JAKARTA, GRESNEWS.COM - Data terkait pengelolaan aset negara yang dibuka oleh Ombudsman Republik Indonesia (ORI) membuka kotak pandora buruknya pengelolaan aset negara. Anggota ORI Ahmad Alamsyah Saragih mengatakan, pendataan dan verifikasi aset di Direktorat Jendral Kekayaan Negara (DJKN), Kementerian Keuangan tidak berfungsi dengan optimal.

"Banyak kementerian, lembaga dan BUMN tidak memberikan data akurat mengenai aset negara yang digunakan oleh mereka. Kondisi tersebut diperburuk dengan model verifikasi oleh DJKN yang tak berfungsi baik," kata Ahmad, dalam keterangan tertulis yang diterima gresnews.com, Jumat (2/9).

"Sebagian aset hanya didaftarkan ke DJKN dengan verifikasi alakadar-nya bahkan kemungkinan verifikasi fisik tak dilakukan. Akibatnya ada kekayaan negara yang beralih ke pihak ketiga tanpa manfaat yang jelas bagi negara," tambahnya.

Ahmad menegaskan, beralihnya kekayaan negara ke pihak ketiga tanpa adanya manfaat nyata bagi negara merupakan cermin dari buruknya kinerja pemerintah dalam hal administrasi dan hukum. "Kondisi demikian sangat merugikan negara dan masyarakat sekaligus," terangnya.

ORI juga mencatat sejumlah fakta mengenai lemahnya pengawasan DJKN terhadap perkara-perkara yang menjadi tanggungjawabnya. Fakta-fakta tersebut, misalnya, adanya tanah di kawasan HGU PTPN II dan IV yang sudah berubah menjadi properti milik swasta dan tak tercatat di daftar kekayaan negara.

Untuk kasus tanah PTPN II, hingga kini penyelesaiannya masih belum jelas. Kasus ini bermula ketika pihak PTPN II mengeluarkan lahan seluas 5873,06 hektare dari HGU milik PTPN II berdasarkan SK Kepala BPN No.42 tahun 2002. Lahan yang dilepas itu, tadinya akan diperuntukkan bagi rakyat seluas 1.377,12 hektare.

Kemudian ada juga untuk lahan garapan rakyat melalui penguasaan secara fisik seluas 546,12 Ha, perumahan pensiunan karyawan seluas 558,35 Ha, dan terkena Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RUTRWK) yang dikuasai rakyat atau PTPN II seluas 2.641,47 Ha, penghargaan masyarakat adat etnis Melayu seluas 450 Ha, serta pengembangan kampus USU yang sudah ada hak pakai seluas 300 Ha.

Hanya setelah dilepaskan, belakanga tanah itu malah dikuasai pihak swasta. Lahan itu diantaranya dikuasai PT Villa Indah Lestari di Desa Mariendal I, Dusun 19 Pasar IV Desa Klambir V. Ada juga lahan yang dikuasai PT Bangun Graha Lestari di desa Selambo. PT Graha Metropolitan (PT. Agung Cemara Realty) di desa Helvetia Dusun VI Kecamatan saunggal, SKT dan PT Indo Palapa serta PT Anugerah Multi Sumatera di Desa Turin Tunggal. Warga yang menempati lahan itupun kerap terlibat konflik dengan pengembang.  

Itu baru satu contoh terkait betapa mudahnya aset berupa tanah milik negara bisa beralih begitu saja ke pihak swasta. Belum lagi masalah kekacauan administrasi pendataan tanah. Kacaunya administrasi ini sala satunya memakan korban seorang veteran yang tak kunjung berhasil memperoleh sertifikat tanah yang sudah menjadi haknya.

Pasalnya karena pihak TNI AD telah mendaftarkan aset tanah milik sang veteran ke DJKN. Parahnya, pendaftaran itu hanya dilakukan dengan menggunakan facimile tanpa dokumen pendukung. Padahal, sang veteran telah memenangkan gugatan yang ia ajukan di pengadilan. Dengan kata lain, sang veteran tercatat memiliki dokumen berkekuatan hukum.

Hal serupa juga terjadi di Bandung dimana PT KAI secara sepihak mengerahkan aparat demi menggusur masyarakat di kawasan Jalan Stasiun Timur. Mereka beralasan, masyarakat tersebut menduduki tanah milik PT KAI. Sayangnya setelah dilakukan klarifikasi tanah tersebut tidak terdaftar sebagai kekayaan negara milik PT KAI.

RENTAN KONFLIK AGRARIA - Lemahnya pengelolaan aset negara oleh DJKN ini, kata Ahmad, rentan sekali menjadi pemicu dan meruncingnya konflik agraria antara masyarakat dengan pihak negara maupun swasta. Artinya, buruknya catatan DJKN terkait pendataan aset kekayaan negara tidak hanya merugikan negara, namun merugikan semua pihak secara umum.

"Di kasus lain, beberapa pensiunan yang mengajukan kenaikan status kepemilikan rumah yang sebelumnya ditempati sebagai rumah dinas akhirnya terganjal meskipun sudah melakukan pembayaran ke instansi yang berwenang. Celakanya uang yang sudah dibayarkan tak bisa dikembalikan dengan alasan tak ada SOP di Perbendaharaan Negara untuk pengembalian uang tersebut," ujarnya.

Saat dikonfirmasi mengenai catatan buruk tersebut, Humas DJKN mengatakan bahwa pihaknya tidak mengetahui adanya informasi yang dikeluarkan ORI seminggu lalu itu. "Seharusnya mereka tahu karena sudah beberapa kali dipanggil ORI ketika ada kasus. Mungkin (mengatakan tidak tahu itu—red) khawatir salah ngomong saja. Atau yang respons adalah orang yang tak pernah berhubungan dengan Ombudsman," ujar Ahmad.

Sampai tulisan ini dibuat, pihak Humas DJKN yang telah diminta klarifikasi atas catatan ORI tersebut menyatakan bahwa pihaknya akan menyampaikan catatan tersebut kepada pimpinan. "Soal itu akan kami sampaikan dulu pada pimpinan. Jadi jawabannya nanti ya," ujar salah seorang staf Humas DJKN yang tak mau disebutkan namanya kepada gresnews.com (2/9).

Menanggapi catatan ORI soal buruknya tata kelola aset negara itu, pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis sepakat menyatakan kinerja DJKN buruk. "Tidak ada kata lain kecuali mengatakan buruk," kata Margarito, Jumat (2/9).

Namun demikian, Margarito menilai, melempar tanggungjawab peningkatan kinerja DJKN kepada Kementerian Keuangan semata juga bukan tindakan yang tepat. "Perlu dilakukan pembenahan dari atas. Instruksinya mesti langsung dari Presiden," tambahnya.

Pernyataan Margarito didasarkan pada fakta, cakupan wilayah kerja DJKN di lapangan merupakan cakupan yang lintas sektor. PTPN misalnya, berada di bawah kendali Kementerian BUMN. Dalam konteks ini, kedudukan DJKN yang berada di bawah Kementerian Keuangan tentu tidak selamanya seiring sejalan dengan berbagai aturan yang dikeluarkan Kementerian BUMN.

Atas hal itulah koordinasi antarsektor diharapkan dapat mendongkrak kinerja DJKN ke depannya. "Jika kinerjanya bagus dampak ke rakyatnya juga jadi bagus. Pendapatan negara juga meningkat," kata Margarito. (Gresnews.com/Zulkifli Songyanan

BACA JUGA: