JAKARTA, GRESNEWS.COM - Aksi damai yang bertajuk Aksi Bela Islam III pada 2 Desember 2016 atau dikenal dengan Aksi 212 masih menyisakan persoalan. Kepolisian Republik Indonesia kini tengah memproses delapan aktivis yang diduga melakukan upaya menggulingkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Mereka dikenai pasal makar.

Kedelapan orang tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Republik Indonesia dan dijerat dengan Pasal 107 juncto Pasal 110 juncto Pasal 87 KUHP. Mereka adalah E, ADT, KZ, RA, RS, FH, SBP dan AIA.

Sejumlah pegiat Hak Asasi Manusia mengapresiasi langkah kepolisian, tetapi juga memberikan catatan penting terkait penggunaan pasal yang dijeratkan kepada sejumlah aktivis yang ditetapkan sebagai tersangka itu.

Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf, Jumat (9/12), mengatakan, pasal yang menjelaskan soal makar di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memang masih sumir sehingga rentan ditafsirkan sesuai dengan kepentingan. Dia menilai banyak kelemahan yang terdapat dalam KUHP soal pasal makar. Kasus penangkapan sejumlah aktivis menjelang Aksi 212 merupakan contoh bahwa ukuran tindakan yang dianggap makar itu masih sangat luas.

"Karena dia terlalu luas maka dia menjadi problematik, sama seperti pasal soal penistaan agama," kata Al Araf kepada gresnews.com di Kantor Imparsial, Jakarta Selatan.

Karena itu, Al Araf mendorong agar pasal tentang makar segera menjadi prioritas Dewan Perwakilan Rakyat untuk direvisi. Menurutnya, indikator yang ada di dalam pasal makar di KUHP itu masih multitafsir sehingga rentan digunakan sesuai dengan kepentingan tertentu.

Menurut Al Araf, yang perlu diseriusi adalah bagaimana ke depan pasal ini menjadi lebih terukur. "Makanya harus dijawab dengan revisi pasal makar di dalam UU KUHP. Jadi harus ada ukuran yang jelas. Jadi revisi agar indikatornya lebih jelas," kata Araf.

Pasal 107 KUHP berbunyi: "(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(2) Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Pasal 110 KUHP berbunyi:
(1) Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut Pasal 104, 106, 107, dan 108 diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut.

(2) Pidana yang sama diterapkan terhadap orang-orang yang dengan maksud berdasarkan pasal 104, 106, dan 108, mempersiapkan atau memperlancar kejahatan:

1. berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan agar memberi bantuan pada waktu melakukan atau memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan;

2. berusaha memperoleh kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan bagi diri sendiri atau orang lain;

3. memiliki persediaan barang-barang yang diketahuinya berguna untuk melakukan kejahatan;

4. mempersiapkan atau memiliki rencana untuk melaksanakan kejahatan yang bertujuan untuk memberitahukan kepada orang lain;

5. berusaha mencegah, merintangi atau menggagalkan tindakan yang diadakan pemerintah untuk mencegah atau menindas pelaksanaan kejahatan.

(3) Barang-barang sebagaimana dimaksud dalam butir 3 ayat sebelumnya, dapat dirampas.

(4) Tidak dipidana barang siapa yang ternyata bermaksud hanya mempersiapkan atau memperlancar perubahan ketatanegaraan dalam artian umum.

(5) Jika dalam salah satu hal seperti yang dimaksud dalam ayat 1 dan 2 pasal ini, kejahatan sungguh terjadi, pidananya dapat dilipatkan dua kali.

Pasal 87 KUHP berbunyi; "Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 53."

Namun begitu, karena problematiknya menyangkut UU, Al Araf menyerahkan semuanya akan diuji melalui peradilan. "Biarkan pengadilan yang menguji," ujarnya.

TIGA UNSUR - Mantan Komisioner Komnas HAM MM. Billah menyitir pendapat ahli hukum pidana Andi Hamzah bahwa tindakan seseorang itu tidak bisa dikualifikasi makar kalau belum memenuhi tiga unsur. Menurutnya, ada tahapan yang bisa dikategorikan sebagai tindakan makar.

"Kalau makar harus ada perencanaan, pelaksanaan dan ada unsur tindakan kekerasan," kata Billah saat ditemui di tempat yang sama.

Sementara dalam kasus dugaan makar yang sedang ditindak oleh kepolisian, menurut Billah, belum memenuhi tiga unsur yang disyaratkan sebagai tindakan makar. Dia pun menilai apa yang dilakukan kepolisian juga berbeda dengan pasal makar yang ada di dalam KUHP.

Lebih jauh dia melihat apa yang dilakukan oleh beberapa aktivis yang dijerat dengan pasal makar itu belum dapat dinilai sebagai upaya menggulingkan pemerintah (makar). Karena, menurutnya, harus ada pelaksanaan dan tindakan kekerasan yang dilakukan. Sementara yang dilakukan aktivis tersebut belum sampai pada arah tersebut.

Namun begitu, tindakan kepolisian dengan menangkap delapan orang yang diduga makar sebagai tindakan politik untuk keamanan sah saja dilakukan. Hanya saja kalau dikaitkan dengan persoalan hukum maka memiliki konsekuensi hukum.

"Apakah secara hukum dibenarkan atau tidak itu harus ditelusuri lagi ayat-ayat soal makar. Ya medianya di pengadilan," kata Billah.

Billah juga mengungkapkan, kalau ada aspirasi sebagian orang untuk kembali kepada UU 1945 itu sah saja diperjuangkan. Menurut Billah, itu hanya pendapat yang tak boleh dianggap makar, asalkan pendapat tersebut disalurkan melalui jalan yang konstitusional.

BACA JUGA: