JAKARTA, GRESNEWS.COM- Hakim Agung Topane Gayus Lumbuun menyambut baik usulan Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti  agar Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Mahkamah Agung (MA) duduk bersama untuk membahas penerapan sanksi hukum bagi para dokter yang diduga melakukan malapraktik. "Tetapi saya berbicara hanya sebagai hakim agung dan tidak mewakili MA," kata Gayus ketika dihubungi Gresnews.com, Senin (2/12). Menurut Gayus, sebagai seorang hakim agung, dirinya berpendapat bahwa pertemuan antara MA dengan Kemenkes maupun dengan para pemangku kepentingan lainnya perlu untuk segera dilakukan. Namun Gayus menegaskan pertemuan tersebut tidak akan menjadikan putusan MA berubah.

Gayus mengatakan pascapertemuan tersebut kemungkinan yang bisa dilakukan oleh MA adalah menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) berkaitan dengan fakta-fakta tindakan medik yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien. Gayus mengatakan pada pertemuan tersebut diharapkan dokter dan hakim akan memiliki kesamaan visi dan persepsi mengenai sebuah tindakan medik. Sebagai seorang hakim agung, Gayus mengaku dirinya melihat kegagalan medik terdiri dua hal.

Pertama disebabkan oleh pelayanan medik yang diberikan oleh para petugas medik di rumah sakit (RS) dan yang kedua akibat tindakan medik yang dilakukan oleh para dokter. "Ini perlu untuk dibahas bersama, namun sekali lagi perlu saya tekankan jika pertemuan tidak akan merubah putusan, putusan dapat berubah hanya melalui upaya hukum luar biasa yang disebut peninjauan kembali (PK)," katanya.

Sebelumnya Wamenkes Ali Ghufron Mukti mengatakan Kemenkes dan MA harus duduk bersama untuk membahas penerapan sanksi hukum bagi para dokter yang diduga melakukan malapraktik. Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Ali ketika dihubungi Gresnews.com, Jumat (29/10). "Sebaiknya dugaan malapraktik diatur dengan menggunakan mekanisme yang berlaku pada Undang-Undang Nomor 29Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran," ujarnya.

UU tersebut menurut Ali mengatur secara menyeluruh mengenai hak-hak pasien dan kewajiban dokter serta  perlindungan hukum bagi keduanya. "Terkait dengan praktik kedokteran maka UU-nya harus menjadi lex spesialis," ujarnya. Mengenai aksi mogok yang dilakukan oleh para dokter sebagai aksi solidaritas, Ali mengatakan jika pihak Kemenkes telah membuat surat edaran mengenai hal tersebut.

Menurutnya jika para dokter ingin melakukan aksi solidaritas cukup dilakukan dengan mengenakan pita hitam di lengan kanan dan tidak perlu melakukan aksi turun ke jalan. "Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada publik terus berjalan seperti sediakala dan tidak boleh terganggu," ujarnya.

Direktur Advokasi dan Kampanye Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bahrain melalui surat elektronik yang diterima Gresnews.com, Kamis (28/11) mengatakan pemidanaan terhadap dokter Ayu Sasiary Prawani, Hendry Simanjuntak dan Hendi Siagian, dibenarkan secara hukum. Maka seharusnya polemik penahanan terhadap tiga dokter tersebut tidak ditanggapi secara berkepanjangan oleh dokter-dokter lainnya. Bahkan sampai memilih aksi mogok praktek melayani masyarakat. "Mogok praktik tersebut justru sangat merugikan jutaan rakyat Indonesia untuk mendapatkan palayanan kesehatan," ujarnya.

Menurut Bahrain semua pihak seharusnya menghormati putusan hakim Mahkamah Agung (MA) karena putusan terhadap ketiga dokter tersebut sudah berkekuatan hukum tetap. Seharusnya menurut Bahrain para dokter lebih profesional dan berhati-hati dalam mengambil tindakan terkait tugas mediknya. Karena tindakan kecerobohan seorang dokter bisa menyebabkan melayangnya nyawa seseorang.

Bahrain mengatakan bahwa pemidanaan dokter sangat dimungkinkan bahkan dibenarkan secara hukum. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menurut Bahrain faktor kesalahan atau kelalaian yang menyebabkan orang lain meninggal dunia merupakan perbuatan tindak pidana, hal ini diatur dengan jelas dalam Pasal 359 KUHP  yang berbunyi : “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”. Menurutnya, dalam hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa kesalahan”. "Asas ini merupakan asas fundamental dalam mempertanggungjawabkan perbuatan tindak pidana," ujarnya.

Pengertian asas tersebut menurut Bahrain menunjukkan bahwa seseorang tidak dapat dipidana apabila ia tidak mempunyai kesalahan, baik berupa kesengajaan maupun kealpaan. Hal tersebut diatur dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, pasal 6 ayat (1) dan (2). Tentunya dengan adanya asas diatas, hakim kasasi MA yang memegang perkara dokter Ayu sangat memahaminya. Sehingga bagi hakim kasasi MA, penjatuhan pidana tersebut tentunya sudah didasarkan pada pengaturan yang tercantum dalam perundang-undangan dan dipastikan juga kebenarannya terkait penggunaan peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan kewenangan MA selaku judex juris.

Lebih lanjut Bahrain mengungkapkan, jika mempelajari UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, dokter juga sangat memungkinkan untuk dilaporkan oleh siapapun terkait dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh dokter. Dalam hal ini sangat jelas pengaturannya di Pasal 66 ayat (3). Di dalam pasal 304 KUHP Bahrain mengatakan secara tegas disebutkan: "Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".

Selain itu di dalam pasal 51 UU No. 29 tahun 2004 tentang praktik Kedokteran menurut Bahrain juga dimuat dengan jelas mengenai kewajiban dokter termasuk memberikan pelayanan medis sesuai standar prosedur operasional serta kebutuhan medik pasien. Selanjutnya didalam pasal 52 UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran juga menegaskan terkait hak-hak pasien termasuk mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan medik sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3) Undang-undang yang sama.

Selain pelaporan kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, dapat juga pihak yang dirugikan melaporkan kepada pihak yang berwenang dalam melakukan pemeriksaan terhadap terjadinya tindak pidana, yakni aparat kepolisian. Namun, jika kerugian tersebut mengarah pada kerugian perdata, maka bisa dilakukan gugatan secara perdata ke pengadilan. Dengan demikian menurut Bahrain pemidanaan terhadap dokter dibenarkan secara hukum, karena perundang-undangan sangat memungkinkan untuk mempidanakan dokter. "Maka bagi para dokter seharusnya memahami hal ini dan tidak lagi memunculkan polemik yang berkepanjangan," katanya.

Pakar Hukum Pidana Universitas Brawijaya Adami Chazawi juga pernah mengatakan, para dokter harus menghormati putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht). "Saya menyesalkan para dokter justru turun ke jalan dan berunjukrasa menentang putusan tersebut," katanya.

Menurut Adami sebuah putusan yang telah inkracht harus dihormati dan dijalankan dan tidak bisa dipermasalahkan lagi benar atau salah. Jika proses perkara masih bergulir, perdebatan mengenai benar atau salah masih bisa bergulir baik di pengadilan maupun di ruang-ruang publik. "Sekarang putusan tersebut harus dilaksanakan," katanya.

Namun Adami mengakui pembuktian dalam perkara-perkara medis yang telah masuk ke ranah pidana memang mempunyai tingkat kesulitan tersendiri. Menurutnya sebelum memutus perkara seperti itu dibutuhkan keterangan yang mendalam dari para ahli kedokteran dan pakar hukum. "Tapi itu di ranah hukum, jangan sampai para dokter turun ke jalan, itu tidak menyelesaikan masalah dan justru merugikan kepentingan masyarakat banyak," katanya.

Aksi solidaritas digelar para dokter sebagai dukungan untuk dr. Dewa Ayu Sasary Prawani yang diputus bersalah oleh MA berdasarkan putusan Nomor 365 K/Pid/ 2012 pada 18 September 2012. Dalam putusan tersebut MA mengabulkan permohonan kasasi dari jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Manado dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/PID.B/2011/PN.MDO tanggal 22 September 2011. MA juga menyatakan Para Terdakwa yaitu dr Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr Hendy Siagian (Terdakwa III) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain".

MA kemudian menjatuhkan pidana terhadap Para Terdakwa : dr Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr Hendy Siagian (Terdakwa III) dengan pidana penjara masing-masing selama 10 bulan. Ketiga orang dokter itu sempat menjadi buron. Saat ini baru ditemukan 2 dokter yaitu dr Dewa Ayu Sasiary Prawani dan dr Hendry Simanjuntak (Terdakwa II). Dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani ditangkap di tempat praktiknya di Rumah Sakit Ibu dan Anak Permata Hati, Balikpapan Kalimantan Timur pada 8 November 2013. Sementara dokter Hendry Simanjuntak ditangkap pada Sabtu 23 November 2013 di rumah kakeknya di Siborong-borong Sumatera Utara.

(Yudho Raharjo/GN-03)


BACA JUGA: