JAKARTA, GRESNEWS.COM - Persoalan pedagang kaki lima (PKL) masih saja menghantui aparat pemerintahan kota. Berkurangnya lahan strategis untuk berdagang, membuat para PKL "nekat" menyerbu ruang-ruang publik seperti taman dan trotoar jalan untuk dijadikan tempat menggelar dagangannya. Contoh terbaru adalah betapa ruwetnya kondisi alun-alun kota Bandung, Jawa Barat, yang diserbu PKL pada beberapa hari pasca lebaran.

Di tengah ramainya kawasan itu dikunjungi warga yang masih menikmati hari libur lebaran pada Minggu (10/7) lalu, para PKL memanfaatkan kehadiran warga untuk menjajakan dagangannya. Padahal kawasan itu sudah ditetapkan sebagai kawasan steril bagi PKL oleh pemerintah kota Bandung. Namun toh mereka tetap nekat berdagang, bahkan ada yang seperti "menantang" aparat dengan berdagang di samping pos penjagaan Satpol PP Kota Bandung, yang kebetulan tengah kosong.

Keberadaan PKL tersebut menambah kesemrawutan Alun-alun Bandung yang juga dipadati oleh parkir liar pinggir jalan. Namun tidak ada petugas yang menertibkan.

Kejadian serupa juga terlihat di kawasan Taman Endog di Sumedang, Jawa Barat. Para PKL memanfaatkan kehadiran warga yang tengah menikmati libur lebaran untuk berdagang di kawasan yang juga terlarang bagi PKL itu. Posisinya yang strategis yaitu berada di tengah pusat perekonomian kita Sumedang, menjadi alasan para pedagang "menyerbu" kawasan itu.

Tak pelak taman yang tadinya diperuntukkan sebagai area ruang terbuka hijau (RTH), lantas tampak kumuh akibat banyaknya lapak para pedagang. Para pedagang sendir menyerbu taman itu karena pasar yang sedianya menampung mereka, kini tengah direnovasi. Tidak hanya membuat taman ´lenyap´, keberadaan PKL di tengah taman juga membuat trotoar menghilang. Tadinya, di sekeliling taman terdapat trotoar yang dibatasi pagar, namun sebagian pagar telah dicopot.

Kondisi ini pun dikeluhkan warga tidak hanya pendatang tetapi juga pribumi. Berdirinya lapak-lapak di Taman Endog tidak hanya membuat trotoar hilang. Jalanan di sekitar Jl Mayor Abdurrahman dan Jl Sebelas April pun menjadi semrawut. Betapa tidak, banyak motor yang parkir bahu jalan membuat ruas jalan menyempit. Alhasil, arus lalu lintas di Jl Mayor Abdurahman yang mengarah ke Cirebon maupun ke Bandung menjadi macet.

Terkait perilaku para PKL yang kerap melanggar aturan terkait peruntukan kawasan ini, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) Ali Mahsun tak mau terlalu menyalahkan para PKL. Menurutnya, "kebandelan" PKL juga dipicu sikap pemerintah, khususnya pemerintah kota yang selalu meminggirkan PKL dan menganggapnya sebagai pengganggu ketertiban.

Padahal, kata dia, pemerintahan baik di pusat maupun daerah hadir seharusnya untuk melindungi segenap warga negara, termasuk di dalamnya adalah para PKL. Nyatanya, kata dia, keberadaan PKL seperti tak pernah diakui oleh negara. Meski sudah ada Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL, namun kata Ali, tata kelola PKL di Indonesia tak beranjak bergeser dari paradigma penggusuran ke paradigma penataan PKL.

"Apa yang terjadi saat ini, makin maraknya penggusuran PKL di Jakarta, Bandung, Tangerang Selatan, Jambi, dan berbagai wilayah di Indonesia. Ini bukti otentik telah terjadi pengkhianatan terhadap Pembukaan UUD 1945 dan peraturan perundangan lainnya," kata Ali Mahsun, kepada gresnews.com, Selasa (12/7).

Berkebalikan dengan sikap terhadap PKL, pemerintah, kata dia, malah bersikap "ramah" dan terbuka terhadap keberadaan ritel modern yang merupakan hasil perkongsian perusahaan multinasional. Ketika PKL digusur dimana-mana, ritel asing menjamur di seluruh pelosok tanah air.

"Naif, pilu dan makin membopengkan wajah Ibu Pertiwi, rakyat yang mandiri mengail rezeki halal nafkahi keluarga dan biayai sekolah generasi penerus bangsa Indonesia digusur semena-mena, ditindas di negerinya sendiri," jelasnya.

Menurutnya, saat ini ritel modern asing banyak diberikan kemudahan dengan kebijakan deregulasi seperti memperlonggar izin-izin pendirian ritel modern. Sebaliknya, kata Ali, PKL tak pernah mendapat perlakuan serupa. Bahkan, kata Ali , PKL diperlakukan diskrimintaif dan menjadi korban tata kelola bangsa dan negara yang selalu bulan madu dengan kongsi kapitalis multinasional asing.

"Apapun adanya, apapun risikonya, APKLI takkan bergeser sejengkal pun melindungi PKL dan ekonomi rakyat, serta mengembalikan kedaulatan ekonomi bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dari cengkeraman bangsa asing dan para pelacur anak negeri sendiri," ujar Ali.

PEMERINTAH TAK PEDULI - APKLI sendiri, kata Ali, selama ini telah melakukan berbagai upaya mendorong pemerintah dan para pihak pemangku kepentingan lainnya untuk bersama-bersama menata dan berdayakan PKL. "Bukan menggusur dan menjadikan PKL sebagai tumbal penjajahan ekonomi rakyat Indonesia," katanya.

Namun sejauh ini, kata dia, APKLI melihat belum ada kepedulian dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah PKL secara manusiawi. Padahal, kata dia, PKL juga muncul akibat belum adanya pemerataan ekonomi sehingga hadir generasi yang tidak memiliki keahlian khusus untuk bekerja. Di sisi lain, mereka harus bertahan hidup sehingga menjadi PKL adalah salah satu pilihan untuk bertahan.

Dengan kondisi ini, wajar jika PKL seolah tak peduli soal aturan dimana harus berdagang. Mereka terdesak karena tak memiliki modal memadai untuk berjualan di tempat tertentu jika tak dibantu pemerintah. Ali menilai, jika saja pemerintah mau menata dan memberdayakan PKL, maka PKL bisa menjadi potensi untuk memicu pertumbuhan ekonomi karena menyerap tenaga kerja,

"Dari segi sosial keberadaan PKL bisa menghidupkan maupun meramaikan suasana dan menjadi daya tarik sendiri untuk wisatawan lokal maupun manca negara," katanya.

Jika PKL terberdayakan, maka selain menyerap tenaga kerja dan bisa menjadi daya tarik wisata, PKL juga bisa memberikan pemasukan kepada pemerintah dari pajak. "Mereka mau membayar pajak berapa pun diminta asalkan ditempatkan di lokasi yang layak dan strategis, bukan malah PKL dilempar ke tempat yang sepi pembeli, dan seakan PKL tidak mampu membayar pajak serta tidak mempunyai konstribusi besar terhadap ekonomi negara," ujar Ali.

Sementara itu menurut peneliti dan Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Ariyo DP Irhamna, pemerintah memang harus berpihak kepada para pedagang kaki lima (PKL) agar bisa lebih memberi kontribusi yang nyata terhadap perkonomian negara. Caranya, kata Ariyo, bukan dengan memberikan ruang yang banyak bagi ritel modern, tetapi memberikan kesempatan bagi para PKL sebagai bentuk usaha asli dari anak-anak negeri, untuk tumbuh.

"Seharusnya pemerintah bukan memberikan ruang bagi ritel modern, tetapi memberikan kesempatan PKL berkembang, sehingga nantinya mampu membantu pertumbuhan ekonomi di Indonesia," kata Ariyo kepada gresnews.com, Selasa (12/7).

Aryo menilai, jika ritel modern tidak dibatasi, maka akan menjadi ancaman bagi usaha-usaha kecil seperti, warung dan PKL. Mereka akan semakin tersingkirkan karena kalah bersaing dengan ritel modern.

Karena itu, menurutnya, pemerintah seharusnya merangkul para PKL yang ada di seluruh Indonesia baik di kota-kota besar dan daerah lainnya, bukan menggusur para PKL. "Kalau tidak ada lahan untuk berjualan seharusnya diberikan fasilitas biar mereka bisa tetap berdagang, bukan digusur secara paksa," paparnya. (dtc)

BACA JUGA: