JAKARTA, GRESNEWS.COM - Makar menjadi salah satu kata yang populer setelah aksi demo besar-besaran yang dinamakan Aksi Bela Islam Jilid III pada 2 Desember 2016. Sesaat sebelum digelarnya aksi demo pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla menangkap beberapa tokoh dengan tudingan makar. Diantaranya Rachmawati Soekarnoputri, Mayjen (purn) Kivlan Zen, Brijen Polisi (purn) Aditya Warman yang kerap bersuara vokal pada pemerintah. Sejak saat itu pro dan kontra soal apakah para tokoh yang ditangkap tersebut melakukan tindakan makar mencuat.

Direktur Eksekutif Institute Criminal for Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono menilai ada ketidakpastian hukum terkait definisi makar yang diatur di dalam Pasal 87 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Menurutnya, kata makar telah menjadi persoalan dalam hukum pidana sejak pertama kali kata itu diberlakukan di Indonesia.

Ia menjelaskan pengertian makar diambil dari kata aanslag dalam bahasa Belanda yang artinya dalam bahasa Indonesia justru adalah serangan, bukan makar. "Jadi ada pergeseran makna. Makar tidak lagi dimaknai sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan banyak problem penegakan hukum di Indonesia," papar Supriyadi kepada gresnews.com, Rabu (21/12).

Supriyadi menambahkan, karena KUHP tidak memberikan defnisi yang tepat atas kata aanslag, maka kata makar yang muncul pertama kali di dalam Pasal 87 turut menimbulkan ketidakjelasan tujuan dan rumusan pada pasal-pasal yang muncul berikutnya, yakni Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139a, Pasal 139b dan Pasal 140 KUHP.

Pasal 87 KUHP berbunyi, : Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan apabila ada niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan seperti disebut Pasal 53 KUHP.

Sedang Pasal 104—untuk menyebut salah satu—berbunyi : makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Menurut Supriyadi, sejumlah pakar pidana memiliki pandangan serupa dengannya. Djoko Prakoso misalnya, dia menyatakan bahwa kata makar merupakan terjemahan dari kata aanslag yang berarti serangan. Menurut Djoko, KUHP tidak memberikan definisi pasti mengenai aanslag tapi hanya memberi penafsiran yang otentik atau khusus lewat Pasal 87 KUHP.

Selanjutnya, menyitir pendapat Prof. Noyon dan Prof. Langemeijer, Supriyadi juga menambahkan bahwa kebanyakan tindakan aanslag merupakan tindak kekerasan atau setidak-tidaknya merupakan percobaan–percobaan untuk melakukan tindak kekerasan.

Bahkan bila ditelaah lebih otentik, berdasarkan Memorie van Tolichting (MvT) KUHP di Belanda, defenisi dan pengertian tersebut juga pernah ditanyakan oleh Raad Van State pada waktu Pasal 104 KUHP dibentuk. "Dan dalam jawabannya, menteri kehakiman saat itu telah menjelaskan bahwa apa yang dimaksudkan dengan aanslag op de person ialah elke daad van geweld tegen de person atau setiap tindak kekerasan terhadap seseorang," paparnya.

Atas hal itulah Supriyadi berpendapat, dalam tindak pidana, perumusan pidana harus bersandar pada asas kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan yang merupakan bagian dari asas hukum pidana yang utama, yakni asas legalitas.

Supriyadi menambahkan, persoalan kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan tidak hanya penting demi melindungi warga negara dari perbuatan yang tidak jelas—apakah perbuatan tersebut sudah diatur berdasarkan undang-undang atau tidak— namun juga memastikan bahwa aparat penegak hukum tidak salah dalam menerapkan aturan hukum.

"Sehingga seseorang menjadi tidak dapat dijerat dan aparat tidak menggunakan hukum tersebut dengan sewenang-wenang," katanya.

Supriyadi menjelaskan bahwa pihaknya sudah mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi pada Jumat (16/12) lalu. ICJR meminta kepada MK agar Pasal 87, Pasal 104, 106, 107, 139a, 139b, dan 140 Undang-udang No.1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa makar tidak dimaknai sebagai aanslag atau serangan.

Supriyadi menegaskan bahwa uji materil yang dia ajukan bertolak dari tidak adanya perubahan mengenai pasal makar di dalam RKUHP. Supriyadi menyayangkan sikap Panja RKUHP yang seolah tidak mempersoalkan ketidakpastian hukum dalam pasal makar itu.

"Pasal makar itu penting. Di setiap negara ada rumusannya, tapi definisinya harus jelas. Jangan sampai melenggak-lenggok seperti sekarang," katanya. Supriyadi juga menyebut pihaknya sudah mengingatkan Panja RKUHP agar memperhatikan soal makar itu. Tapi usulan itu tidak merubah apa-apa.

"Ya sudah, kita putuskan untuk lakukan JR (judicial review), dan pas mau ke MK muncul juga kasus makar itu. Kalau mereka mau JR juga, motif kita beda ya," pungkasnya.

TIDAK ADA MASALAH — Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo menilai, definisi makar yang diatur dalam KUHP saat ini sudah memberi kepastian hukum. "Saya tidak melihat ada masalah dalam definisi makar selama ini. Pasal 87 KUHP sudah jelas memberikan definisinya," kata Harkristuti kepada gresnews.com, Rabu (21/12).

Harkristuti menambahkan, bahwa asal kata itu dalam bahasa Belanda adalah aanslag yang artinya serangan namun diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi makar, bukanlah suatu persoalan. Karena baik aanslag maupun makar tercantum di dalam memori KUHP.

"Di dalam memori KUHP disebut makar atau aanslag. Jadi itu diterjemahkan dari Bahasa Belanda dan kita pakainya makar," sambungnya.

Pengertian makar itu pula yang kemudian digunakan di dalam Buku II KUHP Bab I tentang Kejahatan Terhadap Negara. Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, makar didefinisikan sebagai 1) akal busuk; tipu muslihat, 2) perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang, dan sebagainya, 3) perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.

Selaku salah seorang yang turut merumuskan Revisi KUHP (RKUHP), Harkristuti juga menjelaskan bahwa Panja RKUHP sendiri tidak melihat adanya masalah di dalam pengertian makar. Dan karena itu tidak ada perubahan mengenai definisi makar di dalam RKUHP.

"Karena yang diajukan pemerintah tentang rancangan itu diambil dari KUHP, seingat saya tidak ada yang berubah, paling sanksinya. Ada naik-turun sedikit. Tapi intinya tidak ada perubahan. Seingat saya," tambah Harkristuti.

Sedang pakar hukum pidana sekaligus rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta Syaiful Bakhri menyebut makar sebagai delik dalam KUHP dengan niat dan dimulainya permulaan perbuatan untuk mengambil-alih kekuasaan yang sah dengan merusak industri dan fasilitas umum.

"Jika tercapai dan mendapatkan dukungan masyarakat, maka tidak disebut sebagai makar. Namun jika tidak mendapatkan dukungan, maka memenuhi syarat sebagai permulaan perbuatan makar," kata Syaiful kepada gresnews.com, Rabu (21/12).

Terkait hal itu, Syaiful pun memberi tanggapan mengenai kasus ditangkapnya sejumlah tokoh menjelang aksi Bela Islam III pada (2/12) lalu. Menurutnya, dugaan makar dalam kasus itu merupakan hal yang terbilang prematur.

"Isu berbagai tokoh yang dituduh makar adalah tidak memenuhi niat dan kualifikasi, karena mereka sudah bersurat ke parlemen," katanya.

Syaiful juga menambahkan, perbuatan makar dalam kasus itu tidak bisa dibuktikan karena tidak terdapat indikasi merusak dan mengarahkan massa dan hanya didasarkan pada laporan dan indikasi intelijen. "Itu masih sangat prematur dan tidak beralasan secara hukum jika disebut sebagai perbuatan makar," pungkasnya. (Zulkifli Songyanan)

 

BACA JUGA: