JAKARTA, GRESNEWS.COM - Bentrokan antara aparat satuan polisi pamong praja (Satpol PP) dengan pedagang kaki lima (PKL) kembali terjadi. Kali ini di Bandung Jawa Barat, dimana pada pedagang yang menolak ditertibkan melakukan perlawanan. Para PKL menolak dilarang berjualan di kawasan alun-alun Bandung dan tetap akan nekat berjualan.

Koordinator PKL kawasan Alun-alun Bandung, Ferry Sobari mengaku tidak peduli ancaman penertiban dari petugas Satpol PP Kota Bandung. Ia bersama para pedagang akan tetap menjajakan dagangannya di zona terlarang. "Di sini (Dalem Kaum, Kepatihan, Dewi Sartika) ada sekitar 1.000 pedagang orang yang mencari nafkah. Kami hanya minta kelonggaran empat hari kok, enggak lebih. Kalau enggak boleh, ya kami akan tetap berjualan," tegas Ferry, beberapa waktu lalu.

Alasan para pedagang tetap bertahan, ujar dia, tak lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan Lebaran. Kondisi para pedagang yang selama ini ditertibkan terus menerus membuat mereka kehilangan pembeli.

Sebelumnya beberapa PKL juga terlibat aksi anarkistis, melempari markas Satpol PP Bandung dengan batu. Pelemparan itu merupakan buntut dari aksi Satpol PP menertibkan dagangan mereka di Jalan Dalem Kaum. Polisi sudah mengamankan 10 PKL yang diduga sebagai pelaku pelemparan. Motif sementara perusakan karena para Pedagang Kaki Lima (PKL) tidak terima dagangannya ditertibkan.

"Sebelum kejadian, Satpol PP menertibkan dagangan mereka. PKL ada yang tidak terima. Kemudian mendatangi kantor Satpol PP dan ingin mengambil kembali barang dagangan," ujar Kapolrestabes Bandung Kombes Pol Winarto di Mapolrestabes Bandung, Jalan Jawa, Senin (4/7).

PKL kemudian menyerang Mako Satpol PP. Selain melempari markas dengan batu, pelaku juga merusak sejumlah fasilitas umum seperti tenda dan kursi yang ada di sekitar lokasi. "Saat kejadian ada 50 pelaku yang menyerang Mako Satpol PP. Tapi hanya 10 yang dinilai terbukti melakukan perusakan," kata Winarto.

Menilai kerapnya aksi bentrok antara PKL dengan aparat penertiban ini, Ketua Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) Ali Mahsun mengatakan, jika petugas atau pemerintah kota memandang PKL dari sudut pandang pengganggu ketertiban, penganggu ruang publik, yang selalu merusak kebersihan, keindahan dan kerapihan kota, maka persoala PKL tak akan pernah bisa selesai di setiap daerah.

Apalagi, kata Ali, PKL sering kali menjadi target utama kebijakan–kebijakan pemerintah kota seperti, penggusuran dan relokasi. Semestinya, kata dia, dalam menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah lebih mementingkan sudut pandang menjamin kesejahteraan rakyatnya. Bukan berpihak kepada pengusaha pemodal besar.

"Masalah ini sudah sangat kompleks karena PKL menghadapi dilema mulai dari pertentangan kepentingan hidup dan kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan berbenturan dan menimbulkan konflik kedua pihak," kata Ali kepada gresnews.com, Minggu (10/7).

Ali menegaskan, pada umumnya para PKL tidak memiliki keahlihan khsusus sehingga mengharuskan mereka bertahan dalam suatu kondisi yang memprihatinkan. Selain itu banyak kendala yang harus dihadapi dari kurangnya modal, tempat berjualan yang tidak menentu, kemudian ditambah dengan berbagai aturan misalnya, adanya perda yang melarang keberadaan mereka.

Akibatnya PKL sering merasa dianaktirikan oleh pemerintah, sementara pemodal besar dianakemaskan dengan mudahnya izin pendirian mall. Eratnya hubungan pemerintah kota dengan pemodal besar sudah cukup menimbulkan kecemburuan para PKL sehingga kadang diluapkan lewat jalan kekerasan ketika ditertibkan. "Pemerintah seolah-olah telah mengabaikan para pedagang kaki lima demi kepentingan pemilik modal besar," tegasnya.

Padahal, di sisi lain, keberadaan PKL bagi sebuah kota sebenarnya bisa membawa dampak positif. Salah satunya, kata Ali, dari segi ekonomi adanya PKL dapat menyerap tenaga kerja yang dapat membantu menggerakkan perekonomian. Dari sisi sosial, keberadaan PKL bisa menghidupkan maupun meramaikan suasana kota dan menjadi daya tarik sendiri jika ditata dengan baik menjadi kawasan wisata.

"Ini bisa membantu pertumbuhan ekonomi di semua daerah. Bahkan dalam segi budaya PKL membantu suatu kota menarik wisatawan lokal ataupun mancanegara," kata Ali.

JANGAN ASAL GUSUR - Dengan pendekatan yang lebih manusiawi terhadap PKL, Ali berharap, keberadaan PKL tidak lagi menjadi musuh pemerintah maupun publik terkait penggunaan ruang publik untuk berdagang. Menurutnya, pemerintah seharusnya merangkul PKL dan memberdayakan PKL untuk membantu pertumbuhan ekonomi di suatu daerah.

Dari situ PKL bisa menghasilkan uang dan membayar pajak untuk membantu pendapatan daerah. "PKL mau membayar pajak berapapun diminta asalkan ditempatkan di lokasi yang layak dan strategis," katanya.

Yang jadi masalah, kata Ali, PKL selama ini ditertibkan dan ditempatkan di wilayah yang sepi pembeli, akibatnya seolah-olah PKL tak mau membayar pajak, padahal itu terjadi karena arus perdagangan tak berjalan. "Jadi seakan PKL tidak mampu membayar pajak serta tidak mempunyai kontribusi besar terhadap ekonomi negara," ujar Ali.

Tak hanya itu, kata Ali, jika pemerintah memiliki komitmen yang kuat menyejahterakan masyarakatnya, harusnya pemerintah menyiapkan dana khsusus sebagai jaminan PKL yang diigusur untuk memulai usaha baru ditempat lain, mengingat PKL yang digusur tidak mendapatkan ganti rugi karena dianggap ilegal. Tetapi kerap oknum Satuan Polisi Pamong Praja yang selama ini digunakan oleh pemeirintah kota sebagai alat pengusur PKL, malah memanfaatkan PKL sebagai ajang mencari uang dengan cara para pedagang dimintai uang tebusan barang dagangan yang disitanya.

"Dimana keberpihakan pemerintah dalam membantu PKL agar tertata dan mendapatkan solusi, justru banyak oknum Satpol PP yang menjadi kesempatan pengusuran PKL ajang mencari uang, dengan diminta tebusan, kemana uangnya dari tebusan tersebut? Apakah masuk ke kas negara? Mana keadilan buat rakyat kecil?" tanya Ali.

Karena itulah, kata dia, PKL selamanya akan menjadi masalah buat pemerintah karena pemerintah memang tidak memberikan solusi. "Kalau para PKL salah sudah berjualan bukan ditempat yang semestinya, seharusnya pemerintah kota maupun pemerintah pusat mencari solusinya, bukan digusur tanpa kejelasan yang pasti, tetapi kalau pengusaha pemilik modal besar pemerintah selalu mengutamakan tanpa melihat merugikan pedagang kecil atau tidak," keluhnya.

Bahkan peraturan daerah terkait larangan keberadaan PKL kerap sekali menyulitkan para PKL untuk bisa berdagang dengan layak, alhasil kebijakan pemda itu malah menuai perlawanan dari PKL karena tak memihak mereka. Sudah begitu, jika melanggar perda, PKL akan ditindak dengan menggunakan kekerasan yang justru menjadi bumerang bagi pemerintah, karena menimbulkan kondisi sosial yang tak stabil.

RELOKASI YANG TEPAT - Peneliti dari Institute for Development, Economics and Finance (Indef) Ariyo Irhamna mengatakan, permasalahan pedagang kaki lima memang menjadi kronis karena kurangnya perhatian pemerintah dalam memberikan solusi permanen terhadap keberadaan para PKL. Pemerintah tidak menyediakan tempat berjualan yang layak, dan tidak melakukan pembinaan, sehingga PKL berjualan di sembarang tempat demi mendapatkan pelanggan atau pembeli.

"Solusi mengenai PKL adalah relokasi ke tempat yang layak dan dengan harga kebersihan dan keamanan yang terjangkau. Namun sebelum direlokasi, PKL perlu diberikan pembinaan oleh pihak terkait agar bisa menjadi lebih baik," kata Ariyo kepada gresnews.com, Minggu (10/7).

Terkait PKL, pemerintah pusat sudah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Penerbitan Perpres itu kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Pentaan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.

Dalam Permendagri itu dijelaskan, tujuan penataan dan pemberdayaan PKL adalah untuk memberikan kesempatan berusaha bagi PKL melalui penetapan lokasi sesuai dengan peruntukannya, menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha PKL menjadi usaha ekonomi mikro yang tangguh dan mandiri dan untuk mewujudkan kota yang bersih serta indah

Nah, di lapangan, aturan ini memang belum tentu bisa diimplementasikan secara ideal. Namun menurut Ariyo, setidaknya aturan-aturan itu bisa menjadi dasar hukum bagi pemerintah daerah atau pemerintah kota untuk memperlakukan PKL dengan lebih baik. Misalnya, memindahkan PKL ke lokasi yang tertata namun strategis dimana ada kios yang disediakan secara gratis.

Kemudian, jika usaha berjalan, nantinya setiap kios setiap bulan bisa dikenakan retribusi untuk menambah kas daerah. "Kebijakan tersebut dianggap pemerintah sebagai tindakan yang terbaik bagi PKL dan memudahkan PKL dengan adanya kios-kios tersebut," ujarnya.

Toh, kata Ariyo, sebagai warga negara, keberadaan PKL juga dilindungi oleh konstitusi. Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kemudian Pasal 13 UU Nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil, pemerintah diwajibkan menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perlindungan dengan menetapkan peraturan perundang-undangan kebijakan untuk menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat dan lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima. (dtc)

BACA JUGA: