GRESNEWS.COM - Advokat Yusril Ihza Mahendra dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Muhammad Mahfud Mahfuddin berselisih pendapat tentang putusan uji materiil Pasal 197 KUHAP yang mengatur tentang perintah penahanan.

Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP berbunyi: Surat putusan pemidanaan memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; Ayat (2) berbunyi tidak terpenuhinya ketentuan dalam Ayat (1) huruf k pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Mahfud rupanya gerah dengan terpidana kasus korupsi yang menyatakan menolak dieksekusi oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) karena berlindung pada putusan MK terkait syarat penahanan terpidana. Menurut Mahfud, putusan MK terkait uji materiil Pasal 197 KUHAP yang diucapkan pada 22 November 2012 tersebut justru memperkuat dan membenarkan tindakan Kejagung yang sudah berlangsung sebelum keluarnya putusan MK.

Namun, Yusril menyatakan kecewa lantaran MK membuat putusan sendiri di luar putusan uji materiil pasal tersebut yang diajukan oleh seorang pengusaha batubara Parlin Riduansyah, klien Yusril.

"Putusan MK itu multitafsir. Harapan kita mengajukan permohonan uji materiil ialah agar MK menyelesaikan kontroversi masalah ini, tetapi MK malah menimbulkan kontroversi baru," kata Yusril di Jakarta, Jumat (8/3).

Yusril mengkritik tafsiran Mahfud bahwa apa yang dilakukan oleh jaksa selama ini adalah benar. Menurut Yusril, MK itu menguji norma bukan menilai penerapan hukum di masyarakat. "Pak Mahfud jelas telah melampaui kewenangannya," jelasnya.

Tindakan Mahfud, lanjut Yusril, justru menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum seorang terpidana. "Itu dinamakan ultra petita, yang artinya, memutuskan lain dari apa yang diminta. Jelas kalau begitu salah hakimnya. Tujuan kita ajukan uji materi ialah agar MK menafsirkan apa putusan batal demi hukum itu dan kedua apakah putusan batal demi hukum bisa dieksekusi atau tidak," kata Yusril.

Senjata
Selasa lalu, Mahfud menegaskan pendapatnya menyusul polemik perintah penahanan yang terjadi dalam kasus Parlin dan Susno Duadji. Menurut Mahfud apabila dalam vonis Pengadilan Tinggi sudah menyebut jenis dan lamanya hukuman penjara maka tanpa harus ada perintah "harus masuk" dalam vonis Mahkamah Agung (MA), dengan sendirinya terpidana harus ditahan atau dimasukkan ke penjara.

"Apa pun putusan MK selalu dijadikan senjata dan saat ini ada yang menghalang-halangi putusan MA sehingga Kejagung kesulitan," kata Mahfud.

Vonis MK, kata Mahfud, bukan memberlakukan hukum baru melainkan menegaskan bahwa yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung selama ini sudah benar, yaitu memasukkan ke penjara begitu ada vonis MA, meskipun tidak ada perintah "harus masuk". Oleh sebab itu, berlakunya vonis MK tidak ada kaitannya dengan soal berlaku surut atau tidak berlaku surut, sebab MK justru memperkuat yang lama.

Menurut Mahfud, adalah salah jika menggunakan vonis MK sebagai alasan, karena MK justru menyatakan mereka para terpidana tersebut harus segera dieksekusi. "Kalau bermain hukum jangan pakai putusan MK, karena kami MK akan melawan," kata Mahfud.

Sementara Hakim Konstitusi Muhammad Alim menjelaskan, kasasi merupakan serapan dari bahasa Belanda kasatie, yang berarti pembatalan. Kalau MA menyatakan menolak kasasi berarti tidak ada pembatalan terhadap hukuman pidana seseorang. "MK tidak berwenang membatalkan putusan MA, yang selama ini ada tetap berlaku dan tidak batal demi hukum," ujar Alim.

Keterangan Alim juga diperkuat oleh Ahmad Fadlil Sumadi, yang menerangkan latar belakang pengujian UU Hukum Acara Pidana atau KUHAP di mana Yusril Ihza Mahendra menjadi kuasa hukum dalam perkara tersebut, dan dalam permohonannya pemohon meminta agar putusan MA yang tidak mencantumkan Pasal 197 ayat (1) huruf k UU Hukum Acara Pidana yang berbunyi perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan dinyatakan tidak sah dan bertentangan dengan konstitusi.

Dijelaskan mantan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta itu, dalam putusannya MK menolak permohonan pemohon, namun MK perlu memberikan makna agar isi Pasal 197 Ayat (1) sejalan dengan ketentuan lain dalam UU tersebut.

Fadlil memperkuat keterangan Mahfud MD dan M. Alim, bahwa yang sudah dilaksanakan oleh MA dan Kejagung benar adanya, bahwa putusan MA yang tidak memuat syarat dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k tidak batal demi hukum. (LAN/MAHKAMAHKONSTITUSI.GO.ID/GN-01)

BACA JUGA: