JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah telah memberikan keterangan terkait Judicial Review (JR) "pasal makar" dalam KUHP yang diajukan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), di Mahkamah Konstitusi (MK), dalam persidangan Selasa (9/5). Dalam Perkara No. 7/PUU-XV/2017 itu, Pemerintah memberikan beberapa respons dan penekanan terhadap permohonan yang diajukan ICJR yang pada intinya meminta MK untuk memperjelas defenisi dan pemaknaan dari kata "makar" dalam KUHP.

Dalam Jawabannya, Pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) meminta MK untuk menolak permohonan yang diajukan ICJR. Dasar argumen Pemerintah pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua hal utama. Pertama, Pemerintah menilai bahwa pasal-pasal makar merupakan pencegahan terhadap tindakan-tindakan yang akan mengancam keamanan negara, sehingga apabila makar diartikan hanya dengan serangan, maka risiko yang ditimbulkan terhadap negara akan lebih besar.

Kedua, Pemerintah menyatakan bahwa makar tidak bisa dimaknai sebagai serangan, melainkan harus dimaknai sebagai norma hukum sesuai kebutuhan dari tujuan yang hendak dicapai. "Atas jawaban dari Pemerintah ini, ICJR mendorong kepada Pemerintah agar membaca dan memahami secara lebih komprehensif permohonan dari ICJR," kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Rabu (10/5).

Pertama, pada dasarnya ICJR menganggap pasal-pasal makar masih diperlukan dalam hukum di Indonesia. "Itulah sebabnya, dalam petitum, ICJR hanya meminta pemaknaan dari makar dikembalikan ke makna asalnya yaitu aanslag atau serangan, bukan menghapus atau mencabut pasal-pasal makar tersebut," ujar Supriyadi.

Kedua, ICJR menganggap bahwa Pemerintah juga kebingungan dalam memaknai dan mencari pengertian dari makar. Dalam keterangan Pemerintah tersebut tidak ditemukan satupun argumen yang menjelaskan apa sesungguhnya pengertian dari "makar". "Argumen dari Pemerintah terlihat lemah karena Pemerintah justru mengakui makar merupakan terjemahan dari serangan atau aanslag dalam bahasa belanda," tambah Supriyadi.

Dia menambahkan, ICJR sesungguhnya sepakat terhadap pandangan Pemerintah yang menyatakan bahwa makar harus dilihat sebagai "norma hukum pidana" yang memiliki tujuan yang hendak dicapai. "Justru karena makar harus dimaknai sebagai norma hukum lah maka harus ada pengertian yang presisi dan pasti terkait makar," tegas Supriyadi.
Dalam KUHP versi Belanda, makar jelas dimaknai sebagai serangan, bukan sebagai suatu niat belaka yang selama ini dipraktikkan dalam berbagai dakwaan dan putusan di Indonesia. Sesat pemahaman tentang makar ini menurut ICJR bahkan tertular pada Rancangan KUHP yang secara keliru mendefenisikan makar sebagai "niat untuk melakukan suatu perbuatan".

"Seharusnya, makar didefenisikan sebagai serangan. Serangan dalam konteks makar tidak perlu sebagai ´perbuatan selesai´, karena KUHP telah menjelaskan bahwa serangan sudah dianggap dilakukan apabila niat untuk melakukan perbuatan-perbuatan makar telah nyata dari adanya permulaan pelaksanaan," jelas .

Ketika sudah ada permulaan pelaksaan untuk melakukan serangan atau makar, menurut Supriyadi, maka disitulah pidana sudah mulai bekerja, serangan tidak perlu sampai selesai. "Dengan begitu, pengaturan tindak pidana makar dapat memberikan rasa aman dalam penyelenggaraan pemerintahan dan Negara, tanpa harus melanggar hak asasi warga Negara," urainya.

Atas dasar itu, maka ICJR meminta agar Pemerintah lebih teliti dan kembali mengkaji persoalan tindak pidana makar yang telah bergeser dari pemahaman awalnya sebagai serangan. "ICJR juga meminta Hakim MK agar secara seksama mendalami permohonan oleh ICJR terkait makar ini, karena akan berdampak pada tatanan hukum pidana Indonesia , terlebih pada hak konstitusional warga Negara Indonesia dan pemohon sebagai organisasi," pungkasnya.

BANYAK DIGUGAT - Pasal makar dalam KUHP ini memang tengah banyak digugat oleh berbagai kalangan. Salah satunya oleh sejumlah aktivis yang mengatasnamakan dirinya sebagai Tim Advokasi untuk Kebebasan Warga Negara mendatangi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka mengajukan permohonan pengujian undang-undang (judicial review) terhadap pasal makar di KUHP.

"Kami ingin memohonkan pengajuan judicial review, dalam hal ini adalah KUHP terkait pasal-pasal makar," ujar perwakilan dari Aliansi Demokrasi untuk Papua, Iwan Kurniawan Niode, di Gedung MK, beberapa waktu lalu/

Dalam pengajuan permohonan itu, pihaknya mewakili 6 pemohon. Antara lain adalah Hans Wilson Wader (warga Manokwari, Papua Barat), Meki Elosak (warga Distrik Asalogaima, Kabupaten Jayawijaya), Jimmy Sembay (warga Distrik Kosiwo, Kabupaten Yapen), Pastor John Jonga, Pr., Gereja Kemah Injil (Kingmi) di Tanah Papua yang dalam hal ini diwakili oleh Pendeta Dr. Benny Giay, dan Yayasan Satu Keadilan yang merupakan badan hukum berbentuk yayasan yang berkedudukan di Bogor.

Iwan mengaku dirinya mewakili kawan-kawan aktivis Papua dan Jakarta dalam pengajuan permohonan judicial review itu. Menurutnya, penerapan 5 pasal KUHP terkait makar tersebut cenderung disalahgunakan.

"Ada dari LBH Papua, Aliansi Demokrasi untuk Papua, ada dari LBH Jakarta dan beberapa aliansi lain. Ini terkait dengan adanya penerapan pasal 104, 106, 107, 108, dan 110 KUHP yang disalahgunakan menjadi pasal karet," imbuh Iwan.

Dia mengatakan, selama ini banyak aktivis prodemokrasi di Papua yang bergerak memperjuangkan hak-hak demokrasinya tetapi ditangkap dan diadili berdasarkan pasal-pasal tersebut.

"Kami menganggap bahwa pasal-pasal ini justru malah membungkam suara-suara kritis di Papua, membungkam suara orang-orang yang berjuang untuk menegakkan demokrasi di tanah Papua. Makanya kami mencoba untuk mengajukan judicial review ini," kata Iwan.

Dia berharap, dengan adanya pengajuan permohonan judicial review tersebut mampu menjadi rekomendasi bagi pengesahan RUU KUHP. Jika permohonan tersebut dikabulkan oleh MK, pihaknya ingin adanya perubahan di dalam KUHP terkait pasal-pasal makar.

"Ya memang benar bahwa masih ada pembahasan terhadap RUU KUHP. Oleh karena itu, terkait dengan KUHP baru nanti, dengan pengajuan uji materiil ini, kami berharap bahwa putusan MK juga menjadi masukan bagi DPR di dalam merancang KUHP yang baru terutama terkait pasal-pasal tentang makar," ucapnya.

Kemudian, Tim Pembela Ulama (TPU) juga akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kata ´makar´ yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 107 Ayat (1). Pasalnya kata ´makar´ dalam pasal tersebut dinilai menjadi pasal karet yang bisa dijadikan alat oleh pihak tertentu untuk mengkriminalisasi ulama dan masyakarat lainnya.

"Ini jadi pasal karet yang selalu menjadi cara untuk mengkriminalisasi siapapun bukan hanya ulama," kata Koordinator Nasional Tim Pembela Ulama Kiagus Muhammad Choiri, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, kata ´makar´ dalam Pasal 107 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertengangan dengan Udang-Undang Dasar 1945. Karena masyarakat tidak lagi bebas berkumpul atau berserikat. "Apa definisi makar dalam undang-undang. Apa artinya makar. Ini bertengatangan dengan undang-undang dasar kita," ujar dia.

Dia menambahkan tidak seluruh kata ´makar´ yang ada di dalam KUHP akan diajukan judicial riview. Pihaknya akan fokus terhadap kata makar yang ada dalam Pasal 107 ayat (1) saja. " Karena kalau semua kita uji semua bisa terjadi bahaya," ujarnya. (dtc)

BACA JUGA: