JAKARTA, GRESNEWS.COM — Dua pentolan tabloid Obor Rakyat Setyardi Budiono (43 tahun), dan Darmawan Sepriyosa (44 tahun), akhirnya dinyatakan sebagai terpidana oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (22/11). Ketua Majelis Hakim Sinung Hermawan menjatuhkan vonis terhadap pemimpin redaksi dan penulis tabloid Obor Rakyat tersebut dengan kurungan penjara masing-masing 8 bulan.

"Para terdakwa dinyatakan bersalah melanggar Pasal 310 Ayat (2) jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Erwin Indraputra, mengutip putusan hakim, saat dihubungi gresnews.com, Rabu, (23/11).

Erwin menambahan, sebelumnya JPU menuntut masing-masing terdakwa dengan hukum pidana 1 tahun kurangan penjara. Namun karena putusan hakim di bawah tuntutan, Erwin menyatakan pihaknya akan mengajukan banding. "Terdakwa langsung menyatakan banding. Kami juga akan menyatakan banding," sambung Erwin.

Setelah dua tahun proses penyidikan, sidang perdana kasus Obor Rakyat dimulai pada (17/5) lalu. Dalam dakwaan JPU, kedua terdakwa diduga telah mencemarkan nama baik Joko Widodo manakala dirinya masih berstatus Calon Presiden (Capres) dalam Pemilu 2014.

"Keduanya telah menuduhkan hal berkaitan dengan isu SARA melalui tabloid tersebut yang disebarkan secara masif di beberapa pondok pesantren di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura," kata JPU Zulkifli, (17/5) lalu.

Zulkifli menambahkan, penerbitan tabloid Obor Rakyat dilaksanakan oleh PT Mulia Kencana Semesta di Jalan AH Nasution No 73 Cipadung, Bandung, dengan kuantitas 281.250 eksemplar. Adapun dana yang dihabiskan untuk mencetak dan menyebarkan tabloid tersebut adalah Rp253, 12 juta dengan dua penyandang dana yakni Yanno Nunuhitu dan Zainal Asikin.

Tabloid Obor Rakyat dinilai sarat fitnah dan memenuhi unsur menebar kebencian lantaran memuat tulisan-tulisan dengan judul "Capres Boneka", "Jokowi Anak Tionghoa", "Putra Cina Asal Solo", "Ayah Jokowi adalah Oey Hong Liong", dan sebagainya. Jokowi sendiri membantah keras semua pemberitaan itu.

Meski awalnya sempat menjadi salah satu sorotan publik, pasca Jokowi naik menjadi presiden, kasus ini terkesan dilupakan. Edisi pertama Obor Rakyat muncul pada Mei 2014 dengan judul "Capres Boneka". Pada edisi tersebut, Jokowi ditampilkan sedang mencium tangan Megawati Soekarnoputri.

Tak sampai satu bulan, tabloid ini menjadi heboh di kalangan masyarakat. Beritanya dianggap sangat menyudutkan pihak Jokowi. Tak terima dengan bentuk kampanye semacam itu, Tim Advokasi Pasangan Calon Presiden-Calon Wakil Presiden Jokowi-JK melaporkan Obor Rakyat kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) pada 4 Juni 2014. Selang 10 hari kemudian, setelah Bawaslu melimpahkan laporan dan bukti-bukti adanya pencemaran nama baik kepada Bareskrim Mabes Polri, Setyardi dan Darmawan ditetapkan sebagai tersangka.

Berkas perkara kasus Obor Rakyat baru dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Agung pada Januari 2015. Namun demikian, persidangan baru dilangsungkan satu setengah tahun kemudian, tepatnya pada Selasa (17/5) lalu. Selama berstatus terdakwa, Setyardi dan Darmawan tidak ditahan lantaran pasal yang dikenakan JPU terhadap mereka ancaman penjaranya di bawah 5 tahun.

Pada sidang lanjutan yang digelar (9/6), Setyardi telah meminta maaf kepada Jokowi. "Saya menyadari bisa saja pemberitaan tabloid Obor Rakyat menimbulkan ketidaknyamanan atau mungkin kemarahan berbagai pihak. Tentu saja khususnya bagi Bapak Jokowi yang menjadi saksi pelapor, dari hati yang paling dalam saya meminta maaf sekiranya ada pemberitaan yang keliru dan kurang tepat," ucap Setyardi.

Terkait putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Hinca Panjaitan, Kuasa Hukum Setyardi Budiono dan Darmawan Sepriyosa, tak banyak memberi keterangan. "Kami akan banding," kata Hinca, Rabu (23/11).

JOKOWI TIDAK PERNAH HADIR — Meski menyatakan siap menerima putusan apa pun yang dijatuhkan majelis hakim, baik Setyardi maupun Darmawan menghendaki Presiden Jokowi untuk hadir di persidangan. Hal itu dinyatakan Setyardi dalam persidangan dengan agenda pembacaan pledoi yang digelar di PN Jakarta Pusat, Senin (14/11).

Menurut keduanya, jika mereka dinilai menghina dan mencemarkan nama baik Jokowi, Jokowi harus dihadirkan langsung di persidangan untuk diminta keterangannya. "Bagi saya, bagaimana peradilan bisa mengukur sedalam apa sakit yang diderita, selebar apa luka yang telah menganga, atau separah apa harga diri yang telah terhina tulisan-tulisan kami di Obor Rakyat, tanpa hadirnya beliau untuk membuka fakta semua itu?" kata Setyardi, Senin (14/11).

Setyardi menambahkan, lantaran Jokowi sebagai korban tidak pernah hadir, maka yang terjadi di pengadilan lebih dekat kepada proses mereka-reka, dan persidangan berlangsung hanya dengan menerka fakta berdasar Berita Acara Pemeriksaan (BAP) semata. Setyardi mengatakan, ketidakhadiran Jokowi membuatnya berpikiran macam-macam.

"Haruskah saya berburuk sangka dan menafsirkannya sebagai ketidakpedulian saksi korban, yang kini seorang presiden, kepada nasib saya sebagai rakyatnya? Alangkah tinggi hati dan buruknya persangkaan saya bila itu tafsirnya," katanya.

Setyardi juga menyitir pendapat ahli pidana Chairul Huda yang dihadirkan oleh pihaknya. “Menurut Dr. Chairul Huda, seorang saksi korban seyogyanya harus datang dan didengar keterangannya di persidangan. Apa dan bagaimana yang ia rasakan, bagaimana ia menjelaskan, haruslah membuat segala syak, asumsi dan reka-reka hilang. Hingga yang ada kemudian adalah kejelasan dan terang benderang,” papar Setyardi.

Disebutkan Setyardi, pada persidangan sebelumnya Chairul Huda telah menyatakan dengan tegas bahwa ketika seseorang mengadukan dirinya dihina, tapi tak hadir dalam persidangan, maka orang itu sudah tak lagi menganggap ada masalah.

Terlepas dari perkara pencemaran nama baik yang menjerat duo pentolan tabloid Obor Rakyat di atas, Pakar Hukum Pidana sekaligus Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta Syaiful Bakhri mempunyai anggapan lain. Menurutnya, jika korban pencemaran nama baik tidak hadir di dalam persidangan maka hal itu bukanlah suatu persoalan. "Tidak ada masalah. Korban sudah diwakili Jaksa Penuntut Umum," kata Syaiful kepada gresnews.com, Rabu (23/11). (Gresnews.com/Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: