JAKARTA, GRESNEWS.COM - Jalan Komisaris Jenderal Tito Karnavian untuk menuju kursi Kepala Kepolisian Republik Indonesia (kapolri) hampir dipastikan akan berjalan mulus. Rabu (22/6), pihak Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat sudah memulai proses fit and proper test untuk Tito dengan melakukan kunjungan ke kediaman Tito di di Kompleks Polri Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Kunjungan itu sendiri merupakan sebuah "tradisi" dari anggota DPR sebelum melakukan uji kepatutan dan kelayakan terhadap calon kapolri. Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo mengatakan, tradisi kunjungan itu dilakukan dengan tujuan untuk melihat langsung keseharian calon kapolri, dalam hal ini Tito.

Yang ingin dilihat adalah bagaimana keseharian Tito sebagai kepala keluarga dan caranya memimpin keluarga. Dengan melihat dan mempertimbangkan keseharian Tito, Komisi III berharap mendapatkan cerminan kepribadian Tito dalam memimpin kepolisian nanti. "Sekaligus mengetahui kehidupan yang bersangkutan dan bagaimana lingkungan tempat tinggalnya," ujar Bambang di gedung DPR, Jakarta, Rabu (22/6).

Untuk uji kepatutan dan kelayakan sendiri, akan dilakukan Kamis (23/6). Komisi III akan langsung mengambil keputusan terhadap pencalonan Tito pada malam harinya. "Besok akan dilakukan fit and proper test dan malam harinya akan diputuskan," ujar Ketua DPR Ade Komarudin di Jalan Denpasar, Jakarta Selatan, Rabu (22/6).

Nantinya keputusan atas hasil uji Komjen Tito akan disampaikan dalam sidang paripurna. "Tentu setelah diputuskan akan segera diserahkan kepada presiden," kata Ade.

Ade meyakini semua fraksi akan setuju pencalonan Tito sebagai kapolri. Soal jadwal pelantikan Tito, pihaknya menyerahkan ke Presiden Joko Widodo. "Soal jadwal itu adalah bagian dari Setneg atau presiden," ujarnya.

Tito sendiri dalam pertemuan dengan para anggota Komisi III berharap, pertemuan itu akan menjadi pertimbangan komisi III dalam menilai kepribadiannya dan kehidupan keluarganya. "Interview mendalam cukup lama, 2 jam lebih. Semoga ini bisa menjadi gambaran bagaimana kehidupan pribadi kami. Dan ini bisa mendukung kelancaran saya untuk terima amanah baru," ucapnya.

Ada satu hal menarik dari kunjungan Komisi III DPR ke rumah Tito. Hal menarik itu muncul ketika pembicaraan mengarah pada soal pemberantasan terorisme. Dalam rekam jejaknya, Tito memang banyak menangani masalah itu, termasuk ketika dipercaya menjabat sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Dalam wawancara via peranti skype, dengan anak bungsu Tito, Muhammad Taufan, anggota Komisi III menyinggung peran Tito dalam pemberantasan terorisme. Terkait tugas itu, Opan, panggilan Taufan, mengaku paham dengan risiko tugas sang ayah. "Papa kerjanya kan cari teroris, nangkap keluarga Soeharto, Opan takut enggak?" kata anggota Komisi III Aboe Bakar Alhabsy.

Aboe Bakar menanyakan itu melalui video teleconference dengan Taufan yang berada di Singapura. "Kalau takut gimana ya, sudah lama dengar cerita papa diincar teroris. Saya tahu papa melindungi orang banyak, walaupun sangat serem kerjaannya, saya tidak merasa takut. Merasa aman," jawab Opan seraya berharap agar ayahnya tidak melupakan keluarga.

Dalam kesempatan itu Tito juga bercerita soal alasannya menyekolahkan anak di Singapura. "Ancaman, banyak. Itu alasan anak sekolah ke Singapura. Tahun 2010 ada ancaman ke-4 orang. Bom buku di Utan Kayu (Jakarta Timur). Di hari yang sama, ada 4 bom buku," kata Tito dalam pertemuan dengan Komisi III itu. Karena itu pindah-pindah ke safe house. Dan memutuskan anak sekolahkan ke Singapura. Selama jadi Kapolda, ke Bogor saja takut. Jangan sampai Jakarta goyah. Makanya anak-anak protes. ´Kami kok ditelantarkan´. Untung mereka baik," urai Tito.

Menurut Tito, anak-anaknya senang ketika Tito menjadi Kepala BNPT sebab, lanjut Tito, anaknya beranggapan bahwa ayahnya akan dapat menemui mereka di Singapura sesekali. "Selama di Singapura, mereka enggak merasakan perbedaan apa-apa selama saya jadi Kapolda, Kepala BNPT atau mungkin Kapolri. Karena mereka anggap bapaknya ´tahanan kota´," seloroh Tito.

DITUNGGU KASUS SANTOSO - Terkait agenda pemberantasan terorisme, Tito salah satunya memang sudah ditunggu oleh penuntasan penangkapan kelompok teroris Santoso di Poso. Kapolri yang akan digantikan Tito, Badrodin Haiti sudah mengamanatkan hal itu. Badrodin meminta agar pimpinan misi menentukan langkah strategis untuk percepatan operasi Tinombala tersebut.

"Target dari Operasi Tinombala ini melakukan penegakan hukum terhadap jaringan kelompok Satoso. Beliau juga sampaikan evaluasinya, seluruh tim dan para atasan yang memiliki tugas dan tanggung jawab menentukan langkah yang lebih strategis agar percepatan penangkapan jaringan kelompok Santoso lebih cepat," kata Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar, di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jaksel, Senin (20/6).

Dia mengatakan dengan adanya perpanjangan masa operasi hingga Agustus 2016, Kapolri berharap penangkapan dilakukan secepatnya. "Operasi Tinombala saat ini masih berlangsung, gabungan antara Polri dan TNI ikut dilibatkan. Penekanan beliau, bagaimana bisa sebelum operasi ini berakhir, kelompok jaringan itu bisa kita tangkap," ujar dia.

Bulan Agustus merupakan batas waktu yang diberikan untuk menangkap kelompok ini. Lantas bagaimana apabila pada waktu yang telah ditentukan Santoso cs belum tertangkap? "Tentu nanti kami lihat. Yang penting di sisa waktu yang ada, seluruh kekuatan harus dimaksimalkan agar kelompok ini bisa segera kami tangkap," tutup Boy.

Kondisi kelompok Santoso sendiri dikabarkan sudah semakin terjepit. Kapolda Sulawesi Tengah Brigjen Rudy Sufahriadi mengatakan, ruang gerak kelompok teroris Santoso semakin sempit. Jumlah kelompok itu juga makin sedikit, yaitu tinggal 21 orang.

"Sekarang totalnya tersisa 21 orang," ujar Brigjen Rudy, saat ditemui di kediaman Calon Kapolri Komjen Tito Karnavian, di Kompleks Polri Ragunan, Jakarta, Rabu (22/6).

Menurut Rudy, Santoso selalu mengetahui gerakan petugas dan berhasil menghindari gerakan petugas. Untuk itu pihaknya akan ubah strategi dalam mengejar Santoso. "Artinya gerakan pasukan dari bawah gunung ke atas itu masih menimbulkan bunyi dan ada bekasnya. Itu yang kami ubah," ucapnya.

Dia juga menginginkan supaya Santoso dapat ditangkap hidup-hidup. "Kalau bisa hidup kenapa harus mati," ujarnya.

Rudy menegaskan tim Satgas Tinombala akan mengoptimalkan batas waktu untuk menangkap Santoso dan anggota kelompok yang tersisa hingga 8 Agustus 2016. "Waktu operasi Tinombala memang terbatas sampai tanggal 8 Agustus. Hasil pemeriksaan Santoso memang sedang melakukan taktik yang berbeda. Kita sedang mengubah taktik, saya nggak sampai ke teknis, kita coba cari Santoso ke tempat yang luas itu di gunung biru," ujarnya.

Rudy mengatakan, Satgas Tinombala akan menelusuri jejak Santoso dan anggotanya dengan mengorek keterangan dari Muhammad Unul Paise alias Samil alias Nunung. Anggota kelompok Santoso yang ditangkap di dusun Tamanjeka, Poso Pesisir, Poso, Sulawesi Tengah pada Kamis (16/6), diyakini mengetahui keberadaan terkini Santoso.

"Selama ini (Samil) dia menghapus jejak Santoso. Tugas dia ketika Santoso dan teman-temannya berjalan, dia menghapus jejaknya," imbuh Rudy.

Dia juga memastikan koordinasi dengan kapolri baru nantinya akan terjalin baik. "Badrodin dan Tito bukan orang baru di Sulteng. Saya pernah bersama Tito saat saya Kapolres Poso, dia komandan satgasnya penanganan teroris dari 2005-2007. Kemarin setelah Tito BNPT, saya sudah Polda Sulteng, Beliau berkunjung ke sana terlibat langsung di posko-posko dan melihat apa yang saya kerjakan," tutur Rudy.

TETAP PERHATIKAN HAM - Meski pemberantasan tindak pidana terorisme menjadi salah satu agenda penting yang bakal dilaksanakan Tito, namun para pegiat penegakan hak asasi manusia (HAM) berharap Tito tetap memperhatikan HAM dalam memberantas terorisme.

Deputi Direktur Bidang Advokasi Hukum dan HAM Perkumpulan Konsultan Hukum Menentang Penyiksaan (PKHMP) Maruli Tua Rajagukguk menegaskan, reformasi polri harus dimulai dengan pembenahan internal di tubuh Polri. Misalnya dengan membuat kebijakan internal yang menjamin bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri bebas dari tindak penyiksaan dan kriminalisasi (zero tolerance to torture).

"Sehingga, kedepan penegakan hukum yang dilakukan oleh polri ala cita rasa rakyat bukan penegakan hukum yang mengabdi kepada kepentingan tertentu," ujar Maruli kepada gresnews.com, Rabu (22/6).

Menurutnya, jika Tito mampu menciptakan kebijakan internal yang menjamin penegakan hukum bebas dari penyiksaan dan kriminalisasi, maka hal tersebut merupakan terobosan baru di Kepolisian, mengingat Kapolri sebelumnya belum menjadikan penegakan hukum bebas dari penyiksaan dan kriminalisasi sebagai prioritas utama dalam menjalankan reformasi Polri. "Akibatnya kepercayaan rakyat terhadap Polri semakin tergerus", ujar Maruli.

Maruli menambahkan, penegakan hukum masih kental dengan penyiksaan dan kriminalisasi seperti dalam kasus Siyono yang dituduh melakukan tindak pidana terorisme. Densus 88 disinyalir kuat melakukan penyiksaan, yang mengakibatkan Siyono meninggal dunia.

Hal tersebut, kata Maruli, merupakan penegakan hukum yang tidak beradab. Padahal Indonesia adalah pihak negara yang telah meratifikasi banyak konvensi internasional seperti Konvensi Menentang Penyiksaan dan Konvenan Hak-hak Sipil dan Politik. Konvensi internasional tersebut mewajibkan negara Indonesia untuk mewujudkan penegakan hukum yang bebas dari penyiksaan dan kriminalisasi.

PKHMP menyatakan Komisi III DPR RI harus mampu memastikan calon kapolri memiliki visi untuk melanjutkan reformasi polri, yakni mewujudkan penegakan hukum yang bebas dari penyiksaan dan kriminalisasi. Reformasi tersebut dapat dilakukan dengan cara menyusun kebijakan dan blue print di internal polri.

"Kebijakan internal Kepolisian harus mendorong penghapusan penyiksaan, mencegah terjadinya salah tangkap atau rekayasa kasus dan kriminalisasi terhadap rakyat yang sedang memperjuangkan hak-haknya," katanya.

Ia juga meminta kapolri baru nantinya menindak tegas anggota kepolisian yang melakukan penyiksaan, rekayasa kasus dan kriminalisasi dengan ketentuan pidana yang berlaku. Polri juga diminta membuka akses informasi dan memberikan ruang keterlibatan yang memadai bagi para korban dalam proses penegakan disiplin dan kode etik Kepolisian.

Selain itu polri, lewat kepemimpinan Tito, diharapkan mampu membangun pengawasan, kinerja yang transparan dan kredibel di internal Kepolisian sebagai bagian dari proses percepatan reformasi kultural kepolisian. "Lalu kebijakan internal tersebut memuat pemulihan hak-hak korban-korban salah tangkap, rekayasa kasus, penyiksaan dan kriminalisasi," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: