JAKARTA, GRESNEWS.COM - Indonesia hingga kini belum memiliki aturan normatif yang mengatur perampasan aset bila dilakukan tanpa ada pemidanaan terhadap pemilik atau penguasa aset yang diduga dari hasil kejahatan. Tak pelak, penegak hukum kesulitan merampas aset-aset koruptor yang kabur ke luar negeri.

Sejumlah buronan yang kabur ke luar negeri nyata-nyata memiliki beragam aset yang di luar negeri. Bahkan aset tersebut dapat berkembang biak. Sebut saja terpidana kasus penyaluran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Samadikun Hartono punya banyak aset di Singapura. Lain lagi buronan kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra yang memiliki bisnis di Papua Nugini. Indonesia sulit merampas aset mereka karena belum ada aturan yang mengatur soal perampasan aset tersebut.

Aturan yang ada saat ini baru berupa Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Perampasan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Lain. Perma ini lahir untuk mengisi kekosongan hukum positif perampasan aset-aset yang berasal atau terkait tindak pidana.

Dari kasus tersebut maka rancangan Undang-undang Perampasan Aset (RUU PA) penting untuk segera diundangkan untuk mendukung kerja penegak hukum mengembalikan kerugian negara atas suatu kejahatan, baik korupsi, narkoba dan ilegal loging dan lainnya. RUU PA ini telah masuk program legislasi nasional (Prolegnas) di DPR meskipun belum masuk Prolegnas prioritas.

Dalam sebuah diskusi Sosialisasi RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana beberapa waktu lalu, Kepala Pusat Pemilihan Aset Kejaksaan Agung Loeke Larasati Agoestina menyampaikan penting menghadirkan RUU PA ini. Khususnya perampasan aset tanpa pemidanaan. Aset yang sudah ada di dakwaan pengaturannya masuk di UU Tipikor dan TPPU. Namun itu belum berlaku untuk semua perkara pidana.

"Sehingga kebutuhan adanya RUU PA menjadi semakin urgen," terang Loeke.

Ada sejumlah hal yang perlu dimasukan dalam ketentuan RUU PA ini. Pada Pasal 1, terkait ruang lingkup RUU PA pada ayat 1 disebutkan bahwa Aset adalah semua benda bergerak atau tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud dan punya nilai ekonomis. Pasal 2 yang dimaksud Aset Tindak Pidana adalah aset yang diperoleh atau diduga berasal dari tindak pidana atau kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang diduga terkait dengan tindak pidana.

"Menurut hemat kami, pada Pasal 1 di atas perlu dimasukkan aset sebagai sarana melakukan tindak pidana dan juga aset yang terkait pidana. Kedua jenis aset akan melengkapi ruang lingkupnya," kata Loeke.

Loeke juga melihat ada yang menarik dan baru dari RUU PA. Yakni masuknya ketentuan Pasal 13 yang menjangkau perbedaan penghasilan seseorang atau dikenal istilah illicit enrichment atau unexplained wealth (memperkaya diri secara tidak sah). Hal ini diterapkan untuk kejahatan tertentu seperti korupsi dan narkoba. Dan ini belum ada ketentuan pidana serupa dalam hukum positif di Indonesia.

Namun yang krusial nantinya adalah akan dibentuknya sebuah lembaga baru untuk menangani masalah aset. Selain itu perlu ditegaskan siapa yang bertanggung jawab atas lembaga ini.

Lembaga yang diusulkan adalah Badan Perampasan Aset (BPA). Loeke lebih setuju jika dengan nama Perampasan bukan Pengelolaan. Pengelolaan aset adalah bagian dari perampasan aset, sebaliknya perampasan aset bukan bagian pengelolaan aset. Dengan demikian, letak BPA di bawah Kementerian Keuangan tidak tepat. Kejaksaan Agung dinilai paling tepat untuk membawahi BPA ini.

"Terlepas dari berbagai alternatif siapa yang paling tepat bertanggung jawab terhadap lembaga BPA, terdapat ketentuan dalam RUU PA yang tidak perlu apabila BPA berada di bawah Jaksa Agung," jelas Loeke.

TEROBOSAN HUKUM - Jika RUU PA disahkan nanti, aturan di dalamnya memungkinkan penegak hukum untuk langsung menyita harta mencurigakan para penyelenggara negara. Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) M. Yusuf menilai undang-undang itu dapat menjadi terobosan, diperlukan untuk mempertanyakan asal usul harta tidak wajar atau rekening gendut yang dimiliki penyelenggara negara.

Yusuf melanjutkan, undang-undang ini tidak akan menyasar pada hukuman penjara. Tapi setiap orang yang memiliki kekayaan yang tidak wajar di luar penghasilannya, maka dia harus menjelaskan asal-usul kekayaannya. Kalau tidak dapat menjelaskan muasal kekayaannya maka dia tidak dipenjara, tapi hartanya dirampas negara.

Sementara anggota Komisi III DPR, Masinton Pasaribu, mendukung wewenang negara dapat diperkuat dalam perampasan aset tindak pidana luar biasa. Bagi Masinton, diperlukan sebuah dasar hukum agar aset-aset terkait tindak pidana secara cepat dipastikan berada di bawah kekuasaan negara, sampai ada keputusan hukum yang sah.

"Sebagai anggota Komisi III, saya menilai RUU itu memang perlu dikerjakan. Karena negara tak boleh kalah terhadap pelaku kejahatan. Apalagi kejahatan luar biasa seperti terorisme, narkoba, dan korupsi," tegasnya.

Lebih lanjut, Masinton mengatakan, UU tersebut juga bagus agar ada yang menjaga barang sitaan atau rampasan. Sebab, belajar dari pengalaman selama ini, banyak barang sitaan yang di-handle masing-masing lembaga hukum, namun tanpa transparansi yang jelas ke depan publik.

"Misalnya, di Kejaksaan, itu tak pernah terbuka. Dengan UU ini, transparansinya juga bisa lebih terkontrol, publik bisa tahu. Bahkan, kabarnya ada perkara sudah diputus pengadilan, jaksa sebagai eksekutornya, kadang tak segera dieksekusi. Kalau seperti ini, nanti juga tidak optimal ke kas negaranya," kata dia.

Mantan Ketua Perumus RUU ini Romli Atmasasmita mengatakan jika RUU ini disahkan akan ada lembaga khusus yang mengelola seluruh aset nasional. Baik aset dari hasil kejahatan hingga aset yang menganggur, diperkirakan jumlahnya mencapai triliunan. Tentu saja banyak was-was dengan aturan ini maka tak heran jika RUU ini nasibnya masih belum diproses.

"Jumlahnya triliunan, banyak yang berkepentingan dalam RUU ini," kata Romli.

Menurut pakar hukum pidana ini, keberadaan RUU ini bagus ke depan jika dijalankan oleh orang yang benar. Jika tidak maka yang terjadi moral hazard. Selain itu dengan adanya lembaga khusus pengelola aset tesebut akan ketahuan berapa jumlah aset hasil rampasan yang ada sekarang.

Sebab saat ini tidak diketahui berapa jumlah aset hasil sitaan dan dimana barang bukti sebagai barang hasil rampasan kejahatan yang dikelola Kejagung maupun kepolisian. "Yang tahu mereka. Sekarang barang bukti Kejaksaan dan Polisi tidak jelas," kata Romli.

BACA JUGA: