JAKARTA, GRESNEWS.COM - Langkah pemerintah Indonesia mengekstradisi buron pengemplang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Eddy Tansil yang kabarnya berada di China perlu didukung. Namun langkah Kejaksaan Agung yang baru membentuk tim perburuan aset Eddy Tansil sangat lamban mengingat kasus ini terjadi sejak 18 tahun yang lalu.

Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto mengatakan Kejagung telah membentuk tim untuk memburu aset Eddy Tansil di luar negeri. Saat ini tim pemburu aset sedang mengumpulkan data-data dan informasi terkait aset yang dimiliki Eddy Tansil.

"Secara internal kita sebagai eksekutor sedang mengumpulkan data semuanya. Minggu depan akan dirapatkan," kata Andhi di Kejagung, Jumat (3/1).

Kejagung sendiri telah membentuk Pusat Pemulihan Aset (PPA) untuk menelusuri aset-aset Eddy Tansil. PPA tersebut yang mengeksekusi isi amar putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Beberapa di antaranya terkait denda dan uang pengganti.

"Nanti akan ketahuan berapa nilai asetnya, dulu saat melarikan diri apakah sebagai terpidana apa terdakwa," kata Andhi Nirwanto.

Meskipun diakui sulit mengesktradisi Eddy Tansil, namun Kejagung optimis dapat memulangkan pembobol Bank Bapindo tersebut ke tangan pemerintah Indonesia dari Tiongkok tahun ini. ”Insya Allah, tahun depan bisa kita ekstradisi, kami akan terus bekerja,” ujar Andhi.

Namun pakar hukum internasional UGM Sigit Riyanto meragukan upaya yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia ampuh untuk mempercepat pemulangan Eddy Tansil. Sebab pemerintah tidak pernah transparan.

"Pengajuan ekstradisi apa benar-benar disertai syarat-syarat legal dari pengadilan," kata Sigit kepada Gresnews.com, Jumat (3/1).

Karena itu, untuk ekstradisi Eddy Tansil Pemerintah Indonesia harus melakukan diplomasi ke China yang lebih baik dari pada lobi diplomasi kepada Australia. Apalagi tiap negara memiliki kewenangan hukum yang berbeda terhadap seorang terpidana. Seperti di Australia, dengan kasus Adrian Kiki, negara tersebut memberikan peluang kepada terpidana untuk menempuh jalur hukum.

Sementara Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM Hifdzil Alim mengatakan untuk mempercepat ekstradisi memang perlu terobosan-terobosan diplomatik. Salah satunya, Kejaksaan Agung sebagai eksekutor dibantu Kepolisian harus terus melakukan pembicaraan intensif untuk membawa Eddy Tansil ke Indonesia.

Persoalan birokrasi yang terkadang menghambat proses tersebut perlu dipotong. Bahkan Presiden sebagai Kepala Negara kalau perlu harus turun tangan.

"Ya kalo mau konsisten dengan ilmu ketatanegaraan presiden harus turun tangan, intinya penanganan harus cepat," kata Hifdzil kepada Gresnews.com, Selasa (31/12).

Seperti diketahui pada 4 Mei 1996, Eddy melarikan diri dari Cipinang, Jakarta Timur. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Eddy dihukum 20 tahun penjara, denda Rp 30 juta, membayar uang pengganti Rp 500 miliar, dan membayar kerugian negara Rp 1,3 triliun.

Eddy di pengadilan terbukti menggelapkan uang sebesar US$ 565 juta yang didapatnya melalui kredit Bank Bapindo melalui grup perusahaan Golden Key Group.

BACA JUGA: