VONIS 2,5 tahun penjara terhadap terdakwa kasus suap cek pelawat, Nunun Nurbaetie, dianggap terlalu ringan. Bukan tak mungkin, istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun itu hanya akan menjalani separuh dari masa hukuman yang dijatuhkan hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.

Pengamat hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakkir, menyatakan, vonis enteng itu bisa menguntungkan Nunun karena kemungkinan bisa keluar lebih cepat melalui proses pemberian remisi.

Mudzakkir menilai seharusnya hakim sudah bisa mempertimbangkan apakah Nunun akan menginsafi perbuatannya dengan hukuman tersebut berikut dengan perkiraan remisi yang akan diberikan oleh pemerintah.

"Mestinya sudah bisa dipertimbangkan berapa lama dia akan dipenjara. Menurut saya, putusan terhadap Nunun Nurbaetie belum memberikan pertimbangan yang rasional di situ mengapa dia pergi ke luar negeri tidak dipertimbangkan sebagai hal yang memperberat," ungkap Mudzakkir saat dihubungi gresnews.com, Jumat (11/5).

Mudzakkir mengatakan, pelarian ke luar negeri seharusnya bisa menjadi hal yang memberatkan hukuman. Namun pertimbangan ini juga diabaikan oleh hakim Pengadilan Tipikor Jakarta saat memutuskan terdakwa kasus suap Wisma Atlet M Nazaruddin.�

"Akibatnya tersangka mau sembunyi dimanapun tidak ada masalah. Tidak ada kontribusinya untuk putusan pengadilan terkait pemberatan pidana. Sebaliknya seharusnya orang yang menyerahkan diri diberikan reward juga ungkap Mudzakkir. Apalagi Nunun berpura-pura seolah-olah sedang sakit, ternyata tidak. Seolah dia lupa teryata tidak. Hakim harus mempertimbangkan bahwa Nunun telah mengelabui proses peradilan. Telah menghambat proses peradilan atau obstruction of justice," ungkap Mudzakkir.

Dilanjutkan Mudzakkir, sekalipun putusan 2,5 tahun baru di tingkat pertama dan masih ada upaya hukum hingga ke Mahkamah Agung (MA), menurutnya, putusan di tingkat pengadilan negeri lebih penting. Dari situ, masyarakat bisa ikut merasakan nuansa kebatinan proses peradilan kasus korupsi. Sementara di Pengadilan Tinggi dan MA, atensi masyarakat sudah teralihkan dan tidak memedulikan putusan tersebut walaupun hukuman yang dijatuhkan akan lebih berat.

"Dampaknya tidak akan terasa langsung di tengah masyarakat. Hubungan masyarakat sudah terlalu jauh dengan pengadilan tinggi atau MA. Kesan yang timbul di pengadilan hanya berani menghukum berat jika tidak berhadapan dengan terdakwa. Sukanya sembunyi-sembunyi," ujar Mudzakkir.

Remisi
Mudzakkir berharap proses pemberian remisi terhadap Nunun dilakukan dengan pengawasan ketat. Ia memang sepakat bahwa remisi adalah hak yang tidak boleh dikurangi oleh negara. Tapi, proses pemberiannya harus benar-benar dipertimbangkan dengan perbuatan Nunun baik terkait tindak pidananya maupun perilaku setelah pemidaaan dilakukan.

"Istilahnya itu bisa kita ambil contoh seperti seorang pasien dirawat di rumah sakit dapat izin untuk keluar tapi tetap wajib melaporkan kondisinya. Izin diberikan karena sang pasien ada potensi menjadi sehat. Tapi, kalau belum sehat ya sebaiknya ditahan dulu di rumah sakit," ungkap Mudzakkir.

Diwawancarai terpisah, kuasa hukum Nunun, Ina Rahman, mengakui pihaknya belum berpikir tentang masa tahanan yang akan dijalani kliennya karena adanya peluang remisi yang mungkin diperoleh Nunun.

Ina belum dapat memprediksikan hitung-hitungan pemotongan masa tahanan itu. Karena masih memiliki proses hukum hingga inkracht (berkekuatan hukum tetap).

"Belum bisa memprediksikan hitung-hitungannya, karena kita tidak dapat memprediksi kapan inkracht, dan sebagainya. Selain itu, apakah ada potongan masa tahanan, dapat remisi atau tidak. Itu semua masih harus dipikirkan," ucap Ina.

Pasal 14 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan salah satu hak terpidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Teknisnya, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan.

Remisi tersebut diberikan berdasarkan dua syarat, yakni berkelakuan baik selama di penjara dan telah menjalani hukuman minimal selama enam bulan. Namun, terkhusus bagi terpidana korupsi, berlaku ketentuan khusus. Pasal 34 ayat 3 PP 28/2006 mengatur bahwa remisi baru dapat diberikan setelah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa hukuman pidana. Ketentuan ini juga berlaku untuk terpidana kasus terorisme, narkotika, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya.

Strategi hukum
Meski telah divonis pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) dengan kurungan penjara dua tahun enam bulan, pihak Nunun Nurbaetie masih belum dapat memberikan kepastian langkah hukum selanjutnya, apakah akan melakukan banding atau menerima secara legowo.

Diakui, kuasa hukum istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun ini belum dapat memberikan keputusan apakah pihaknya akan mengajukan banding atau tidak.

"Kami belum akan mengajukan banding karena masih berpikir, dan masih melakukan diskusi dengan tim kuasa hukum serta Nunun. Jadi belum dapat memberikan jawaban," kata Ina Rahman.

Menurut Ina, tujuh hari yang diberikan majelis hakim sebelum diputus inkracht, sambung dia, waktu itulah yang digunakan oleh tim kuasa hukum dan Nunun untuk melakukan langkah hukum apa berikutnya. "Karena waktu yang diberikan pengadilan itu kan tujuh hari. Nah nanti kita akan memberitahukan," pungkas dia.

Nunun divonis bersalah karena memberi suap dalam bentuk cek pelawat senilai Rp20,8 miliar kepada sejumlah anggota DPR RI periode 1999-2004 melalui Arie Malangjudo. Cek itu merupakan bagian dari 480 lembar cek BII senilai Rp24 miliar yang diberikan kepada sejumlah anggota Dewan, antara lain Hamka Yandhu, Dudhie Makmun Murod, Endin AJ Soefihara, dan Udju Juhaeri.

Suap itu diduga untuk memuluskan Miranda Swaray Goeltom dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004 silam.

BACA JUGA: