JAKARTA. GRESNEWS.COM - Masalah vonis dokter Ayu sebenarnya bisa diselesaikan jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mau turun tangan memberikan grasi.  Namun sayang Presiden SBY sepertinya tidak tertarik mengambil sikap dan buka suara dalam kasus ini.

Anggota Komisi IX DPR RI, Poempida Hidayatulloh mengusulkan kepada ketiga dokter yaitu Dewa Ayu Sasiasary Prawani, Hendry Simanjuntak dan Hendy Siagian jika ingin dibebaskan dari 10 bulan penjara agar meminta grasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Poempida meminta kepada Presiden SBY untuk menyikapi kasus ketiga dokter tersebut karena kasus tersebut merupakan kasus kesehatan yang melibatkan nyawa manusia. Selama ini Presiden hanya berkomentar tentang kasus korupsi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar.

Kemudian Presiden juga tidak segan-segan memberikan grasi kepada gembong narkoba dari Australia, Corby. "Presiden ini kemana. Ini kasus kesehatan, ini menyangkut nyawa manusia lho. Kenapa kasus seperti ini Presiden diam saja," kata Poempida di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Jumat (30/11).

Sementara itu, Ketua Umum Perkumpulan Obstetri dan Genekologi Indonesia (POGI), Nurdadi Saleh mengaku pesimis jika meminta grasi kepada Presiden mengingat dalam mengeluarkan grasi membutuhkan waktu lama melebih masa hukuman yang harus dilalui oleh ketiga dokter tersebut.

Bahkan Nurdadi menilai bahwa Presiden tidak ingin mengintervensi kasus kesehatan yang melibatkan ketiga dokter tersebut dikarenakan kasus tersebut sudah melibatkan institusi hukum yaitu Mahkamah Agung.

"Saya khawatir Presiden malah bilang, saya tidak bisa intervensi masalah hukum," kata Nurdadi, ditempat yang sama.

Nurdadi bahkan meminta kepada masyarakat untuk memahami tindakan-tindakan protes yang dilakukan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melalui aksi demo mogok praktik. Langkah tersebut merupakan jalan yang sudah maksimal ketika sudah menempuh sesuai secara prosedur tetapi langkah-langkah tersebut berujung kebuntuan.

"Saya menyampaikan minta maaf atas ketidaknyamanan masyarakat," kata Nurdadi.

Direktur Yayasan Perlindungan Konsumen Kesehatan, Marius Wijayakarta mengatakan bahwa kasus yang melibatkan ketiga dokter tersebut sudah berlangsung lama, maka dari itu perlu adanya standard pelayanan medik secara nasional.

Akan tetapi, pihak Kementerian Kesehatan menilai standar pelayanan medik hanya cukup ditingkatan lokal. Sementara itu jika terjadi kasus pengadilan memiliki standard nasional. Marius pun mengaku hampir sebagian peraturan hukum yang menyangkut kesehatan dan kedokteran tidak lengkap dan dinilai ´sakit´.

"Kita sudah punya UU Kesehatan meskipun ´sakit´ karena tidak ada PP, UU Kedokteran, dan UU Rumah Sakit yang ´sakit´ tidak ada PP. Nah kelemahan kita tidak ada standar pelayanan medik yang nasional," kata Marius.

Apalagi, Marius mengatakan jika mengacu kepada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 496 Tahun 2005 memiliki tujuan khusus untuk penerapan pelayanan medis. Menurut Marius hal itu khusus mengaudit kesehatan tetapi SPM juga belum ditetapkan.

"Jadi istilahnya anak lahir (Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 496 Tahun 2005) dulu baru orang tua (SPM). Nah ini zamannya edan. Saya sudah kesal," kata Marius.
 
Marius mengatakan dengan memiliki SPM para dokter memiliki rambu-rambu sehingga jika nanti dituduh melakukan malapraktik maka sang dokter bisa menunjukkan SPM yang ditetapkan pemerintah. Namun jika tidak memiliki SPM maka sang hakim tidak memiliki dasar hukum sehingga penerapannya bisa menggunakan sanksi pidana.

"Kita tidak usah debat tentang SPM darurat. Kumpulkan semua rumah sakit, kumpulkan semua dokter, duduk bareng, dirembuk untuk penentuan SPM lalu langsung dibuat Permenkes," kata Marius.

(Heronimus Ronito/GN-04)

BACA JUGA: