JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus kewarganegaraan ganda Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar bisa membawa beberapa dampak serius bagi pemerintah. Pertama, menyangkut segala kebijakan Arcandra sebagai menteri, khususnya soal perpanjangan izin ekspor konsentrat kepada Freeport Indonesia. Kedua, menyangkut dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan presiden jika isu itu benar.

Yang jelas, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly sudah membenarkan kalau Arcandra memang memegang paspor Amerika Serikat. Meski begitu, kata Laoly, Arcandra memang belum melepas paspor WNI-nya. Hanya saja, hal itu tetap menimbulkan masalah karena jika seseorang bersumpah setia untuk negara lain, otomatis status WNI-nya hilang karena Indonesia tak mengenal asas dwi-kewarganegaraan.

Arcandra sendiri dalam klarifikasinya tidak pernah menegaskan soal status paspor AS miliknya. Arcandra hanya menegaskan masih memiliki paspor Indonesia.

Meski begitu, menurut ahli hukum tata negara Refly Harun, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, status WNI Arcandra otomatis gugur karena berstatus WN Amerika Serikat. Proses prosedural seperti tertera dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 yang menyebut bahwa pencabutan status WNI harus diajukan oleh orang tersebut atau diwakilkan, tak menghilangkan ketentuan dalam undang-undang.

"Dari sisi undang-undang sudah jelas (Arcandra) kehilangan kewaganegaraan, prosedur otomatis mengikuti undang-undang, bukan membatalkan undang-undang," kata Refly, Senin (15/8).

Setelah diketahui Arcandra pernah memiliki paspor AS, proses pencabutan status WNI Arcandra harus dipercepat. "Karena secara prosedural (Arcandra) masih WNI, prosedur pencabutan status WNI inilah yang harus dipercepat," tambah Refly.

Hal senada juga disampaikan pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana. Dia mengatakan, jika Arcandra pernah atau telah mengangkat sumpah setia kepada Amerika Serikat maka sesuai Pasal 23 huruf (f) dan (h) UU Kewarganegaraan status WNI sang menteri hilang. "Jika itu positif, maka dia tidak memenuhi syarat menjadi menteri," kata Hikmahanto melalui pesan yang diterima gresnews.com, Minggu (14/8).

Dalam Pasal 23 UU Kewarganegaraan disebutkan beberapa hal yang akan menghilangkan status Warga Negara Indonesia, salah satunya, apabila secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut. Karena itu, mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya.

"Bagi seorang profesional dan telah lama bermukim di negara yang menjunjung tinggi integritas dan kejujuran sudah seharusnya Archandra menjawab dua pertanyaan di atas secara lugas," ujar Hikmahanto.

Apabila Archandra terbukti telah melakukan kedua hal yang telah disebutkan di awal dan kehilangan status WNI-nya, hal ini berakibat segala dokumen yang dimilikinya secara otomatis tidak berlaku lagi. Hal ini disebabkan karena Indonesia menganut prinsip kewarganegaraan tunggal.

Selain itu, dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara diatur bahwa untuk dapat diangkat menjadi menteri, seseorang harus memenuni persyaratan sebagai WNI sesuai Pasal 22 Ayat (2) huruf a. Apabila Menteri Arcandra terbukti memiliki kewarganegaraan asing, jabatan menteri yang disandangnya tidak berlaku dan dianggap tidak pernah ada.

Konsekuensi dari semua itu, kata Hikmahanto, maka setiap kebijakan yang dibuat Arcandra sebagai menteri harus dianggap tidak pernah ada. Misalnya, kebijakan memberikan perpanjangan izin ekspor konsentrat kepada PT Freeport Indonesia yang berasal dari Amerika. Perlu diketahui, sebelum masalah status kewarganegaraan Archandra muncul di publik, Arcandra telah mengeluarkan perpanjangan izin tersebut kepada PT Freeport.

Pemberian izin ini juga dikritik karena bertentangan dengan Pasal 170 UU Minerba yang melarang ekspor mineral yang belum diolah dan atau dimurnikan di dalam negeri. PT Freeport Indonesia sendiri belum menyelesaikan pembangunan pabrik pengolahan mineral (smelter) yang berlokasi di Gresik sehingga pemberian izin ini menuai banyak pertanyaan.

Status kewarganegaraan ganda Arcandra, jika tak segera dituntaskan juga bakal menimbulkan polemik baru soal Freeport. Pasalnya, kata Hikmahanto, Arcandra selaku menteri ESDM akan mengambil keputusan juga soal perpanjangan kontrak Freeport.

Meski kontrak tambang Freeport di Papua baru akan selesai pada 2021 mendatang, tetapi Freeport sudah menginginkan kepastian perpanjangan kontrak hingga 2041 dengan alasan tengah membangun smelter. Dalam situasi ini, kata Hikmahanto, posisi Arcandra akan sulit karena Freeport adalah perusahaan asal Amerika Serikat.

"Bila memenangkan perusahaan AS maka publik akan mengkaitkan kecurigaan terkait kewarganegaraan AS yang mungkin pernah dimiliki," ujarnya.

Terkait Freeport, Arcandra sendiri memang sudah memberikan sinyal positif. "Kami akan menjamin kepastian hukum Freeport. Kami akan berusaha sekuat tenaga," ungkap Arcandra, Jumat (29/7) lalu.

Arcandra menilai, semua yang berusaha di Indonesia, baik perusahaan asing maupun perusahaan dalam negeri, harus mengikuti peraturan yang berlaku. "Kami akan memastikan investor yang investasi dana di Indonesia itu berusaha atau melakukan bisnis sesuai perundangan dan peraturan yang berlaku," jelasnya.

HARUS SEGERA KLARIFIKASI - Terkait hal ini, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, persoalan penegasan kewarganegaraan Atcandra merupakan sesuatu yang fundamental. Pasalnya Arcandra memegang posisi strategis di sektor energi dan sumber daya alam. Karena itu harus ada klarifikasi menyeluruh soal ini.

"Harus ada klarifikasi menyeluruh, sekiranya Arcandra Tahar memilki kewarganegaraan Amerika Serikat, maka itu merupakan persoalan serius, dan implikasinya tidak dapat menjadi pejabat negara," kata Hasto kepada gresnews.com, Minggu (14/8).

Hasto menegaskan, PDIP selaku partai penyokong pemerintah juga mengingatkan, ketegangan di Timur Tengah, Laut China Selatan dan lain-lain tidak pernah terlepas dari upaya penguasaan sumber daya alam. "Demikian halnya di Indonesia, selalu ada pihak- pihak tertentu yang berkolaborasi dengan kepentingan asing untuk mencoba menguasai kekayaan Indonesia dengan segala cara," katanya.

Terlebih, dalam waktu dekat juga akan dilakukan negosiasi terhadap penguasaan blok-blok minyak, gas, batubara, dan berbagai mineral lainnya. Persoalan Freeport dipastikan mengundang berbagai kepentingan untuk masuk.

Para pembantu presiden, kata Hasto, harus paham untuk melindungi presiden dari berbagai pengaruh tersebut. Disinilah pentingnya nasionalisme bagi seluruh pembantu presiden. "Memiliki warga negara ganda akan merancukan dedikasi warga negara Indonesia terhadap bangsa dan negara," ujarnya.

Ia juga melihat ada pihak-pihak tertentu yang secara sengaja menempatkan presiden dalam posisi sulit sehingga tidak melakukan pengecekan dengan seksama ketika calon-calon menteri dibahas pada reshuffle II. PDIP meyakini, Presiden akan konsisten menjalankan perintah konstitusi dan melaksanakan UU Kewarganegaraan dan UU Kementerian Negara dengan selurus-lurusnya.

"Atas dasar tersebut, tindakan investigasi harus dijalankan untuk memastikan bahwa Arcandra memang tidak pernah memiliki kewarganegaraan Asing," sarannya.

IMPLIKASI SERIUS BAGI JOKOWI - Ucapan Hasto bahwa pengangkatan Arcandra sebagai menteri bisa menyulitkan Jokowi memang ada benarnya. Pasalnya, jika status kewarganegaraan ganda Arcandra benar, maka sebagai presiden, Jokowi pun bisa dinilai melanggar undang-undang, khususnya UU Kementerian Negara.

Komisioner Ombudsman Republik Indonesia La Ode Ida menilai, jika hal itu benar maka, Jokowi bisa dinilai telah melakukan pelanggaran serius. "Menjadi serius karena Presiden Jokowi telah mengangkat seseorang warga negara asing jadi pejabat publik. Itu suatu penghinaan terhadap bangsa dan negara Indonesia," ujarnya.

Karena itu, Jokowi harus segera mengklarifikasi persoalan ini. Sebaliknya, Arcandra juga harus jujur soal kewarganegaraannya. "Harus ada tim independen untuk mengusut kasus status Arcandra ini dan mengusut dengan basis informasi dan data yang sudah beredar, menelusuri hingga sampai ke AS. Para pejabat terkait ke keimigrasian juga tak boleh merahasiakan status atau dokumen Arcandra," ujarnya.

Terkait hal ini, menurut mantan anggota Komisi III DPR Djoko Edhi, Jokowi tak bisa berdalih kecolongan jika benar Arcandra memegang kewarganegaraan AS. Pasalnya, UU Kementerian Negara mengamanatkan Presiden selaku kepala negara langsung melakukan due diligence atau uji kelayakan dan kepatutan, untuk memastikan menteri tersebut layak ditempatkan pada posisinya termasuk soal kewarganegaraan. "Karena wawancara dilakukan sendiri oleh presiden," katanya.

Dalam proses itu, presiden pada pengantarnya akan menanyakan soal nama, umur, jenis kelamin, tempat lahir, warga negara, dan tempat tinggal sekarang. Karena itu tak mungkin presiden luput menanyakan status kewarganegaraan Arcandra yang sejak lama telah tinggal di AS. "Presiden Jokowi sudah lama kenal dan sering berbincang dengan Arcandra. Jadi sudah memahami problematika Arcandra," ujarnya. (dtc)

BACA JUGA: