JAKARTA.GRESNEWS.COM - Yayasan Perlindungan Konsumen Kesehatan menyatakan hukuman yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA) kepada tiga dokter yaitu Dewa Ayu Sasiary Prawani, Hendry Simanjuntak dan Hendy Siagian selama 10 bulan terlalu ringan.

Menurut Direktur Yayasan Perlindungan Konsumen Kesehatan, Marius Wijayakarta, hukuman 10 bulan tersebut terlalu ringan karena berdasarkan keterangan pengadilan ketiga dokter tersebut telah melakukan pemalsuan dokumen. Tindakan pemalsuan dokumen itu bisa dikenakan hukuman selama 6 tahun, kemudian ada penelantaran pasien yang dapat dikenakan hukuman selama 8 bulan.

Bahkan Marius mengaku dirinya mendukung putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA) karena pada dasarnya MA tidak menggunakan UU Praktik Kedokteran sebagai dasar hukum untuk memutuskan vonis pada para dokter itu. Pasalnya kedokteran Indonesia tidak memiliki standar pelayanan medik (SPM) secara nasional, kalau pun ada hanya SPM lokal.

"MA itu kan lembaga nasional tidak mungkin menggunakan SPM lokal. Nanti bagaimana pertanggungjawabannya," kata Marius di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (30/11).

Di satu sisi, Marius menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh ketiga dokter tersebut sudah memenuhi unsur pidana karena dirinya pun mengaku telah melihat dokumen yang diperoleh MA yang berisikan dokumen palsu berasal dari ketiga dokter tersebut. Kemudian terdapat tanda tangan palsu, dan itu merupakan pertimbangan ketiga dokter tersebut dinyatakan bersalah dalam hukuman pidana.

Marius mengatakan dalam dokumen tersebut juga terdapat audit forensik yang sudah kuat dasar hukumnya. Kemudian audit forensi dikeluarkan oleh lembaga yang kuat dan jika menggunakan dasar dari audit forensik maka hukuman yang dijatuhkan kepada ketiga dokter tersebut selama 6 tahun.

"Kalau dijelaskan secara medis, Hakim kan tidak tahu karena tidak ada SPM makanya dia pakai pidana atau perdata. Belum lagi menghilangkan nyawa," kata Marius.

Sementara itu, Ketua Pengurus Besar Persatuan Obsetri dan Giniekologi Indonesia (POGI) Nurdadi Saleh membantah bahwa surat tanda tangan tersebut berasal dari pasien dan orang tua yang diwakili oleh sang Ibu. Dia menjelaskan bahwa dalam setiap tindakan medik, khususnya penanganan gawat darurat, akan diminta persetujuan dari pihak pasien dan keluarga pasien.

"Buat apa dokter memalsukan tandatangan tersebut. Bahkan Ibunya (korban) sudah mengakui dia dan pasien tandatangan," kata Nurdadi.

Nurdadi megatakan yang berwenang untuk menyatakan tindakan lalai atau tidaknya berasal dari hasil sidang Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran (MKDKI) dan Majelis Kode Etik Kedokteran Indonesia (MKEKI).

"Dalam pengambilan tidakan medik, Dokter harus meminta persetujuan dari pasien dengan tandatangan, begitu juga dengan tidak setuju harus ditandatangani," kata Nurdadi.

Nurdadi meminta kepada publik agar tidak menyalahkan ketiga dokter tersebut yang sudah dituduh melakukan malapraktik. Bahkan Nurdadi pun juga membantah bahwa tidaklah benar jika Majelis Kehormatan Dokter membela ketiga dokter tersebut.

"Yang tahu tindakan itu kelalaian atau tidak itu adalah Majelis Kehormatan Dokter," kata Nurdadi.

(Heronimus Ronito/GN-04)

BACA JUGA: