JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tata kelola kesehatan masyarakat di Indonesia memang masih terlihat kacau. Belum selesai masyarakat dikagetkan dengan kasus peredaran vaksin palsu, kini lagi-lagi masyarakat dikejutkan dengan terungkapnya kasus kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan palsu.

Kasus tersebut mula-mula terungkap di wilayah Kabupaten Bandung. Kasus ini terkuak setelah salah satu rumah sakit Cibabat di Kabupaten Bandung, Jawa Barat mendekteksi barcode BPJS Kesehatan milik salah seorang calon pasien. Namun barcode itu tidak bisa terbaca. Barcode yang tidak terbaca ini membuat proses pembayaran tak bisa dilakukan.

Setelah diusut, belakangan diketahui bahwa kartu BPJS yang digunakan si pasien palsu. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Ade Komarudin pun menyatakan kegelisahannya atas terungkapnya kasus ini. "Ini sektor kesehatan semuanya kok palsu ya!" ujarnya, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (25/7).

Menurut Ade, banyaknya peredaran barang palsu di sektor kesehatan semisal vaksin, obat hingga kartu BPJS terjadi karena sektor kesehatan merupakan sektor empuk yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan bisnis. Banyak orang mencoba mencari untung dengan segala cara dari sektor kesehatan ketika masyarakat justru bergantung pada layanan di sektor ini.

"Ini memang tak dapat dipisahkan," kata Ade. Sebagai tindak lanjut, DPR berencana meminta Komisi IX DPR RI untuk menindaklanjuti kasus ini serta meminta pengawasaan lebih ketat dari lembaga-lembaga terkait. "Ini praktik-praktik pemalsuan semakin merajalela kita harus tekankan ini ke komisi terkait," katanya.

Sementara itu, dari hasil pengusutan kasus ini oleh Polres Cimahi, pihak kepolisian telah berhasil mengamankan seorang tersangka yaitu Ana Sumarna (42). Kapolres Cimahi AKBP Ade Ary Syam Indradi mengatakan tersangka melakukan modus penipuan pembuatan kartu palsu BPJS Kesehatan sejak satu tahun lalu atau tepatnya 14 Juli 2015. Kartu telah disebar tersangka ke empat desa yang berada di wilayah KBB, namun Ade belum menyebut nama-nama desa itu.

"Tindak pidana dilakukan tersangka yaitu penipuan dan atau pemalsuan dengan modus menawarkan kartu palsu BPJS Kesehatan. Motifnya mencari keuntungan dari para korban. Jadi tersangka ini mengaku bisa membantu warga yang kurang mampu untuk membuat kartu tersebut. Kita masih dalam perkara ini," ujar Ade, Senin (25/7).

Ade menyebut, tersangka Ana mengimingi-mingi sejumlah warga di KBB soal gratis iuran bulanan BPJS Kesehatan dengan syarat membayar Rp100 ribu per orang. Biaya tersebut berlaku untuk seluruh pihak keluarga. Ade menegaskan, kartu BPJS Kesehatan buatan tersangka itu palsu.

"Kartu ini bukan yang dikeluarkan oleh pihak BPJS secara resmi. Penelusuran kami, sementara ini tersangka mengaku sudah menyebar kartu tersebut ke 175 Kepala Keluarga (KK) dari 810 KK yang menjadi calon peserta BPJS Kesehatan," ucap Ade.

Guna memuluskan aksinya, tersangka terlebih dahulu tersangka mensosialisasikan kepada warga agar ikut kepesertaan BPJS melalui bantuannya. Ana pun mengaku-ngaku sebagai karyawan BPJS. "Warga diminta menyerahkan persyaratan fotokopi KTP, KK, foto pemohon dan uang sebesar 100 ribu rupiah. Setelah itu, tersangka mengaku akan mendaftarkan para calon peserta melalui sistem online dari website BPJS Kesehatan," tutur Ade.

Rupanya saat proses pendaftaran, sambung Ade, tidak semua tahapan dilalui oleh tersangka. Untuk meyakinkan para warga yang sudah mendaftar, tersangka mencetak sendiri kartu berlabel BPJS melalui file blanko Kartu BPJS kosong yang diubah dengan nama-nama peserta.

"Nomor peserta yang digunakan oleh tersangka dalam pembuatan kartu palsu ini dilakukan secara acak dan tidak sesuai dengan nomor kartu yang resmi," kata Ade.

Polisi menyatakan diperkirakan ada sekitar 800 KK yang menjadi korban laku lancung Ana ini. Ana ditangkap polisi di rumahnya, wilayah Kecamatan Cimahi Tengah, Kota Cimahi, pada Minggu (24/7). Tersangka dijerat Pasal 378 dan atau Pasal 263 KUHPidana. "Ancaman hukumannya di atas lima tahun penjara," ucap Ade.

SOSIALISASI KURANG - Menanggapi kasus peredaran kartu BPJS palsu ini, Menteri Kesehatan Nila Farid Moloek meminta agar sistem di BPJS Kesehatan diperbaiki seluruhnya, termasuk sistem pendaftaran. "Karena kartu itu yang keluarkan BPJS jadi kartu itu tidak bisa dipakai di rumah sakit karena barcode-nya tidak cocok jadi tentu kartunya ini yang jadi masalah," kata Nila sebelum menghadiri rapat koordinasi di Kementerian Koordinator PMK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (26/7)

Terkait korban kartu BPJS Kesehatan palsu, Menkes mengaku telah berkoordinasi dengan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris. "Saya sudah langsung kontak by email ke Pak Fachmi dan sudah dijawab dan kita kemarin sudah ketemu," kata Menkes Nila.

Menkes juga mengimbau BPJS Kesehatan untuk segera menyelesaikan masalah kartu palsu tersebut termasuk kemungkinan adanya calo-calo lain pembuat kartu palsu. "Ya harus diperbaiki dong, nggak bisa gitu dong, karena ini kan masalah uang, masalah iuran jadi harus segera diperbaiki," tegas Menkes.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menilai sosialisasi ke masyarakat harusnya lebih kuat agar hal seperti ini tidak terjadi. "Begini, jadi BPJS itu ada ketenagakerjaan, ada kesehatan. Dari BPJS Kesehatan ada yang mandiri, ada yang iurannya dibayar oleh pemerintah, jadi harus dibedakan," kata Khofifah di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (26/7).

Di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, ternyata ada oknum-oknum yang memanfaatkan ketidakpahaman masyarakat ini. Mensos menuturkan bahwa warga diiming-imingi dengan kartu BPJS sekali bayar tanpa iuran.

"Sosialisasinya harus dikuatkan. Kalau dia eligible dapat KIS (Kartu Indonesia Sehat) dari pemerintah berarti gratis. Kalau bisa mandiri, sebaiknya bayarkan mandiri dan iurannya tiap bulan," ungkapnya.

Oleh sebab itu, kantor perwakilan BPJS perlu ada di tiap daerah. Dengan demikian, masyarakat gampang mendapatkan informasi dan tidak memperoleh yang palsu. "Masing-masing daerah harusnya punya kantor perwakilan BPJS. Sekarang belum semua punya. Seyogyanya punya," ujar Khofifah.

Sebelumnya, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris juga telah mengimbau agar masyarakat tidak menggunakan jasa pihak ketiga yang tidak jelas atau calo dalam pendaftaran program BPJS Kesehatan. "Ini dimanfaatkan dan digerogoti keuangan negara. Itu yang kami cegah. Namun di sisi lain, kami ingin masyarakat jangan mau ditipu oleh oknum yang tidak bertanggung jawab," kata Fachmi.

Fachmi mengaku imbauan seperti itu sudah disampaikan di seluruh kantor cabang. Ke depan, dia tidak ingin kasus yang sama terulang. "Tentu kami sampaikan imbauan ya di seluruh kantor cabang kami ditulis untuk tidak berhubungan dengan calo. Karena akses kami buka di kantor cabang kami buka dan online kami buka, jadi kami ingin mengedukasi masyarakat jangan lagi memanfaatkan oknum tertentu untuk mencetak atau menjadi peserta BPJS," ujar Fachmi.

PROSES PENDAFTARAN RUMIT - Sementara itu, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, merebaknya kasus mulai dari vaksi palsu hingga kartu BPJS Kesehatan palsu merupakan pukulan telak bagi masyarakat. "Kita tertipu lagi setelah vaksin palsu sejak tahun 2003," katanya kepada gresnews.com, Selasa (26/7).

Ia menyatakan, pemalsuan kartu BPJS Kesehatan terjadi sebagai akibat dari sistem dan proses pendaftaran yang selama ini dikeluhkan masyarakat. Terdapat beberapa faktor yang memicu terjadinya pemalsuan kartu BPJS Kesehatan. Pertama, karena kesehatan merupakan hal utama dan biaya kesehatan yang mahal.

Karena itu, rakyat antusias untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan. "Kedua, antusiasme rakyat untuk menjadi peserta BPJS tidak diimbangi oleh pengetahuan rakyat yang mumpuni tentang JKN dan BPJS Kesehatan," katanya.

Ia juga mengritik pemerintah dan BPJS Kesehatan yang masih minim melakukan proses sosialisasi Program JKN dan BPJS Kesehatan kepada seluruh rakyat. Termasuk di dalamnya proses sosialisasi tentang tata cara pendaftaran kepesertaan di BPJS Kesehatan. "Proses sosialisasi memang pernah dilakukan tetapi tidak berkesinambungan," ujarnya.

Minimnya proses sosialisasi ini menyebabkan ketikdaktahuan rakyat bagaimana mendaftarkan dirinya menjadi peserta BPJS Kesehatan. Ditambah minimnya pengetahuan rakyat tentang hak-haknya sebagai peserta program JKN.

Idealnya proses sosialisasi ini terus dilakukan oleh pemerintah dan BPJS Kesehatan mengingat saat ini masih banyak terjadi persoalan di rumah sakit maupun di kantor BPJS Kesehatan ketika melakukan pendaftaran.
 
Ketiga, lokasi pendaftaran peserta Program JKN yang umumnya dilakukan di kantor-kantor BPJS Kesehatan, yang umumnya juga ada di tingkat kabupaten/kota membuat rakyat yang bertempat tinggal jauh dari ibukota Kabupaten/Kota mengalami kesulitan untuk mendaftar. Apalagi saat ini pendaftaran tidak boleh dilakukan oleh orang yang tidak ada tercantum di Kartu Keluarga.

"Dan ketika mendaftar tidak jarang terjadi penumpukkan dan antrean pendaftar yang cukup panjang sehingga membuat calon peserta lama menunggu dan mengalami kelelahan," ujarnya.
 
Selain itu, adanya Peraturan Direksi BPJS Kesehatan no. 1/2015 yang mensyaratkan masa aktivasi 14 hari menyebabkan masyarakat harus datang kembali untuk membayar dan mendapatkan kartu BPJS Kesehatan. "Kan tidak semua rakyat sudah melek teknologi informasi sehingga mampu mendaftar via on line ke BPJS Kesehatan, juga membayar di ATM," ujar Timboel.
 
Kesulitan mendaftar ini tak hanya dialami individu, tetapi juga perusahaan. Menurut Timboel, sistem Enrty Data Badan Usaha (EDABU) kerap kali dikeluhkan oleh para personalia yang menginput data pekerja ke sistem BPJS Kesehatan. "Permasalahan di atas maka dimanfaatkan oknum-oknum dengan menawarkan jasa pembuatan kartu BPJS Kesehatan," katanya.

Kasus kartu palsu BPJS Kesehatan ini baginya harus bisa memicu pemerintah dan BPJS Kesehatan untuk lebih kreatif menciptakan sistem pendaftaran yang lebih mudah dan lebih terjangkau oleh masyarakat. Ia mengusulkan kantor pos dan puskesmas seharusnya bisa dijadikan tempat pendaftaran peserta BPJS Kesehatan sehingga masyarakat dengan mudah dan murah menjangkaunya.

"Jangan lupa untuk terus sosialisasi tentang JKN dan saya juga mengusulkan agar Peraturan Direksi BPJS Kesehatan No. 1 Tahun 2015 yang mensyaratkan masa aktivasi 14 hari bisa segera dicabut," katanya. (dtc)

BACA JUGA: