JAKARTA, GRESNEWS.COM — Masih ingat dengan Gloria Natapraja Hamel? mantan anggota pasukan pengibar bendera pusaka (paskibraka) yang batal "manggung" lantaran kewarganegaraannya dipersoalkan itu, ternyata masih meneruskan gugatannya atas Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Adalah ibu Gloria, Ira Hartini Natapraja Hamel yang membawa kasus kewarganegaraan Gloria ini ke Mahkamah Konstitusi.

Ira menggugat karena merasa hak konstitusinya dilanggar dengan adanya Pasal 41 UU Kewarganegaraan. Sebab dalam pasal itu diatur, kepada anak yang yang berusia di bawah 18 tahun atau belum menikah wajib melapor untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Ira menilai, pasal ini diskriminatif karena ada perbedaan, diskrimniasi antara ibu yang punya anak hasil perkawinan campuran sebelum tahun 2006 dan sesudah.

Berdasarkan pasal tersebut, anak hasil perkawinan campuran yang lahir sebelum 2006 harus mendaftar. Sedangkan yang setelah 2006 itu otomatis menjadi warga negara Indonesia atau bisa jadi akan dwi kewarganegaraan. "Persoalannya di mendaftar itu saja," kata Ira beberapa waktu lalu.

Pasal 41 yang dimaksudnya berbunyi sebagai berikut: "Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum Undang-undang ini diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang ini dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui pejabat atau perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan".

Ira mengaku kaget, ketika kewarganegaraan Gloria dipersoalkan. Pikirnya, Gloria yang belum berusia dewasa tidak akan ada masalah terkait status kewarganegaraannya. Jika sebelumnya ia tahu ada norma Pasal 41, Ira mengaku akan mengurus hal itu.

"Menurut saya UU 12/2006 itu sudah bagus. Tetapi frasa pembatasan 2006-2010 itu yang kita bahas. Di pembatasan itu kita harus mendaftarkan. Kalau memang orang yang mendaftar, kan tidak ada masalah," kata Ira.

Karena itu, dia tetap membawa masalah ini ke Mahkamah Konstitusi. Dalam persidangan yang berlangsung Rabu (26/10), majelis hakim MK mendengarkan keterangan pihak pemerintah dalam perkara ini. Pada persidangan tersebut, pihak pemerintah meminta agar MK menolak permohonan Ira. Diwakili Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemhumkam) Yunan Hilmy, pihak pemerintah beralasan, MK harus menolak permohonan itu lantaran para pemohon telah kehilangan objek permohonannya.

Dijelaskan Yunan, pasal yang diuji itu berlaku sejak 1 Agustus 2006 dan merupakan pasal peralihan. Pasal 41 UU Kewarganegaraan juga memberi batas waktu agar anak yang lahir dari kawin campur dan belum berusia 18 tahun atau belum menikah sebelum UU itu berlaku, mendaftarkan diri ke Kemenkumham paling lambat 1 Agustus 2010 agar memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Sementara, kasus Gloria, terjadi tahun 2016.

Yunan mengatakan, UU Kewarganegaraan mengharuskan pendaftaran dilakukan agar anak-anak tersebut mendapat status sebagai warganegara Indonesia, namun anak yang bersangkutan tetap dapat memutuskan berkewarganegaraan Indonesia atau memilih kewarganegaraan lain saat usianya menginjak 18 tahun. UU Kewarganegaraan yang baru, kata Yunan, sudah menganulir UU Kewarganegaraan sebelumnya, yakni UU No 62 Tahun 1958. Dalam UU yang lama memang diatur, jika anak tersebut tidak melakukan pendaftaran sebelum menginjak usia 18 tahun, maka kewarganegaraannya dianggap mengikuti kewarganegaraan sang ayah.

Dan dalam konteks uji materiil yang diajukan Ira, kata Yunan, pemerintah menyatakan pemohon telah kehilangan objek permohonannya karena pasal yang dikhawatirkan akan berlaku jika mereka tak mendaftar, sudah tidak berlaku. "Karena pasal yang dimohonkan kan sebenarnya sudah melindungi orang-orang yang lahir sebelum UU itu. Gloria lahir sebelum UU itu lahir. Saat UU itu ada, Gloria sudah diberi kesempatan untuk mendapat kesempatan hak menjadi warga negara ganda terbatas, sampai usia 18 tahun atau kawin, tapi tidak didaftarkan oleh orangtuanya. Oleh karena itu berarti sudah tidak ada permasalahan yang konstitusional," papar Yunan, saat ditemui gresnews.com sehabis persidangan, Rabu (26/10).

Yunan juga menyebut, pemerintah meminta MK menolak permohonan ibunda Gloria lantaran MK tidak punya kapasitas untuk membuat norma atau aturan baru. Disebutkan Yunan, pokok permohonan pemohon adalah menghendaki frasa "memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang ini dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan" dalam pasal 41 UU Kewarganegaraan diubah, diganti, atau dimaknai menjadi "adalah Warga Negara Indonesia".

Hal itu dinilai pemerintah sebagai upaya membuat norma baru. "Berdasar alasan di atas, pemerintah berpendapat adalah tepat jika Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima," kata Yunan di hadapan Majelis Hakim MK.

DISKRIMINATIF - Menanggapi argumen pemerintah itu, pihak Gloria mengatakan, norma yang berlaku pada Pasal 41 UU Kewarganegaraan tetap saja bersifat diskriminatif bagi dia dan orang tua yang punya anak dari hasil perkawinan campuran yang lahir sebelum UU tersebut berlaku. Pasalnya karena urusan "mendaftar" itulah, status kewarganegaraan Gloria dipersoalkan sehingga pada 17 Agustus lalu, Gloria gagal menjadi anggota Paskibra dalam upacara Peringatan HUT RI ke-71 lantaran dianggap sebagai Warga Negara Asing (Perancis).

Meski kemudian Gloria menjadi bagian dari tim penurun bendera, hingga saat ini Gloria masih dianggap berstatus sebagai WNA hingga dia berusia 18 tahun nanti. Ira mengaku, selaku seorang ibu yang memiliki anak dari hasil kawin campur telah dirugikan secara konstitusional. Ira sendiri menikah dengan Didier Hamel, warga negara Perancis, dan dikaruniai seorang putri bernama Gloria Natapradja Hamel yang lahir pada 1 Januari 2000.

Dalam persidangan sebelumnya, Kuasa Hukum Ira Fachmi Bachmid mengatakan bahwa ketentuan harus mendaftarkan diri ke instansi pemerintah tidak perlu diatur lagi dalam pasal tersebut karena sudah dibatasi di Pasal 6. "Itu sudah ada pembatasan manakala timbul dwi-kewarganegaraan. Tinggal memilih saja salah satu, apakah warga negara Indonesia atau warga negara orang tua satunya," kata Fahmi, Senin, (17/10) lalu.

Pasal 6 Ayat (1) UU Kewarganegaraan berbunyi: "Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i, dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya".

Fahmi juga menilai, ketentuan "mendaftarkan diri kepada menteri" dinilai menjadikan anak yang lahir dari kawin campur dan besar di Indonesia harus aktif mendaftarkan dirinya ke pejabat yang berwenang. "Padahal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, hal tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah," katanya.

Selain itu, keharusan mendaftarkan diri kepada menteri melalui pejabat atau perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 tahun setelah UU Kewarganegaraan diundangkan juga dianggap menimbulkan perbedaan perlakuan bagi anak dari perkawinan campuran, yang terlahir sejak UU Kewarganegaraan diundangkan.

Terkait hal ini, Yunan mengatakan, perubahan itu berlaku karena sebelumnya Indonesia menganut ´asas kebapakan´ dalam menentukan kewarganegaraan anak yang lahir dari hasil kawin campur. Sedang kini, yang dianut adalah ´asas tempat´, yakni kewarganegaraan seorang anak yang lahir dari hasil kawin campur ditentukan oleh tempat atau negara di mana anak itu lahir. Lantaran hal itulah semua anak kawin campur yang lahir di Indonesia, secara otomatis menjadi warga negara Indonesia sejak diberlakukannya UU No 12 Tahun 2006.

ASAS FICTIE - Asas Fictie (Fiksi)— Ira Hartini Natapradja Hamel menyebut bahwa dirinya tidak mendaftarkan Gloria ke Kemenkumham lantaran tidak mengetahui adanya norma Pasal 41 UU Kewarganegaraan. Hal itu pula yang menyebabkan Ira dianggap lalai hingga sang anak tidak bisa mendapat kewarganegaraan Indonesia, dan akhirnya dicoret dari Tim Paskibra HUT RI ke-71.

Namun demikian, ketidaktahuan Ira bukan alasan bagi Pemerintah untuk memberi pemakluman. Ditegaskan Yunan, sebagai negara hukum Indonesia menganut Asas Fictie atau Fiksi yakni asas yang menganggap semua orang tahu hukum (presumptio iures de iure) tanpa terkecuali.

"Indonesia kan negara besar. Biar ada kepastian hukum, setiap Undang-undang yang lahir, itu diundangkan. Makanya disebut diundangkan dalam perkara negara, agar mengikat. Dengan adanya pengundangan itu, semua orang dianggap tahu. Orang yang melakukan kesalahan meskipun tidak disengaja, itu dianggap sudah tahu. Itu Asas Fiksi," kata Yunan, kepada gresnews.com.

Meski begitu, Ira tidak serta merta menyetujui argumen pemerintah. Menurut Fachmi Bachmid, pemohon akan tetap memperjuangkan permohonannya dengan menghadirkan sejumlah saksi fakta dan ahli. Saksi fakta dihadirkan lantaran pemohon berpendapat banyak anak hasil kawin campur malah tidak memiliki kewarganegaraan, lantaran norma Pasal 41 UU Kewarganegaraan. "Nanti juga kan kita berlanjut. Insya Allah dari kelanjutan ini kita akan sama-sama terbuka. Ke mana jalannya, yang penting ada solusi dari ini semua," katanya.

Sementara, Ira kembali menegaskan, dirinya tidak tahu aturan untuk mendaftarkan anak hasil kawin campur agar sang anak memperoleh kewarganegaraan Indonesia hanya karena anaknya lahir sebelum UU itu berlaku tahun 2006. "Saya tidak tahu. Tapi kan tidak boleh tidak tahu. Ya itu masalahnya. Ya saya apa adanya, tidak tahu ya tidak tahu. Kalaupun tidak boleh, ya bagaimana mengetahuinya," kata Ira.

Ketidaktahuan Ira ini dinilai sebagai bukti minimnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah. Pihak Kemenkumham sendiri menegaskan, anak-anak yang lahir sebelum UU Kewarganegaraan berlaku dan mendaftarkan dirinya ke Kemenkumham agar mendapat status kewarganegaraan Indonesia, berjumlah cukup banyak, yaitu lebih dari 12 ribu orang.

Dengan data itu, pihak Kemenkumham seolah ingin mematahkan argumentasi Ira soal ketidaktahuannya. "Dari 2006 hingga tahun 2010 ada 12.807 anak hasil pernikahan campuran yang terdaftar di pemerintah," kata Agus, seorang staf Kemenkumham kepada gresnews.com, saat dirinya menemani Yunan Hilmy ke MK. (Gresnews.com/Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: