JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengelolaan aset-aset milik negara sangat buruk hingga rentan disalahgunakan. Seorang pegawai negeri sipil (PNS) bernama Hubsi Waris selaku PNS Ditjen Kekayaan negara Kanwil Jakarta akhirnya harus meringkuk di dalam penjara. Hubsi disangka atas dugaan korupsi pengelolaan aset eks PT Perusahaan Pengelolaan Asset (PPA) pada Ditjen Kekayaan Negara Kemenkeu periode 2010-2015.

Kejaksaan Agung menerbitkan Surat perintah dimulainya penyidikan (Sprindik) Print-08/F.2/F.1/02/2016 tertanggal 12 Febuari 2016 dengan menetapkan dua orang tersangka. Mereka adalah Iwan Goatama selaku swasta dan Hubsi Waris selaku PNS Ditjen Kekayaan negara Kanwil Jakarta.

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Arminsyah mengatakan tersangka Husbi Waris merupakan PNS yang menjabat sebagi Kabid Piutang Negara Kanwil VII Ditjen Kekayaan Negara DKI Jakarta telah menyewakan aset negara eks PT PPA baik tanah maupun bangunan ke pihak swasta yakni tersangka Iwan Goutama Gouw selama 5 tahun.

"Dana yang disetorkan penyewa selama 5 tahun sekitar Rp 5,2 miliar," katanya di Kejaksaan Agung Jakarta, Rabu (20/7).

Padahal, kata Arminsyah, Kementerian Keuangan tidak pernah mengeluarkan kontrak sewa menyewa atas aset negera eks PT PPA yang berada dibawah pengawasan tersangka Husbi Waris tersebut.

"Tersangka Husbi telah menerima uang sekitar Rp 500 juta sebagai fee pengondisian mengatur lelang aset eks PT PPA," jelasnya.

Atas perbuatannya, lanjut Arminsyah, negara dirugikan sekitar Rp 13 miliar. Untuk mempercepat pemberkasan kedua tersangka telah dilakukan penahanan oleh penyidik.

"Hari ini kedua tersangka ditahan selama 20 hari kedepan di rutan Salemba cabang Kejagung, ini untuk mencegah tersangka melarikan diri, menghilangkan barang bukti,"‎ kata Armin.

MAFIA LELANG - Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Kemenkeu Hadiyanto mengakui adanya keberadaan mafia pelelangan aset-aset negara. Namun sayangnya, mafia ini sulit diberantas karena mereka menjalankan aksinya dengan memanfaatkan celah prosedur lelang. Mafia lelang ini, merugikan negara karena membuat hasil lelang menjadi tak maksimal.

Salah satu modus yang biasa dilakukan oleh para mafia tersebut adalah dengan cara berkongsi dengan peserta lelang yang lain. Mereka lalu memainkan harga dalam penentuan harga lelang.

Misalnya pemerintah akan melelang aset jaminan senilai Rp 80 juta, dengan target pemasukan minimal Rp 85 juta. Tapi karena ada mafia kongsian itu nilai yang seharusnya bisa dapat Rp 85 juta hanya Rp 81 juta.

Nah, agar praktik ini tidak tumbuh subur, Ditjen Kekayaan Negara mengaku tidak akan berdiam diri. Mereka bakal membuat proses lelang yang lebih baik serta akan menindak tegas jika ada pegawai mereka yang ikut terlibat dalam proses penentuan harga lelang.

Hadiyanto juga mengancam akan memberi sanksi tegas bagi bawahannya yang terlibat praktik mafia lelang. Menurut dia, tidak alasan bagi pegawai Ditjen Kekayaan Negara terlibat dalam aksi mafia lelang karena sudah menikmati reformasi birokrasi berupa peningkatan remunerasi.

Untuk mengurangi praktik tak terpuji ini, pemerintah tengah menyusun dan menyempurnakan undang-undang tentang lelang, menyempurnakan sistem dan prosedur lelang, mengembangkan peran serta swasta dalam pelayanan lelang non eksekusi, serta penerapan teknologi dalam pelaksanaan lelang.

Hadiyanto menilai, berbagai langkah itu ditempuh agar ada reformasi di bidang lelang sehingga hasil lelang bisa lebih optimal memberikan penerimaan ke negara. Mafia lelang aset negara ini sulit diidentifikasi dan tak bisa dikontrol. Sebab, secara formal para mafia lelang tersebut memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga pernah mengungkap persoalan karut marutnya pengelolaan aset milik negara. BPK sendiri pernah memeriksa manajemen aset pada 19 departemen/lembaga pada 2007 silam. Nilai aset itu sebesar Rp109,33 triliun. Cakupan audit senilai Rp55,09 triliun. Nilai temuan audit minimal sebesar Rp19,27 triliun.

BPK juga memeriksa 52 pemerintah daerah. Nilai aset daerah sebesar Rp54,07 triliun, dengan cakupan pemeriksaan Rp46,68 triliun. Nilai temuan pemeriksaan minimal sebesar Rp18,49 triliun.

BPK menemukan masalah signifikan dalam manajemen aset negara. Ternyata, terdapat permasalahan administrasi/pencatatan dan bukti hak yang sah atas aset yang dikuasai negara. Celakanya, hal itu terjadi pada setiap institusi. Entah di level pusat maupun tingkat daerah.

Kondisi seperti ini, terutama pada penertiban pencatatan penguasaan hak atas tanah, dapat membawa beberapa dampak. Misalnya, aset yang tak terjaga rawan terhadap penyalahgunaan, pengakuan hak oleh pihak lain. Serta, jika terjadi sengketa di kemudian hari, dapat merugikan negara/daerah.

 

BACA JUGA: