JAKSA Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menolak nota keberatan (eksepsi) Miranda Swaray Goeltom. Menurut jaksa, eksepsi terdakwa sangat tidak beralasan.

"Keberatan-keberatan yang diajukan penasehat hukum dan terdakwa sangat tidak beralasan dan harus ditolak. Kiranya adil dan bijaksana majelis hakim yang memeriksa berkenan mengambil keputusan menyatakan keberatan ditolak," kata ketua tim JPU, Supardi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (27/7).

Meski Miranda mengaku tidak mengetahui rencana dan pembagian cek pelawat (traveller´s cheque) senilai Rp 24 miliar kepada sejumlah anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat, hal itu dinilai tidak memiliki alasan kuat. Oleh karenanya, jaksa meminta majelis hakim melanjutkan persidangan.

"Kami menilai khusus keberatan terdakwa, meski menyatakan dakwaan tidak dapat diterima namun pendapat tersebut didasarkan pada alasan terdakwa tidak tahu menahu TC. Kebenaran alasan itu baru bisa diketahui setelah pemeriksaan perkara," kata jaksa.

Jaksa juga menolak keberatan Miranda atas penggunaan Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dianggap kadaluwarsa. Jaksa beranggapan, keberatan itu baru bisa dibuktikan setelah keputusan vonis hakim dijatuhkan.

"Keberatan penasehat hukum soal Pasal 13 sudah kedaluwarsa sangat tidak beralasan. Karena penerapan Pasal 13 dan Pasal 5 tidak ada kaitannya dengan cermat atau tidak cermat. Persoalan (pasal 13, 5) akan terlihat setelah pemeriksaan pokok perkara," tuturnya.

Persidangan kasus cek pelawat ini menyeret Komisaris PT Wahana, Nunun Nurbaeti, yang telah divonis bersalah karena memerintahkan Direktur Utama PT Wahana Esa Sejati Arie Malangjudo untuk mengguyur duit kepada anggota Komisi XI DPR. Nunun kemudian menunjuk politikus Partai Golkar, Hamka Yandhu, untuk mengatur pembagian 480 lembar cek suap tersebut sehari sebelum uji kepatutan dan kelayakan calon Deputi Gubernur Senior BI di Komisi Perbankan DPR. Namun Nunun mengaku tak tahu siapa sponsor suap itu. Nunun sudah divonis 2 tahun 6 bulan penjara.

"Terdakwa (Miranda) sengaja menganjurkan Nunun untuk melakukan perbuatan memberikan traveller´s cheque senilai 20,850 miliar melalui Arie Malangjudo kepada penyelanggara negara antara lain, Hamka Golkar, Dhudie PDIP, Endin Sofihara dari PPP, selaku anggota DPR RI periode 1999-2004," kata jaksa dalam persidangan sebelumnya.

Dalam persidangan Nunun terungkap, cek BII itu dikeluarkan oleh Bank Artha Graha berdasarkan permintaan dari PT First Mujur Plantation. Bekas Direktur Keuangan First Mujur, Budi Santoso alias Awen, mengatakan cek dibeli atas permintaan Suhardi Suparman alias Ferry Yen untuk membayar lahan sawit seluas 5.000 hektare di Tapanuli Selatan yang dibeli oleh Teddy Uban. Ferry tak bisa bersaksi karena wafat pada 7 Januari 2007. Hakim Sudjatmiko, yang mengadili Nunun, menilai Ferry adalah tokoh fiktif yang diciptakan untuk menutupi alur kasus ini.

Pemilihan Deputi Gubernur Senior BI kala itu diikuti oleh tiga kandidat, Hartadi A. Sarwono, Budi Rohadi, dan Miranda Swaray Goeltom. Pemilihan itu dimenangi Miranda. Diduga kuat anggota Dewan sepakat memilih Miranda setelah mereka disuap cek pelawat. Miranda kini dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus suap ini. Dia disangka ikut serta bersama Nunun atas penyuapan kepada anggota Dewan tersebut. Puluhan anggota Dewan 1999-2004 penerima cek pelawat sudah dipidana bersalah. Kecuali Emir Moeis yang sampai saat ini belum dijadikan tersangka.

BACA JUGA: