, penunjukan peserta lelang, serta perubahan kebijakan penggunaan spare part dari Original Equipment Manufacture (OEM) menjadi Non-Original Equipment Manufacture (OEM) dalam proyek pengadaan sebesar Rp23,9 miliar tersebut. "Mereka mengetahui kronologis perencanaan dan penetapan proyek pengadaan pekerjaan PLTGU Belawan 2," urai Untung kepada Gresnews.com.

Hingga saat ini, Kejagung belum menetapkan satu pun jajaran direksi. Namun Kejakgung menilai, salah satu direksi yang memiliki peran langsung dalam pengadaan ini adalah Nur Pamudji. Nur dan Dahlan Iskan yang kala itu masih menjabat sebagai Dirut PLN diketahui pernah berangkat ke Iran untuk melakukan survei terhadap Mapna Co.

Dugaan korupsi proyek pengadaan spare-part LTE GT 2.1 dan 2.2 sektor Belawan tahun 2012 berawal ketika Mapna Co. ditunjuk PLN mengerjakannya setelah PT Siemens Indonesia tidak bersedia karena harga plafon tendernya tidak sesuai keinginan Siemens. Di sinilah ada dugaan untuk memuluskan penunjukan Mapna.co, spesifikasi teknis dilakukan perubahan.

Dari Original Equipment Manufacture (OEM) menjadi Non-Original Equipment Manufacture (OEM). Proyek ini pun terindikasi korupsi. Mulai pekerjaan tidak sesuai dengan kontrak, daya yang dikeluarkan pembangkit hanya 123 MW dari seharusnya 132,96 MW, serta pekerjaan pada GT 2.2 tidak dilaksanakan.

BACA JUGA: