JAKARTA, GRESNEWS.COM - Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah selesai dibahas DPR. Namun demikian sejumlah pihak menilai revisi UU ITE itu tidak memuaskan. Sebab Pasal 27 Ayat (3) yang selama ini dianggap sebagai momok dan pasal karet, masih tetap bercokol dan hanya dikurangi hukuman pidananya. Akibatnya kriminalisasi atas nama pencemaran nama baik masih akan menghantui netizen.

Direktur Satu Dunia, Firdaus Cahyadi, mengatakan hasil revisi UU ITE sangat jauh dari harapan. Hal itu disebabkan pasal pencemaran nama baik yang selama ini dianggap sebagai alat kriminalisasi terhadap netizen masih tetap ada, walaupun dipangkas masa hukumannya.

Dipertahankannya pasal karet ini, dinilai akan melunturkan semangat netizen untuk memberikan kritik yang membangun. Jangankan akan mendorong netizen untuk bersuara vokal, malah akan menjadi sasaran empuk kriminalisasi oleh pihak-pihak yang alergi terhadap kritik.

Bunyi Pasal 27 Ayat (3) UU ITE itu, "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."

Sedangkan bunyi Pasal 28 Ayat (2) UU ITE adalah: "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)."

"Jika dilihat dari kasus-kasus sebelumnya, pemaknaan pasal tersebut sangat subjektif di lapangan," ungkap Firdaus melalui pesan yang diterima gresnews.com, Jumat (2/9).

Tercemarnya atau rusaknya nama baik seseorang hanya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan. Dengan kata lain, korbanlah yang dapat menilai secara subjektif tentang konten atau bagian mana dari Informasi atau Dokumen Elektronik yang ia rasa telah menyerang kehormatan atau nama baiknya.

Sedangkan, untuk memberikan nilai objektif terhadap konten diperlukan pemahaman akan konteks. Mencakup gambaran mengenai suasana hati korban dan pelaku, maksud dan tujuan pelaku dalam mendiseminasi informasi, serta kepentingan-kepentingan yang ada di dalam penyebarluasan konten. Oleh karena itu, untuk memahami konteks di dalam konten diperlukan pendapat ahli, seperti ahli bahasa, ahli psikologi, dan ahli komunikasi.

Ia juga menyayangkan hasil revisi UU ITE yang sama sekali tidak menyentuh persoalan pengaturan perlindungan data pribadi. Padahal semula dirinya berharap RUU ITE juga menguatkan mandat pengaturan data pribadi di internet melalui UU. Selain itu proses pembahasan revisi UU ITE yang tertutup oleh DPR, semakin menguatkan sinyalemen bahwa publik ingin disingkirkan dalam proses pembahasan ini. "Hasilnya adalah revisi UU ITE yang antiklimaks," ujarnya.

Dalam draf revisi UU ITE ini, ancaman pidana penghinaan atau pencemaran nama baik diturunkan dari enam tahun penjara menjadi empat tahun. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan potensi tindak penahanan. Ancaman pidana atas ancaman kekerasan dan menakut-nakuti secara pribadi yang ada pada Pasal 29 juga diturunkan dari sebelumnya 12 tahun penjara menjadi emoat tahun. Untuk pidana penghinaan atau pencemaran nama baik masuk ke delik aduan.

Selain itu, ditegaskan bahwa ketentuan pidana penghinaan atau pencemaran nama baik pada UU ITE adalah merujuk pada Pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sedangkan untuk pidana pengancaman atau pemerasan akan dirujuk pada Pasal 368 dan Pasal 369 KUHP. Ketentuan penangkapan-penahanan serta penggeledahan-penyitaan diharmonisasikan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan yang terakhir dimasukkannya ketentuan cyber bullying atau perundungan di dunia siber sebagai pidana Pasal 29.

BANYAK TAFSIR - Sementara itu, Sukamta dari Komisi I DPR RI dan selaku anggota Panja RUU ITE membenarkan bahwa ketentuan pidana bagi pelaku pencemaran nama baik diubah dari sebelumnya enam tahun penjara menjadi maksimal empat tahun dengan delik aduan, yakni korban harus melakukan pelaporan. Menurutnya, alasan Komisi I menurunkan ancaman hukuman penjara maksimal hanya empat tahun adalah karena saat ini era media sosial. Sehingga terkadang orang mengirim pesan tidak dimaksudkan untuk mengancam, tapi hanya untuk bergurau.

Ia juga mengungkapkan selama delapan tahun pelaksanaan UU ITE yang lama, terdapat 138 kasus pencemaran nama baik. Sehingga  Komisi I DPR mendorong agar ketentuannya disesuaikan dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). "Itu nantinya masuk delik aduan, sebab kalau tanpa delik aduan itu nanti orang kirim SMS bisa dipenjara duluan, baru dinterogasi," ujar Sukamta di gedung DPR, Kamis (1/9).

Terkait banyaknya tafsir atas pasal pencemaran nama baik, ia pun mengusulkan agar kalimat yang tertera di Revisi UU ITE disamakan dengan KUHP dan dilakukan perubahan nama menjadi penghinaan dan fitnah, sehingga kosa kata itu jelas dan tidak lagi dapat ditafsir macam-macam.

Dalam UU ITE sebelumnya, ketentuan penghinaan dan pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 27 Ayat (3), sedangkan ketentuan SARA diatur dalam Pasal 28 Ayat (2). Berdasarkan Pasal 43 Ayat (1) UU ITE, delik-delik tersebut dapat dilaporkan kepada Penyidik POLRI atau kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil Informasi dan Transaksi Elektronik (PPNS ITE) Kementerian Komunikasi dan Informatika. Laporan kepada PPNS ITE juga dapat disampaikan melalui email [email protected] . Sanksi dapat dijatuhkan apabila pelaku memenuhi seluruh unsur dan telah melalui proses peradilan pidana.

Dalam UU ITE yang baru nanti, aparat hukum tidak bisa menahan tersangka penghinaan dan atau pencemaran nama baik. Hukuman hanya boleh dilakukan jika sudah ada keputusan pengadilan tetap. UU ITE yang baru juga mengatur Cyber Bulying atau menakut-nakuti dengan informasi elektronik sebagai ekstensi Pasal 29 yang lama.

Selain itu, penghapusan konten yang sudah terbukti mencemarkan nama seseorang atau right to be forgotten, menjadi salah satu yang masuk ke dalam RUU ITE. Jika nantinya ada seseorang yang dicemarkan nama baiknya dan yang mencemarkan itu terbukti bersalah oleh pengadilan maka konten yang sudah terlanjur ada di dunia maya itu akan di-unsociable. Pengadilan akan mengeluarkan perintah terhadap pemerintah untuk menghapus konten tersebut.

"Dengan demikian konten itu tak lagi bisa ditemukan di mesin pencari internet," ujarnya.

BACA JUGA: